Header Ads

Falsafah Nashir Thusi














Biografi  Nasir Al-Din Tusi

Tusi nama lengkapnya adalah Khawaj Nasir al-Din abu Ja’far Muhammad ibn Muhammad ibn Hasan.[1] Nasir Al-din Tusi dikenal sebagai ilmuwam yang terkenal  serba bisa. Selama  masa hidupnya, ilmuwan muslim dari Persia itu mendedikasikan diri untuk mengembangkan berbagai ilmu seperti, astronomi, biologi, kimia, matematika, falsafah, kedokteran, hingga ilmu agama Islam.[2]

Ia lahir pada 18 Februari 1201 M/597 H  di kota Thus yang terletak di dekat Meshed, sebelah Timur laut Iran. Nama ayahnya Muhammad bin Hasan, yang mendidik Tusi sejak pendidikan dasar. Nashir Al-Din Tusi menguasai dua bahasa dengan baik, bahasa Arab dan bahasa Persia. Dia juga menulis dengan dua bahasa tersebut. Tusi dapat dikatakan sebagai orang yang bisa mewakili dua budaya—budaya Arab dan budaya Persia dengan tingkat penguasaan yang sama.[3]

Pada usia 60 tahun, tepatnya pada tahun 657 H/1259 M—setahun setelah enaklukan Baghdad—Tusi berhasil membujuk Hulagu untuk membangun observatorium yang kemdian terkenal di bawah pimpinan Tusi, di Maragah, Azarbaijan. Observatorium inni merupakan pusat terbesar ketiga penelitian sastra dan astronomi di Timur seytelah Dar al-Hikamh di Kairo yang didirikan oleh Al-Hakam dari Daulah Fatimiah pada paroh pertama abadXI.[4]   

Karya-Karya Tusi

Tusi lebih pantas disebut sebagai sarjana yang mahir daripada seorang ahli pikir yang kreatif. Sementara karya-karyanya kebanyakan bersifat eklektis (memilih dari berbagai sumber), kepandaiannya yang beragam sungguh mengagumkan. Minatnya yang banyak dan berjenis-jenis mencakup pada falsafah, matematika, astronomi, fisika, ilmu pengobatan, mineralogi, musik, sejarah, kesusastraan dan dogmatik. Diantara  karya-karyanya ialah sebagai berikut :[5]

•       Asas al-Iqtibas  (logika)
•       Mantiq al-Tajrid  (logika)
•       Ta’dil al-Mi’yar  (logika)
•       Tajrid al-‘Aqa’id  (dogmatik)
•       Qawa’id al-“Aqa’id  (dogmatik)
•       Risaleh-i I’tiqadat  (dogmatik)
•       Akhlaq-i Nasiri  (etika)
•       Ausaf al-Asyaraf  (etika sufi)
•       Risaleh dar Ithbat-i Wajib (metafisik)
•       Itsbat-i Jauhar al-Mufariq (metafisik)

Falsafah Etika Tusi

Pada tulisan kali ini penulis akan membatasi permasalahan tentang etika menurut Tusi. Dalam pengambilan tema penulis melihat ada sesuatu yang menarik dalam pembahasan ini. Setidaknya penulis mendapati dua karya beliau yang berbicara tentang etika yakni Akhlaq-i Nasiri  (etika) Ausaf al-Asyaraf  (etika sufi).

Etika 

Mengenai bidang etika ada beberapa karya besar Nasir al-Din Tusi yaitu Akhlaqi Muhtashami (Muhtashamean Ethics) dan Akhlaqi Nasiri (The Nasirean Ethics). Keduanya ditulis dalam bahasa Persia. Kitab yang pertama diangkat dari aturan Isma’ili (Muhtasham) dari Quhistan. Nasir al-Din ‘Abd al-Rahman yang mempersiapkan garis besar dan menyetujui isi, akan tetapi meminta al-Tusi mengerjakan pekerjaan utamanya karena tuntutan pekerjaannya di bidang politik. Kemudian karya selanjutnya adalah Kitab ‘Adab al-Muta’allimin, menurut al-Tusi, karya ini sangat perlu, karena banyak orang mendapat kesulitan dalam menuntut ilmu disebabkan kurang paham etika dan metode yang benar. Padahal bagi at-Tusi etika adalah prasyarat keberhasilan dalam menuntut ilmu. Karya lainnya di bidang etika sedikitnya ada empat risalah utama yang ditulis al-Tusi, dan kesemuanya menggambarkan karakter Ismailiyah.[6]

Bukunya Akhlaqi Nasiri mengklasifikasikan pengetahuan ke dalam spekulasi dan praktik. Pengetahuan spekulatif kemudian dibaginya pula ke dalam (a) metafisika dan teologi, (b) matematika termasuk optic, music dan mekanik, (c), ilmu-ilmu alam termask zoologi, meterologi, astrologi, agrikultur, tranfortasi, dan botani. Sedangkan pengetahuan praktis termasuk  (a), etika, (b), ekonomi domestic, (c), dan  politik.[7]

Tusi melihat bahwa karya Miskawaih, hanya terbatas pada penggambaran disiplin moral. Displin yang menyangkut urusan rumah tangga dan politik tidak terdapat dalam karya tersebut. Padahal ini merupakan aspek yang sangan penting dari falsafah praktis dan tidak boleh diabaikan. Karena itulah Tusi menyusun Akhlaq-i Nasiri berdasarkan pola tersebut.[8]

Ada sedikit perbedaan antara Ibn Miskawaih dengan penerusnya Tusi. Bila Miskawaih lebih berkonsentrasi untuk mempopulerkan dan sistematisasi subjeknya, Tusi membahas relasi antara etika dengan sains-sains filosofis lainnya. Tusi mendefinisikan Falsafah sebagai “ilmu tentang segala sesuatu sebagaimana adanya dan pemenuhan fungsi seseorang sebagaimana harusnya. Sesuai dengan kapasitasnya sehingga jiwa manusia bisa sampai kepada kesempurnaan yang telah ditentukan.

Menurut Tusi bahwa kebahagian utama (sa’adati quswa) adalah tujuan moral yang ditentukan oleh tempat dan kedudukan manusia dalam evolusi kosmiknya serta diwujudkan lewat kesediannya pada disiplin dan patuh. Jadi seorang bisa dikatakan beretika bila ia siap disiplin dan komitmen pada peraturan yang berlaku. Pendapat ini berbeda dengan konsepsi yang diajukan oleh Aristoteles yang bebas dari unsur-unsur angkasa. Tusi mendukung pemikiran Plato sebagi dikembangkan oleh Miskawaih bahwa kebaikan-kabaikan mengacu kepada kebjaksanaan, keberanian, kesederhanaan, dan keadilan yang berasal dari tiga jiwa, yakni akal, kemarahan, dan hasrat.[9] Tusi jua menempatkan kebajikan (tafadhul) di atas keadilan, dan cinta (mahabbah) sebagai sumber alami kesatuan, di atas kebajikan.


Terkait penyakit jiwa, bagi Tusi itu merupakan penyimpangan jiwa dari keseimbangan (i’tidal), baik dari segi jumlah (kammiyat) –sebagaimana dikembangkan oleh Aristoteles dan Miskawaih dengan keterlebihan  (ifrat) dan keberkekurangan—. Tusi juga melihat penyimpangan jiwa juga dari segi mutu , yang oleh Tusi dinamakan perbuatan yang tidak wajar (radaat).[10]

Jadi penyakit moral bisa disebabkan oleh salah satu dari tiga sebab, yaitu (1) keberlebihan, (2) keberkurangan, (3) ketakwajaran akal, kemarahan atau hasrat. Atas dasar tiga sebab penyakit jiwa itu, Tusi mengogolongkan penyakit fatal akal teoritis menjadi tiga bagian yakni kebingungan (hairat), kebodohan sederhana (jah-li basith) dan kebodohan fatal (jahli murakkab)—suatu keterangan tentang penggolongan yang bukan berasal dari Miskawaih. [11]

Pertama, kebingungan. Kebingungan disebabkan ketidakmampuan jiwa untuk membedakan antara kebenaran dan kesalahan karena adanya dua bukti dan dua argumen yang saling bertentangan dan argumentasi yang kacau, terhadap suatau masalah yang kontroversial.  Padahal tidak mungkin muncul serempak dua hal yang bertentangan, dengan lain kata, jika suatu hal benar, maka tidak mungkin salah.

Untuk menghilangkan kebingungan, orang bingung mestinya pertama, disadarkan  bahwa keterdirian dan pembagian , penegasan dan penyangkalan  keduanya bertentangan. Ia  bersifat eksklusif , tidak dapat maujud dalam satu benda pada waktu yang sama, sehingga ia bisa teryakinkan bahwa jika suatu hal benar, ia tidak mungkin salah, dan jika ia salah , tak mungkin benar. Setelah ia bisa memahami bukti diri ini, ia bisa diberi pengetahuan mengenai aturan-aturan silogisme untuk memudahkan penemuan kekeliruan dalam argumentasi. Matematika pun juga bisa berperan untuk menyembuhkan penyakit bingung tadi.[12]

Kedua, kebodohan sederhana. Jahal basit ini terjadi karena kekurangtahuan manusia akan sesuatu hal, mengira bahwa ia mengetahui.  Kebodohan ini merupakan suatu keadaan yang biasa dijadikan titik tolak untuk mencari pengetahuan, tetapi sangatlah fatal bila manusia merasa puas dengan keadaan begitu.  Penyakit itu bisa disembuhkan dengan menunjukkan kepada si pasien fakta bahwa pengakalanlah, dan bukanlah penampilan lahiriah yang membuat manusia berhak disebut sebagai manusia. Dan manusia bodoh tidak lebih baik dibandingkan binatang: bahkan lebih buruk dari itu , karena binatang masih bisa dimaklumi karena ia tak memiliki nalar.

Ketiga, jahal murakkab; kebodohan ini akibat kekurangtahuan manusia akan satu hal akan tetapi dia merasa bahwa dirinya mengetahui hal tersebut. Menurut Tusi, penyakit ini adalah penyakit yang hampir tak dapat disembuhkan, tapi dengan upaya keras dalam bidang matematika barangkali penyakit ini bisa ditekan kefatalannya menjadi kebodohan sederhana.[13]   

Mengenai kemarahan, Tusi menganggap bahwa kemarahan, kepengecutan dan ketakutan adalah penyakit yang menonjol dari segi berlebihan. Begitu pula keberlebihan nafsu disebabkan oleh keberlebihan hasrat, sedangkan sifat sembrono merupakan akibat kekurangan, dan kesedihan serta cemburu itu merupakan ketidakwajaran kekuatan. Tusi telah mendefinisikan cemburu sebagai keinginan akan kebalikan nasib baik orang lain tanpa ingin memiliki nasib baik tersebut pada dirinya. Hal itu mengikuti definisi yang dilontarkan al-Ghazali yang membedakan antara cemburu dengan iri. Tusi menganggap masyarakat sebagai latar belakang moral dari kehidupan, sebab manusia pada dasarnya merupakan makhluk sosial dan kesempurnaannya terletak pada tindak-tanduk dan patuh yang menunjukkan sifat sosial pada sesamanya.[14] Cinta dan persahabatan karena itu merupakan prinsip-prinsip yang penting dari teori moralnya.— suatu teori yang dengan jelas tidak mengandung kehidupan dan kepertapaan.[15]

Etika  dalam rumah Tangga

Bagi Tusi masyarakat memiliki peran menentukan kehidupan moral, sebab pada dasarnya manusia adalah mahluk sosial, bahkan kesempurnaannya terletak pada tindakan yang bersifat sosial kepada sesamanya. Dengan kata lain ia mendukung konsep cinta dan persahabatan. Dengan demikian ia bukan penganjur kehidupan petarpaan (khalwat). Kendati pun dalam karyanya Al-Aysraf ia menulis bahwa kehidupan keterpaan merupakan suatu taraf dari kehidupan mistis, tetapi ia tidak mengalami itu. Hal itu sebagai bentuk penghargaan  intelektual serta perumusan rasional tradisi tasawuf  kaum sufi.[16]        

Lebih jauh, permasalahan moral juga ia masukkan ke dalam urusan rumah tangga. Tusi mendefinisikan rumah sebagai hubungan istimewa antara suami dan istri, orangtua dan anak, tuan dan hamba serta kekayaan dengan pemiliknya. Tujuan ilmu rumah tangga ialah untuk mengembangkan sistem disiplin yang mendorong terciptanya kesejahteraan fisik, sosial dan mental keluarga. Dimana sosok ayah sebagai pemegang kendalinya. Fungsi ayah ialah menjaga dan memperbaiki keseimbangan keluarga.[17] Jika fungsi itu belum dimilikim seorang laki-laki maka ia tidak dianjurkan untuk menikah.

Kekayaan diperlukan guna mencapai tujuan-tujuan pokok pemeliharan diri serta pemeliharaan keturunan. Tusi menganggap menabung harta sebagai tindakan yang bijaksana, asalkan hal itu tidak di dorong oleh sifat tamak dan kikir. Tusi beranggapan bahwa poligami tidak dikehendaki sebab hal itu bisa mendatangkan kekacauan dalam rumah tangga.[18] Lebih lanjut ia juga menganggap bahwa menabung harta harta sebagai tindakan bijaksana, asalkan hal itu tak didorong oleh sifat kikir dan bahil. Dan tak mendatangkan kesulitan dalam memenuhi kehidupan dan kebutuhan rumah tangga.  Ia sangat membela sikap menengah .

Mengenai kedipsiplinan anak-anak Tusi tampaknya kepada pendapat Miskawaih yaitu dengan memulai penanaman moral yang baik lewat pujian, hadiah dan celaan halus. Dia tak menyukai celaan yang sering diucapkan serta teguran terbuka, celaan yang sering diucapkan akan menimbulkan tingkatan godaan, sedangakan teguran terbukaan akan mengundang keberanian. Setelah memberikan mereka aturan-aturan makan, bermain, berpakain, dan bersikap bergaul dalam masyarakat,  anak-anak harus dilatih untuk memilih pekerjaan yang sesuai dengan mereka. Anak perempuan harus dilatih untuk menjadi istri dan ibu yang baik bagi anak-anaknya kelak dikemudian hari.[19]   
Baik dan Buruk

Menurut Tusi yang baik datang dari Tuhan sedangkan yang buruk muncul sebagai kebetulan (‘ard) dalam perjalanan yang baik itu. Kebaikan misalnya merupakan biji gandum yang ditaburkan diatas tanah dan disirami sehingga tumbuh menjadi tanaman sehingga menghasilkan panen yang melimpah ruah. Keburukan itu ibarat busa yang berasal dari gerakan air, bukan dari air itu sendiri. Dengan begitu tak ada prinsip buruk di dunia ini . tapi sebagai suatu kebetulan yang diperlukan ia merupakan suatu kebetulan yang diperlukan atau hasil dari suatu hal. [20]  

Dalam dunia manusia kadang keburukan terjadi  keresahan penilaian atau penyalah gunaan karunia Tuhan yang berupa kehendak bebas. Tuhan sendiri menghendaki  kebaikan yang menyeluruh, tapi selubung indra, imajinasi, kesenangan, dan pikiran menutupi pandangan kita dan mengaburkan pandangan mental kita. Dengan begitu maka kebijaksanaan tak berhasil memperkirakan akibat-akibat dari tindakan yang mengakibatkan adanya kesalahan pilihan yang pada gilirannya menimbulkan keburukan.

Lebih lanjut ia mengatakan penilaian manusia terkait keburukan terkadang relatif sifatnya dan juga metaforis, maksudnya penilaian kita mengacu pada sesuatu. Misal, ketika api membakar gubuk milik sesorang yang miskin atau banjir melanda sebuah desa, suatu pemburukan ditimpakan kepada apai dan air. Padahal tak ada keburukan kepada keduanya,  bahkan ketiadaan keduanya akan merupakan suatu perburukan  penuh bila dibandingkan dengan keburukan yang kadang ditimbulkan keduanya pada suatu waktu.[21]

Akhirnya Tusi menympulkan keburukan timbul dari kebodohan, atau  akibat dari cacat fisik atau kekurangan sesuatu yang bisa mendatangkan kebajikan. Ketakhadiran siang adalah malam, kekurangan harta adalah kemiskinan, dan ketiadaan kebaikan adalah keburukan.  

DAFTAR PUSTAKA

Mustofa, Drs. H.A . Filsafat Islam, cet-1. Pustaka Setia: Bandung,1997

M. Ishom El-Saha dan Saiful Hadi, Profil Ilmuwan Muslim Perintis Ilmu Pengetahuan Modern, Jakarta: CV. Vauzan Inti Kreasi, 2004.

Suntingan  MM. Syarif. MA,  Para Filosof Muslim, Mizan: Bandung, 1985

Jamil, Ahmad, 100 Muslim Terkemuka, terjemahan dari “Hundred Hreat Muslim” Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.

Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.



   



[1] Drs. H.A. Mustofa. Filsafat Islam, cet-1. (Pustaka Setia: Bandung,1997)  Hal.  311
[2] . M. Ishom El-Saha dan Saiful Hadi, Profil Ilmuwan Muslim Perintis Ilmu Pengetahuan Modern, (Jakarta: CV. Vauzan Inti Kreasi, 2004), hlm. 264-265
[3] Suntingan  MM. Syarif. MA,  Para filosof Muslim, (Mizan: Bandung, 1985), hal. 235.
[4] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999) hal.128
[5] MM. Syarif, op.ic  hal. 238
[6] Jamil Ahmad, 100 Muslim Terkemuka, terjemahan dari “Hundred Hreat Muslim” (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994). Hal. 167 
[7] Hasyimsyah, op.ic hal. 138
[8] MM. Syarif, op.ic hal. 239
[9]  Hasyimsah, hal. 139
[10] Ibid 138
[11] MM, Syarif, Para Filosof Muslim, hal, 241
[12] Ibid, 242
[13] Ibid 242
[14] Ibid 242
[15] Ibid 243
[16] Hasyimsyah, hal. 139
[17] Ibid  244
[18] Ibid 244
[19] Hasyimsayah Nasution, hal. 140
[20] MM, Syarif, hal.  255
[21] Hasyimsah, Filsafat Islam, hal 139

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.