Header Ads

Mie Ayam Pembawa Damai



Lama tak bersua, si Bung Yangtot ini pun muncul dari balik kelam malam dua hari silam. Tanpa basa-basi ia duduk di samping kiri saya yang tengah asyik melahap buku “Gelandangan di Kampung Sendiri” karya Emha Ainun Nadjib. Tinggi badan 163 dibalut dengan daging gempal, sosok Bung ini terbilang kekar. Warna kulit putih dan potongan rambut ala Korea menambah elok untuk dilihat para bidadari dunia. Wajar saja ada yang mengatakan ia lebih cocok jadi Gigo** dibanding kuli tinta di LPM Institut.

“Lu tahu enggak Bung Zainuddin?” ungkapnya membuka percakapan. “Kenapa?,” balas saya sembari berhenti mambaca sejenak. Maksud hati ingin menghargai teman sejawat ini. “Gue terpaksa meninggalkan pekerjaan di rumah. Pekerjaan menumpuk terpaksa ditinggal karena panggilan dari Ketua umum Dicky. “ cetusnya sembari memejamkan mata, seolah meresapi setiap kata yang dilontarkan.

Tentu saja saya kaget. Bertanya dalam kalbu. Apa gerangan pekerjaan teman saya ini?. Di masa libur kuliah ini, tentu beragam cara dilakukan Mahasiswa. Ada yang jadi surveyor seperti Muhammad Hafis dan Ainur Ridho. Tak terkecuali menjadi relawan quick count seperti . Tapi gumam hati belum terjawab terkait pekerjaan Bung ini. Tampak kesal diraut mukanya diperintah ke Ciputat.

Di tengah terkaan, Bung Dicky datang. Saya memperkirakan ia mendengar suara khas Bung Yangtot dari dalam sekeretariat. Ikut bergabung pilihan yang ia tempuh untuk meluapkan rasa kesalnya kepada bung Yangtot. Dalam beberapa kesempatan memang Bung mantan Gondrong ini sempat curhat kepada saya terkait  kelakuan Yangtot.”Ini mau raker si Yangtot ke mana dah? Kerjaan masi banyak. ” ungkapnya tempo hari. Bila ditanya masalah itu,  saya hanya bisa diam seribu Bahasa. Seolah tak paham. Teman-teman dan rekan lain juga masih sibuk dengan liburan.

“Lama banget lu baru ke Ciputat, Mikir dong” kata Dicky dengan suara yang tinggi. Saya yang tengah asyik membaca,  sempat kaget. Alam pikiran saya mulai teringat memori masa lampau. Saat adu jotos dan pukul mewarnai dinamika persahabatan. Sekretariat seketika berubah menjadi ring tinju. Penonton pun hadir dari UKM lain. Ada yang melerai. Tak sedikit yang menikmati hiburan dadakan di siang bolong. Sekitar 10 menit bertikai, si Bung berdua ini pun kembali damai. Pelukan hangat dan senyum merekah mengawali persahabatan yang sempat putus itu. Saya masih ingat si Bung Gondrong sempat menitikkan air mata sembari tersedu mengingat kejadian memalukan itu. “Gue sayang ama Yangtot, Zen. Nyesal gue nyepak dia sampe melayang 2 meter,” tuturnya setelah kejadian nahas itu.

Tak ingin peristiwa serupa terjadi.  “Lu berdua mau berantem lagi,” saya mencoba meredam kata yang mulai meninggi. “Santai,” balas Dicky. “Suara gue emang udah tinggi. Seenggaknya suara doang menjadi modal. Rambut udah enggak tinggi. Habis sudah,” tukasnya lagi sembari senyum. “Iya nih lu Zain, mentang-mentang ditinggal pulkam ama si Gendut. Emosi lu stabilin dong,” Yangtot mencoba merayu. Indah benar persahabatan malam itu. Sayang Eko Ramdhani cowok kulit khas Afrika, tapi pencinta film Korea tak bisa hadir nongkrong.

“Jadi begini Boy” Yangtot menjawab pertanyaan yang diajukan Dicky secara massif. “Gue itu sekarang jadi pengusaha,” lanjut Yangtot. Spontan, Dicky  mendengar kata itu tertawa terbahak-bahak. Tak peduli lingkungan sekitar. Mata melotot, gigi keluar. Meja ditampar. Suara bising mewarnai. Saya pun hendak tertawa, tapi sebagai penghargaan, senyum sudah cukup. “Lu kagak percaya Boy. Gue sekarang jadi pengusaha Mie ayam di kampung,” sembari berdiri meyakinkan kami berdua.

Si culun Dicky mulai kena batunya. Tertawa mulai berkurang. Wajah garang berubah jadi malaikat setengah iblis. Kalo sudah terpojok begini keadaan, kentut menjadi pilihan terakhirnya. “Pretttt” terdengar suara. “Kentut lu ya Dick,” protes saya. Sembari ketawa “iya nih. Maaf, kebiasaan lama” katanya tanpa ada dosa.” Sudah-sudah. Kalian jangan berselisih. Dengarin gue. Gue lagi meniti usaha Mie Ayam khas Suka Bumi. Tiap hari gue jualan. Untungnya pun lumayan. Pembelinya kebanyakan  orang pacaran. Sekmen kita anak muda,” jelasnya.

Terjawab sudah ke mana si Bung ini tak pernah nongol. Tapi tunggu dulu. Ada satu yang janggal. Saya tak pernah melihat di Fb atau Instagram ia meng-upload tentang produk mie ayam itu. “Mana buktinya,” imbuh Dicky seolah menangkap apa yang saya pikirkan. “Iya nih, masa jualan kita enggak dapet apa-apa,” protes saya.

Tak mau dipandang sebelah mata. Ia pun mengambil tas sandang yang ia bawa. Sembari membuka tas “Tenang bro. gue udah bawain tiga porsi buat kalian,”. “Wah  terbaik lu Yangtot,” ungkap Dicky yang dari tadi kelihatan lapar. Wajah garang. Kutukan yang tempo hari seolah hilang digusur Mie ayam. “Sekarang tugas lu Zain. Cari kompor, air, dan Nasting kita racik ini,” perintah Yangtot.


Tak lama berselang. Mie ayam ala Yangtot tersedia. Jadilah kami penikmat. Rakus Dicky pun terlihat. “Gimana Zain. Enakkan ? Jangan lupa promosiin nih di FB. Biar pada tahu gue pengusaha sekarang. Ajakin Aisyah Nursyamsi dan gerwani lain buat beli. Gratis sudah habis,” tutup Yangtot sembari berbangga hati.



   

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.