Indonesia Ibarat Kapal Hendak Karam
Oleh Zainuddin
Di awal tahun
baru silam Indonesia berduka. Kejadian tragis menyayat hati. Tangis histeris
bergema. Pontang-panting kesana-kemari minta bantuan. Bak kapas berterbangan
ditiup angin. Tak sedikit pasrah pada
nasib. Hajat batin ingin berwisata. Malang, kapal Zahro Express membawa
penumpang itu terbakar di Muara Angke. Tak kurang dari 23 orang tewas
terpanggang gosong bak ikan bakar. Takdir maut telah berseru.
Kejadian nahas jua
berseru di negeri seberang. Terjadi 23
januari lalu. Kini, negeri para datuk, Malaysia yang angkat saksi. Sekitar 10 orang Tenaga Kerja
Indonesia (TKI) tewas. Kapal pengangkut TKI itu karam. Tanpa ampun, mayat
bergelimpangan. Pergi sehat. Pulang jadi mayat. Godaan dari tetangga berujar
suka-cita kerja di negeri orang. Membuat para TKI ini tertarik. Sarau, berakhir fatal. Alhasil kantong mayat pun diterima keluarga, pertanda
diri telah binasa. Innalillahi
Saya tak ingin
bercerita tentang korban yang tewas. Tak jua ingin menghakimi siapa pelaku.
Siapa yang bertanggung jawab. Sejauh apa respon dari BNP2TKI? Perjalanan ini
legal atau illegal. Tak ada masud hati mencemooh. Tapi angan ingin mengajak
daya nostalgia dan imajinasi terkait peristiwa pahit ini. Empiris kita perlu
diasah untuk merenung kembali masa lampau. Tak usah pusing membayangkan, tonton
saja film Titanic (1997) karya James Cameron. Lihat bagaimana para penumpang
berhamburan dari kapal. Tak ada yang peduli kepada sesama. Daya binatang buas
mendominasi. Satu ambisi, selamatkan hidup. Tak peduli orang lain.
Dalam situasi
gawat seperti ini, semua serba salah. Ke kanan salah. Kiri salah. Berdiri
salah. Duduk pun serba salah. Tak ada yang benar, semua gerakan salah. Segala
sesuatu yang awalnya benar, berubah berbau salah. Kondisi ini memprihatinkan
bukan? Hukum alam dan logika dipinggirkan. Ilmu sains dibuang seolah tak ada
pengaruh.
Kondisi kapal
yang hendak karam tadi terjadi di
republik ini. Gambaran besar Indonesia kini. Pengetahuan dipreteli. Persis,
antara kebenaran dan kesalahan kabur. Kabut kelam menutupi. Kemiringan persepsi
dilengserkan. Puing-puing kecerdasan kaum intelektual pun dinodai. Karsa, agar
buram kebenaran segera punah.
Kita seolah
kembali kemasa balita. Dituntun tak bisa paham. Atau bisa jadi menyembunyikan
pemahaman. Rasa saling percaya hilang. Muncul rasa saling curiga. Tak ada rasa
persatuan dan kesatuan. Semua musuh. Maka, musuh harus dibasmi. Rasa kebangsaan
yang ditanamkan para pendahulu bangsa hilang tanpa bekas.
Konflik ini
kian nyata. Tak percaya? lihat Pilkada serentak silam. Saling hasut. Saling
tuding bertebaran. Kebenaran hanya milik satu golongan. Diluar itu salah.
Ujaran kebencian berhamburan di media cetak, online, dan sosial. Aksi saling
lapor kepada pihak Kepolisian terjadi setiap hari. Rasa kebhinekaan seolah
hilang. Dikikis bara api kebencian.
Agama pun
diseret dan dijual. Tudingan kafir dilontarkan terhadap kaum yang berbeda. Ayat
suci diperdagangkan. Sumpah atas nama Tuhan yang suci diperdengarkan sebagai
alibi. Deretan kelakuan iblis ini dipertontonkan setiap hari. Pelakunya
bermacam corak. Para politisi, birokrat, penegak hukum. Para agamawan dan
akademisi pun seolah ambil bagian. Tak mau ketinggalan.
Kaum inilah
yang oleh Cak Nun disebut “kaum talbis”. Penghancur NKRI. Pemecah belah umat.
Di depan publik bicara persatuan dan kesatuan. Gaung nasionalisme digemborkan.
Suara kesejahteraan dan keadilan dikumandangkan. Kata atas nama rakyat
diteriakkan. Namun, dibalik itu kaum talbis ini tertawa riang. Kata-kata hanya
kamuflase. Kostum agama dan nasionalisme hanya alat semata. Tujuannya, untuk
diri sendiri. Pragmatis betul. Inilah potret Indonesia kini.
Para kaum
talbis juga berpikir transaksional. Demi kekuasaan apapun dilakukan. Sebuah
ideologi yang berorientasi kepentingan ditanamkan. Tujuannya hanya memenuhi
keinginan terbatas demi diri dan kelompok. Membangun keluarga. Melanggengkan
primodialisme, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme begitu kental. Realitas licik itu dipertontonkan secara telanjang di depan mata. Kepentingan seksional
dijadikan patokan hakiki dan suci. Tak ada kebenaran diluar golongan.
Merawat NKRI
Ibarat kapal
yang hendak karam. Indonesia harus diselamatkan. Terlalu lama sakit. Terlalu lama
berbaring. Bangkit adalah jalan terbaik. Sumbu masalah harus dipotong kandas.
Para elit yang berpikir transaksional harus sadar. Para agamawan yang jual ayat
suci harus insaf. Para negarawan kacung segera sadar. Ini merupakan jalan agar
bisa keluar dari bayangan masa depan kelam. Ancaman eksistensi negara bangsa
begitu nyata.
Tengoklah Nuh.
Membangun bahtera besar demi menyelamatkan dari karam. Indonesia seyogianya pun
begitu. Para pemikir, agamawan, negarawan jujur harus tampil menyelamatkan. Bimbing
rakyat kepada kesadaran tentang kebenaran. Agar tak buram dan kabur.
Sebagai rakyat,
masyarakat pun harus turut andil. Indonesia bukan hanya milik perorangan.
Keberagaman suku, bahasa, dan adat adalah modal kita untuk memperbaiki kondisi
ini. Kapal yang hendak karam perlu diservis oleh semua lapisan. Rakyat punya kuasa penuh dalam ranah
demokrasi.
Tak muluk, bila
mengutip gagasan Max Weber tentang kewenangan negara. Konsep ini pula
dibeberkan secara gamblang oleh Dosen Universitas Airlangga, Novri Susan dalam
artikel Menyelamatkan Politik Indonesia. Kewenangan negara bekerja atas asas
kontrak sosial yang dibangun antara rakyat dan pemangku kekuasaan yang
terjewantah sebagai hukum. Negara harus punya andil dan sesuai aturan main. Pelaksanaanya bertindak tegas kepada para
pelaku yang melanggar. Paran utama kebijakan ini untuk ketertiban sosial.
Kebisingan dan kegaduhan agar terminimalisir.
Dialog
kebangsaan pun perlu dicanangkan. Dialog ini untuk menumbuhkan rasa
nasionalisme, kebhinnekaan, dan patriotisme. Perbedaan suatu keniscayaan. Tanpa
perbedaan tak akan ada Indonesia. Tapi perbedaan perlu dirawat agar tak habis
dipotong sifat serakah manusia. Indonesia rawan konflik. Tak berlebihan kita
butuh dialog kebangsaan.
Para elit
politik, pemangku kebijakan, polisi, TNI, akademisi, agamawan, ilmuwan, dan
masyarakat awam membutuhkan ruangan untuk berdialog. Dialog kehangatan penuh
cinta. Tanpa pamrih. Duduk sama rendah. Tegak sama tinggi. Duduk melingkar demi
merawat Indonesia agar tak karam ke dasar lautan dalam. Tak ada masalah tanpa
solusi dengan dialog dan musyawarah. Musyawarah dan mufakat inilah warisan
berharga dan mutiara mahal warisan para founding father republik ini.
Post a Comment