Header Ads

RADIKALISME DAN MASA DEPAN HUBUNGAN AGAMA-AGAMA[1]



Pendahuluan

Dewasa ini, kekerasan atas nama agama semakin banyak dijumpai. Fenomena kekerasan agama dapat dilihat melalui media elektronik maupun media cetak. Berbagai demonstrasi, apakah itu bermuatan politik, social, ekonomi dan budaya mewarnai kehidupan masyarakat. Ada yang dipicu oleh persoalan religio-politik, seperti pilkada, pelaksanaan syariah di dalam bernegara, ada yang difasilitasi oleh persoalan religio-social seperti merebaknya interaksi antar umat beragama, pluralisme dan hubungan lintas agama, ada yang disebabkan oleh persoalan religio-ekonomi seperti kapitalisme yang semakin perkasa, perdagangan perempuan, pengiriman tenaga kerja perempuan, eksploitasi perempuan di media massa, dan persoalan religio-budaya seperti penerapan Islam secara kaffah, merebaknya bidh’ah dalam berbagai variasinya dan tradisi kemaksiatan yang semakin cenderung menguat.

Masalah-masalah ini cenderung direspon dengan tindakan kekerasan, yang dalam banyak hal justru kontra-produktif. Salah satu implikasinya adalah kekerasan agama yang dikonstruk sebagai radikalisme atau fundamentalisme menjadi variabel dominant dalam berbagai tindakan kekerasan yang mengatasnamakan agama. Agama yang semula bermisi kedamaian tereduksi dengan tindakan-tindakan yang bertentangan dengannya.

Radikalisme atau fundamentalisme memang merupakan fenomena agama-agama. Radikalisme atau fundamentalisme tidak hanya dilabelkan kepada penganut Islam, tetapi juga penganut agama lain seperti Kristen, Yahudi, Hindu dan Budha. Berdasarkan penelusuran histories, fenomena radikalisme merupakan gejala yang terjadi di hampir semua agama, baik yang dapat menimbulkan kekerasan agama ataukah tidak.[2]

Kekerasan di dalam agama Hindu dapat dijumpai dalam kasus kekerasan agama di India Selatan, yaitu antara kaum Sikh haluan keras dengan Islam. Di Israel juga dijumpai kekerasan agama antara Kaum Yahudi Ultra dengan umat Islam. Di Jepang juga dijumpai kekerasan agama Shinto dalam bentuk penyimpangan agama yang mencederai lainnya. Demikian pula di agama Kristen seperti halnya yang terjadi di Amerika Serikat dan juga belahan Eropa lainnya. Di dalam Islam juga dijumpai kekerasan agama seperti terjadinya berbagai terror baik yang langsung maupun tidak langsung mencelakai orang lain.[3]

Relasi itu terjadi langsung atau tidak langsung, bahwa radikalisme atau fundamentalisme selalu berurusan dengan kekerasan agama-agama. Fenomena yang dapat diamati ternyata radikalisme atau fundamentalisme berhubungan secara asimetris dengan dinamika kekerasan di dalam berbagai variasinya. Ada di antaranya dalam coraknya yang  simbolik dan ada yang bercorak actual. Secara teoretik, kekerasan simbolik terjad manakala di dalam suatu masyarakat terdapat kelompok yang langsung maupun tidak langsung menggunakan simbol-simbol bahasa atau wacana yang menyebabkan ketidaknyamanan dalam kehidupan bersama.

Fenomena radikalisme atau fundamentalisme agama terutama menjadi mengedepan terkait dengan peristiwa menghebohkan dan menyentakkan dunia, yaitu peristiwa Black September. Pada tanggal 11 September 2001 dunia tersentak dengan peristiwa penghancuran World Trade Center (WTC) dengan cara menabrakkan pesawat yang dibajak oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan gerakan Islam.[4]

Dunia menjadi tersentak kembali melalui peristiwa Bali Blast, 12 Oktober 2002. Pengeboman yajg meluluhlantakkan pusat hiburan Diskotik Sari Club, di Legian Bali itu menandai bahwa dunia sedang berada di dalam tekanan terorisme yang ujung-ujungnya dilakukan oleh gerakan radikalisme agama. Melalui penangkapan terhadap tokoh-tokohnya yang diidentifikasi sebagai Islam radikal, lengkaplah sudah simbolisasi Islam sebagai pemicu gerakan terorisme berbaju agama. Peristiwa pengeboman juga terjadi di Inggris, yaitu pengeboman kereta api bawah tanah di London, tanggal 7 dan 21 Juli 2005, yang juga diidentifikasi dilakukan oleh kelompok Islam garis keras yang melakukan kekerasan sebagai akibat tindakan politik Amerika Serikat yang melakukan invasi terhadap Irak.[5]

Persoalannya adalah siapakah yang mengkonstruksi Islam Radikal sebagai pelaku tindakan teror di berbagai belahan dunia tersebut dan bagaimana masa depan hubungan agama-agama di tengah semakin meruyaknya tindakan terror dari kelompok radikal tersebut? Pertanyaan ini terkait dengan persoalan historisitas ilmu-ilmu social yang selalu menyisakan ruang perdebatan antara tegangan obyektivisme dan subyektivisme.
Di dalam disiplin ilmu social, pembahasan tentang obyektivisme dan subyektivisme merupakan perbincangan klasik di kalangan teoretisi ilmu social.[6] Tegangan obyektivisme dan subyektivisme tersebut telah menjadi perdebatan panjang di antara para ahli ilmu social. Di dalam ilmu social, para ahlinya melihat ada pemilahan dunia obyektif dan subyektif atau keterpilahan subyek-obyek. Dalam pandangan kaum obyektivis –termasuk di dalam paradigma fakta social—beranggapan bahwa fakta social itu ada sesuatu yang empiric sensual, logis dan etik. Karena fakta itu sesuatu yang sensual, maka persyaratan untuk menjelaskan yang empiric itu harus melalui observasi.

Ia harus observable. Selain itu juga masuk akal atau logika manusia menerima itu sebagai sesuatu yang harus dipercayai. Atau sesuatu fakta harus memperoleh pembenaran berdasarkan consensus berbagai pihak. Sedangkan di dalam pandangan kaum subyektivis, maka suatu fenomena merupakan hasil konstruksi manusia. Ia tidak hanya sensual, logis dan etik tetapi juga transcendental. Kaum subyektivis mengakui bahwa dimensi kepercayaan, keyakinan dan hal-hal yang tidak sensual tetapi dipercayai sebagai sesuatu yang ada dianggap sebagai sesuatu yang empiric. Agama dengan berbagai kepercayaan (keyakinan) dan ritual-ritual yang tidak logis pun bisa diterima sebagai sesuatu yang empirik dan benar.[7]

PEMBAHASAN
Genealogi Fundamentalisme

Radikalisme atau fundamentalisme tidak muncul dari ruang hampa. Mengikuti faham kaum fakta social, bahwa radikalisme adalah sebuah gerakan yang terkait atau disebabkan oleh fakta lain. Genealogi radikalisme dapat ditilik dari beberapa penyebab antara lain yaitu:

Pertama, tekanan politik penguasa. Radikalisme atau fundamentalisme muncul disebabkan oleh tekanan politik penguasa terhadap keberadaannya. Di beberapa belahan dunia, termasuk Indonesia, fenomena radikalisme atau fundamentalisme muncul sebagai akibat otoriterisme. Dalam kasus Orde Baru, Negara selalu membabat habis yang diidentifikasi sebagai gerakan radikal. Baginya, radikalisme adalah musuh nomor satu dan dijadikan sebagai common enemy melalui berbagai media transformasi. Orde Baru juga sangat keras terhadap gerakan radikalisme kanan. Di antara yang paling menonjol adalah isu Komando Jihad, di pertengahan tahun 1980-an. Banyak tokoh Islam yang diidentifikasi sebagai pemimpin atau anggota Komando Jihad yang ditangkap dan ditahan. Usaha untuk memberangus gerakan-gerakan radikal Islam itupun terus berlangsung sampai periode munculnya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) di pertengahan tahun 1990-an.[8]

Jika gerakan radikal kiri berada dalam keadaan mati suri, tidak demikian halnya dengan gerakan radikalisme atau fundamentalisme Islam. Gerakan ini sepertinya justru menemukan lahan subur di era reformasi. Gerakan radikal muncul seperti cendawan di musim hujan. Di era reformasi yang mengedepankan demokratisasi dan Hak Asasi manusia, tampaknya tidak menemukan raung gerak untuk melakukan pemberangusan terstruktur dan sistematis terhadap gerakan Islam radikal atau fundamental. Munculnya berbagai gerakan Islam yang berkonotasi radikal akhir-akhir ini, seperti Hizbut Tahrir Indonesia, Majelis Mujahidin Indonesia, Gerakan Salafi, Lasykar Jundullah, Lasykar Jihad, Gerakan Islam Ahlu Sunnah wal Jamaah dan berbagai gerakan keagamaan bercorak local adalah sebuah potret tentang merebaknya geraan-gerakan keagamaan di tengah euphoria keterbukaan, demokratisasi dan hak asasi manusia.[9]

kegagalan rezim sekuler dalam merumuskan kebijakan dan mengimplematasikannya di dalam kehidupan masyarakat. Rezim secular di Negara-negara berkembang yang kebanyakan mengadopsi system kapitalisme ternyata gagal dalam mengimplematasikan kebijakannya di tengah ketidakpastian ekonomi dunia. Kegagalan pembangunan yang mengakomodasi teori-teori modernisasi.[10] ternyata berdampak terhadap ketidakpercayaan masyaraat terhadap model pembangunan yang diadopsi dari pengalaman-pengalaman Negara barat tersebut.

Ada kesenjangan antara praktik pembangunan dengan kebijakan yang dirumuskan. Moralitas pembangunan yang jeblok seperti ini kemudian mengilhami munculnya gerakan-gerakan anti korupsi, kolusi dan nepotisme yang melanda kehidupan birokrasi dan masyarakat. Di tengah ketidakpercayaan ini, maka mucullah gagasan Islam sebagai alternative untuk solusi. Tidak salah jika orang melirik terhadap gerakan-gerakan yang memberikan janji perbaikan, melalui solusi Islam.[11]

Ketiga, respon terhadap barat. Kebanyakan isu yang diangkat ke permukaan oleh kelompok ini adalah responnya terhadap apa pun yang datangnya dari barat. Isu tentang salibisme, moralitas permissiveness, demokrasi dan bahkan hak asasi manusia adalah rekayasa barat untuk meminimalisasikan peran dan pengaruh Islam dalam kehidupan masyarakat. Semua ide tentang persoalan tersebut dikemas dengan konsep modernisasi dan sekularisasi.

Modernisasi mempunyai anak kandung kapitalisme dan materialisme. Kapitalisme yang merupakan proses akumulasi modal didasarkan atas konsep individualisme yang dianggap bertentangan dengan konsep Islam tentang sistem masyarakat. Sedangkan materialisme yang menganggap bahwa materi adalah segala-galanya juga sangat bertentangan secara diametral dengan Islam. Apalagi sekularisasi yang bemakna pemisahan antara agama dan kehidupan dunia juga merupakan musuh Islam yang lebih menekankan kehidupan spiritual. Berbagai isme ini, mau tidak mau harus dilawan sebab akan menggerogoti kehidupan umat Islam secara umum. Di tengah ketidakmenentuan ini, muncul konsep globalisasi yang menihilkan batas geografis, budaya, social dan ekonomi.[12]

Makanya, apa yang terjadi di Negara-negara barat dalam waktu sangat singkat akan terjadi di belahan lain. Padahal, seperti moral permissiveness yang diimpor dari barat tentunya sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam keadaan banyaknya penyimpangan moral, perilaku dan tindakan-tindakan di dalam masyarakat, maka gerakan Islam ini menawarkan konsep kembali ke kehidupan masa lalu, al-salaf al-salih. Kehidupan ini ditandai dengan pengamalan Islam secara kaffah, dalam semua tataran kehidupan. Hokum harus didasarkan atas system syariah, ekonomi harus berbasis syariah, politik berasas syariah dan sebagainya.

Perdebatan Konseptual: Radikalisme atau fundamentalisme

Setelah terjadi serangan terorisme yang sangat fenomenal pada tanggal 11 September 2001 di Amerika Serikat, maka memunculkan suatu wacana yang mengedepan adalah persoalan religio-politik, yang dikonsepsikan sebagai radikalisme Islam. Meskipun konsep ini ada jauh sebelum peristiwa tersebut, misalnya di dunia Kristen Protestan dan juga agama lainnya, namun istilah ini menjadi istilah kunci dan berkonotasi sangat menakutkan, terutama bagi Negara-negara barat. Pasca tindakan terorisme tersebut, maka Presiden Bush menabuh genderang perang terhadap gerakan terorisme yang berbaju agama. Begitu pentingnya perang melawan terorisme itu, maka istilah radikalisme, fundamentalisme dan terorisme adalah istilah yang berkonotasi sama, meskipun sesungguhnya memiliki pengertian yang sangat berbeda.

Dalam khasanah ilmu-ilmu social, terdapat istilah yang sering dikaitkan dan dipersamakan artinya adalah konsep fundamentalisme dan radikalisme. Fundamentalisme dan radikalisme di dalam konteks ilmu social –terutama religio politik—sering dijadikan ungkapan untuk menandai sinisme orang barat terhadap gerakan-gerakan Islam di berbagai belahan dunia. Ungkapan tersebut digunakan untuk menunjuk terhadap gerakan keagamaan di Republik Islam Iran, Imam Khomeini, Hizbullah, Hamas di Palestina, FIS di Aljazair,, Partai Refah di Turki, Ikhwanul Muslimin di Mesir dan sebagainya. Mereka sesungguhnya adalah gerakan religio-politik yang ingin memperjuangkan tegaknya ajaran Islam di dalam system social-politik di masing-masing Negara bahkan berjuang di dalam kerangka penegakan demokrasi dan Hak Asasi Manusia.[13]

Di dalam tradisi Kristen Protestan, fundamentalisme sering dikaitkan dengan garakan-gerakan keagamaan yang mengedepan sebagai reaksi terhadap gerakan keagamaan lainnya yang sering bertolak belakang. Di Amerika Serikat, gerakan fundamentalisme lahir pada tahun 1910-an sebagai reaksi dari gerakan keagamaan yang bercorak liberal-modernisme dan sekularisme. Gerakan ini ditandai dengan diterbitkannya buku-buku yang menggambarkan kebenaran injil secara mutlak dan menafikan penafsiran injil yang menggunakan logika. Buku-buku itu berisi tentang tafsir agama yang sangat tekstual, kebenaran mutlak injil, sifat ketuhanan Yesus, kelahirannya dari Perawan Maria, penebusan dosa dan turunnya Isa secara fisikal.[14]

Konsep fundamentalisme memang sangat problematic. Para teoretisi banyak berdebat tentang istilah ini. William Montgomery Watt menyatakan bahwa istilah fundamentalisme berasal dari kata di dalam Inggris kuno yang dikaitkan dengan orang-orang yang berpandangan bahwa al-Kitab harus diterima dan ditafsirkan secara harfiah. James Barr, menyatakan kaum fundamentalis adalah kelompok yang: 1) menekankan pada ketidaksalahan al-Kitab. Al-Kitab tidak mengandung kesalahan sedikitpun. 2) membenci secara mendalam terhadap teologi modern serta metode dan akibat-akibat yang ditimbulkannya. 3) menganggap bahwa siapapun yang terlibat dengan gerakan teologi modern adalah bukan Kristen sejati.

Di dunia Islam, istilah fundamentalisme masih diperdebatkan, apakah istilah ini relevan atau tidak ketika diterapkan di dalam Islam. Jika transfer konseptual ini dilakukan dengan cirri-ciri sebagaimana di dunia barat Protestan, apakah cocok istilah ini digunakan di dunia Islam. Memang masih terdapat dualisme pandangan tentang istilah ini ketika dikaitkan dengan Islam, yaitu ada yang menolak dan menerima. Yang menolak antara lain adalah Riffat Hassan, Hossein Nasr, Rifyal Ka’bah dan lain-lain. Sedangkan yang menerima istilah ini adalah Nurkholis Majid, Abdurrahman Wahid, Fazlurrahman dan sebagainya.[15]


Istilah fundamentalisme dan radikalisme sering dikaitkan dengan istilah terorisme semenjak Presiden George Bush mencanangkan gerakan anti terorisme. Istilah ini selanjutnya menjadi wacana di dunia internasional. Dalam berbagai perdebatan, istilah fundamentalisme, radikalisme sering dicampuraduk dengan terorisme. Tak jarang juga istilah terorisme selalu dikaitkan dengan garakan-gerakan Islam. Meskipun di kalangan Kristen Protestan sendiri, sesungguhnya istilah fundamentalisme adalah istilah hinaan, karena dikaitkan dengan para penginjil yang literalis, yang dianggap statis dan ekstremis.[16]

Kontroversi Islam Garis “Keras”

Islam garis keras yang dilabel dengan radikalisme Islam adalah sebuah konstruksi social. Sebagai sebuah konstruksi social, maka yang disebut sebagai radikalisme juga sangat tergantung kepada siapa yang mendefinisikannya. Di dalam hal ini, konsepsi radikalisme sangat tergantung kepada subyek yang melabelnya.
Radikalisme adalah hasil labelisasi tentang gerakan-gerakan keagamaan yang memiliki ciri pembeda dengan gerakan Islam yang menjadi meanstreem yang tujuannya adalah untuk menegakkan ajaran islam sesuai dengan masa-masa lalu (salaf al-salih). Visi dan misi gerakan ini adalah untuk menegakan Islam sesuai dengan perintah Allah sebagaimana tercantum di dalam Al-Qur’an maupun Sunnah Nabi Muhammad. Tujuan akhir dari gerakan ini adalah terciptanya suatu tatanan masyarakat, seperti zaman Nabi Muhammad, saw., khulafaur rasyidin dan salaf al-salih. Untuk melakukan perubahan banyak dilakukan dengan cara menjebol tatanan yang sudah ada dan menggantinya dengan tatanan baru sesuai dengan yang diinginkannya.

Berdasarkan rumusan panjang ini maka dibuatlah daftar tentang gerakan mana yang sesungguhnya dapat dikategorikan sebagai radikal atau tidak. Cara berpikir seperti ini yang sering dinyatakan terjebak kepada obyektivisme. Artinya untuk menentukan sebuah gerakan dianggap radikal, maka harus memenuhi criteria dan kategori yang telah disusun di dalam merumuskan radikalisme tersebut. Oleh karena itu, ketika orang menyebut sebuah gerakan dianggap radikal, maka definisi itulah yang menjadi ukurannya.

Oleh karena itu menjadi tidak salah ketika banyak orang melabel kaum radikalis yang telah melakukan pengeboman terhadap lokus yang dianggapnya sebagai tempat kemaksiatan, maka mereka sama sekali tidak menganggap tindakannya sebagai tindakan radikal tetapi jihad. Dalam konteks perbincangan ilmu social, anggapan demikian dianggap terjebak kepada subyektivisme. Artinya bahwa dirinya sendirilah yang menentukan terhadap label yang melekat pada dirinya. Tindakan yang oleh orang lain dinyatakan sebagai terror terhadap kemanusiaan, menurutnya adalah jihad sebagai perintah agama.

Dalam konteks labelisasi terhadap sebuah gerakan ini, maka menjadi menarik untuk membincangkan tegangan antara kelompok yang dilabel sebagai gerakan radikalis di satu sisi dengan respon yang diberikan oleh kelompok dimaksud terhadap pemberi labelnya. Di sinilah makna simbolisasi itu memperoleh maknanya.
Janji tentang pahala orang syahid dengan imbalan surga tentunya memicu untuk melakukan tindakan di luar tindakan umum yang berlaku.

Hanya sayangnya, tindakan teror yang dilakukan oleh sekelompok orang dengan ucapan Allahu Akbar ternyata berimplikasi lain. Salah satu implikasinya adalah munculnya anggapan bahwa Islam memiliki relevansi dengan tindakan teror. Labelisasi inilah yang kemudian membawa implikasi lanjutan bahwa kekerasan atas nama agama menjadi absah. Padahal senyatanya, bahwa terorisme dengan terornya tetap teror dan bukan agama. Keduanya merupakan sesuatu yang berhubungan secara simetris. Keduanya tidak akan pernah bertemu karena tujuan akhirnya sangat berbeda. Tujuan keselamatan tetaplah haruslah menggunakan cara dan jalan keselamatan. Tujuan keselamatan tidak bisa diperoleh melalui cara-cara yang bertentangan dengan keselamatan. Jika teror bukan cara untuk keselamatan, sudah pasti bahwa teror bukan berkaitan dengan agama.

Memang harus dipahami bahwa stigma tentang Islam sebagai gerakan yang mendorong terjadinya kekerasan adalah suatu pandangan barat tentang Islam yang sering kali bersifat menggeneralisasikan. Komaruddin Hidayat dalam kata pengantar bukunya Olaf H. Schumann, misalnya menyatakan: “kesan dan penilaian bahwa Islam berada di balik gerakan radikalisme dan terorisme tampaknya dengan sengaja dibangun oleh beberapa media barat. Secara factual memang ada benarnya, namun sama sekali tidak mewakili mainstream ajaran dan gerakan Islam. Adalah menjadi pertanyaan dan harus dicurigai ketika muncul generalisasi dan kesengajaan opini untuk memojokkan citra Islam sebagai agama yang anti-perdamaian, anti demokrasi, dan anti peradaban global Islam sebagaimana Yahudi dan Kristen adalah agama serumpun dari tradisi Ibrahim yang kesemuanya –bersama Hindu, Buddha, Konghucu merupakan agama dan sekaligus pendukung peradaban dunia yang harus kita hormati dan pelihara eksistensinya”.[17]

Hampir semua agama memang memiliki tradisi kekerasan. Namun demikian, sebagaimana yang terjadi bahwa mereka bukanlah mewakili arus utama tradisi agama-agama. Di Indonesia, arus utama agamanya adalah yang diwakili oleh Islam moderat melalui representasi NU, Muhammadiyah, Nahdlatul Wathon, Jam’iyah Washliyah, dan lain-lain.

Sedangkan yang tergolong radikal –meskipun jumlah organisasinya banyak—hanya memiliki jumlah keanggotaan kecil yang kebanyakan berpusat di kota-kota. Kebanyakan mereka adalah anak-anak muda perkotaan, yang memang sedang di dalam proses pencarian makna agama di dalam kehidupan bermasyarakat. Di dalam proses pencarian ini, mereka bertemu dengan tradisi-tradisi yang memiliki paham keagamaan yang “keras” dan cenderung eksklusif.
Ghirah keislaman yang demikian membara terkadang melupakan bahwa ternyata ada entitas lain yang juga memerlukan ruang kehidupan yang sama dengannya. Pemahaman keislaman yang rigid terkadang memaksanya untuk melakukan tindakan-tindakan keagamaan yang secara subyektif melawan keselamatan dan kedamaian. Di tengah suasana kekerasan tersebut, maka stigma-stigma yang muncul adalah Islam secara afinitas elektif mendorong terjadinya kekerasan social.

Hanya saja, stigmatisasi ini didukung oleh sejumlah besar media massa sehingga memiliki gaung yang luar biasa. Padahal senyatanya, Islam adalah agama yang memiliki misi keselamatan dan kedamaian, menjunjung tinggi keadilan dan equalitas, mengedepankan pemberdayaan dan pengembangan masyarakat. Islam sama sekali menentang terhadap kekerasan dengan dalih mengembalikan masyarakat ke dalam ajaran agama yang benar. Islam memberikan ruang yang memadai untuk saling berbeda, bahkan terhadap keyakinan atau agama sekalipun. Sesungguhnya Islam mengajarkan bahwa keselamatan, kedamaian, dan kesejahteraan adalah persoalan humanitas yang seharusnya dijunjung dan diperjuangkan secara maksimal. Dengan demikian, semua gerakan keagamaan yang menggunakan cara-cara yang tidak mengutamakan keselamatan, seperti kekerasan-kekerasan atas nama agama –apapun agamanya—maka sudah pasti itu bukan tindakan keagamaan yang berbasis keselamatan tersebut.[18]

Masa Depan Hubungan Agama-Agama

Islam radikal adalah wacana yang dikembangkan oleh dunia barat. Ia merupakan fantasi barat tentang dunia Islam yang menakutkan. Ia takut akan kegagalan proyek universalisasi dunia di bawah komando barat, khususnya Amerika Serikat. Di tengah kegalauan ini, maka dibuatlah berbagai proyek untuk memberangus berbagai gerakan keagamaan yang bercorak keras. Salah satu intelektual barat yang sangat bombastis membuat hipotesis akan terjadinya benturan peradaban adalah Huntington.39 Tulisan Huntington yang sangat bombastis yang bertitel “Class of Civilization” merupakan refleksi dari kegalauan tentang perkembangan Islam dalam percaturan dunia dewasa ini.[19]

Tesis Huntington ini banyak menuai kritik. Yang paling utama adalah kritik bahwa benturan peradaban sesungguhnya merupakan refleksi pemikiran barat tentang Islam, yang diidentifikasi sebagai musuh utama barat. Setelah hancurnya Uni Soviet, maka tidak ada lagi ideology lain yang bisa menandingi barat. Kekuatan Sosialisme pun tinggal bertumpu di Cina –sekarang sudah mengadopsi system kapitalisme-- kemudian Korea Utara dan Chili yang secara ekonomis juga sudah hancur pasca kehancuran induk semangnya, Uni Soviet. Oleh karena itu yang dianggap akan menjadi batu sandungan barat dalam proyek-proyek westernisasi dan universalisasi dunia di bawah panji-panji barat khususnya Amerika Serikat adalah Islam. Islam memenuhi syarat untuk menjadi lawan bagi barat.[20]

Islam tidak hanya sekedar agama dengan seperangkat keyakinan terhadap hal-hal gaib dan serangkaian upacara ritualnya, akan tetapi adalah seperangkat pedoman hidup yang kaffah, utuh dan menyeluruh. Secara histories, Islam telah menjadi separngkat pedoman kehidupan yang memiliki pengaruh sangat signifikan. Agama gurun yang tandus hanya dalam waktu singkat telah menjadi agama bagi jutaan umat di dunia. Agama yang semula hanya dipeluk oleh masyarakat selatan dan timur tengah yang terbelakang, namun kenyataannya telah berubah menjadi agama yang menyebar di berbagai Negara, termasuk barat dan juga Asia Timur. Perkembangan yang demikian mencolok merupakan bukti bahwa Islam mamiliki élan vital yang luar biasa untuk menyaingi agama-agama yang telah mapan.

Perkembangan Islam di Asia tenggara juga menjadi catatan khusus. Islam yang selama ini dipandang sebagai Islam Pheripheral, ternyata telah melepas belenggu itu. Bahkan John Elposito mengagumi perkembangan Islam di Asia Tenggara dapat memainkan peranan yang sangat besar di masa datang. Islam di Malaysia dan Indonesia dapat menjadi Barometer perkembangan kemajuan Islam di dunia. Kebangkitan Islam di Asia Tenggara menunjukkan bahwa Islam di belahan ini tidak stagnan bahkan akan menjadi alternative bagi perkembangan Islam tahap berikutnya. Islam di Asia Tenggara hingga sekarang masih memberikan gambaran tentang Islam yang moderat. Terutama di Indonesia, Islam masih berwajah moderat terbukti dengan kekuatan Muhammadiyah dan NU yang bercorak moderatisme tersebut. Namun penilaian ini masih sangat tentative. Salah satu di antaranya adalah semakin kuatnya arus perkembangan Islam garis keras dalam aras percanturan dan dinamika Islam di Indonesia. Semaraknya fenomena gerakan-gerakan Islam garis keras dalam berbagai moment dan penyikapan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah dewasa ini sekurang-kurangnya memberikan gambaran bahwa ada tren meningkat dari gerakan ini.

Dalam kajian ilmu social, konflik adalah penggerak dinamika masyarakat. Mengikuti kaum Marxian, bahwa tanpa konflik maka dinamika kehidupan masyarakat akan menjadi kurang semarak. Melalui konflik masyarakat yang stagnan akan menjadi berubah. Konflik tidak hanya bercorak horizontal, tetapi juga vertical. Hubungan konfliktual antara sesama penganut agama (intern umat beragama) adalah contoh konflik horizontal. Sedangkan konflik vertical terjadi antara rakyat dan Negara atau antara satu strata social yang lebih rendah dengan strata social lainnya. Konflik juga memiliki derajad intensitas yang berbeda-beda.

Konflik akan menjadi sangat keras manakala telah melibatkan agama. Dalam sejarah panjang perjalanan agama-agama, kekerasan yang difasilitasi oleh agama menjadi luar biasa beringasnya. Konflik antara Islam dan Kristen yang dionstruksikan sebagai perang Salib –perang seratus tahun dan melibatkan tokoh besar Salahuddin Al-Ayyubi dan Raja Richard—adalah perang yang sungguh melelahkan dan menghancurkan. Bahkan konflik antara penganut Katolik dan Protestan di awal-awal perkembangan Protestan juga konflik dengan kecenderungan yang sangat keras. Perburuan terhadap kelompok Protestan yang dianggap sebagai kelompok heresyi, murtad dan merusak keyakinan Katolik juga menjadi sejarah kelabu dalam sejarah agama-agama.

Konflik antara Islam dan Kristen pada dasarnya berhubungan dengan doktrin-doktrin teologi yang eksklusif. Masing-masing agama memang memiliki doktrin yang menihilkan agama lain. Baik Islam maupun Kristen memiliki doktrin teologis yang saling meniadakan. Masing-masing memiliki truth claim sebagai agama yang benar dan benar-benar agama.[21]

Doktrin-doktrin teologis yang demikian ini kemudian menjadi pegangan dalam melakukan tindakan. Oleh karena itu, di antara umat kedua agama ini juga berkeinginan untuk mempertahakan dan menyebarkan agama berdasarkan truth claim tersebut. Islam memiliki konsep dakwah (penyebaran agama kepada orang atau kelompok lain).[22] Demikian pula Kristen juga memiliki doktrin missionary (penyebaran agama kepada masyarakat lain). Benturan ini yang sering kali memicu konflik berkepanjangan.

Namun demikian, menurut Mahmoud Ayoub, bahwa yang menjadikan konflik itu semakin keras adalah skap-sikap kolonialisme, misionaris dan kalangan orientalis yang sering menjadi pemicu dari konflik tersebut. Sikap kolonialisme yang berkeinginan untuk melakukan hegemoni dan repressi terhadap penduduk pribumi untuk kepentingan ekonomi, penguasaan sumber-sumber ekonomi dan penguasaan sumber-sumber kekuasaan politik menjadi variabel penting di dalam memicu konflik antara Islam dan Kristen. Gerakan misionaris yang mendompleng terhadap penjajahan dan terus berlangsung hingga dewasa ini juga menjadi factor dominant perlawanan terhadap kelompok Kristen. Demikian pula sikap orientalisme yang menciptakan idiom-idiom barat sebagai bangsa pilihan, superior, dan memiliki kelebihan-kelebihan dibanding bangsa timur juga menjadi penyebab lain pertentangan antara Islam dan Kristen.[23]

Konflik agama antara Islam dan Yahudi juga terjadi hingga dewasa ini. Konflik ini oleh Basyaib diidentifikasi oleh persoalan politik alih-alih persoalan teologis.[24] Memang tidak bisa diremehkan bahwa akar pertentangan itu semula memang karena factor teologis, namun babak berikutnya yang menguatkan konflik adalah factor politik. Pertentangan itu sesungguhnya dimulai dari terusirnya kelompok Yahudi dari Madinah pada zaman Nabi Muhammad saw., dan terus berlangsung hingga sekarang. Rusaknya dinamika hubungan antara Islam-Yahudi, terutama dewasa ini, adalah murni persoalan politik. Ketika telah terbentuk Negara Israel dan puncaknya adalah terbentuknya fundamentalisme Yahudi di Israel dan daerah-daerah pendudukan Tepi barat dan Gaza, maka juga memunculkan fundamentalisme Islam yang menjadikan hubungan antara Islam dan Yahudi semakin suram.

Ditinjau dari perspektif teologis jelas bahwa antara Yahudi dan Islam memiliki perbedaan yang sangat principal. Perbedaan teologis yang selalu menjadi ciri truth claim masing-masing agama sesungguhnya adalah inti pembeda di dalam berbagai agama. Sama dengan Islam dan Kristen, Yahudi dan Islam juga memiliki truth claim-nya masing-masing. Dotrin Israel sebagai bangsa pilihan, hakikatnya merupakan akar teologis yang menyebabkan orang Israel selalu memandang rendah kelompok lain. Kemudian, akan menjadi penyebab rusaknya hubungan antar pemeluk agama. Doktrin Islam juga mengajarkan sebagai manusia pilihan. Ketika dua kelompok saling mengklaim sebagai manusia pilihan, maka berujung pada kerusakan hubungan di antara keduanya.

Namun demikian, dewasa ini sudah mulai terjadi kesadaran baru dalam hubungan antar agama-agama. Menurut catatan Diana L. Ecks, bahwa di America Serikat juga sedang tumbuh dengan kuat tentang kehidupan keagamaan yang mengedepankan sikap saling menghargai dan menghormati. Sikap persahabatan itu dilakukan oleh berbagai elit agama dari berbagai macam agama. Di kalangan kaum Budha yang kebanyakan kaum imigran juga ada kesadaran untuk menyumbang budaya Amerika. Dalam kasus perayaan Thank Giving, umat Budha juga dianjurkan agar mereka terlibat di dalam peristiwa budaya tersebut. Termasuk juga kebolehan untuk merayakan kelahiran Yesus sebagai hari kedamaian dan saling menukar cendera mata. Bahkan kelompok Islam juga lebih mengambil tema-tema perjuangan yang berkonotasi moderat.
Corak sikap keislaman seperti ini sangat berbeda dengan beberapa decade lalu, yang lebih mengambil corak keislaman yang militant. Perubahan ini memicu perubahan pada beberapa kelompok Islam Afrika-Amerika yang juga menjadi cenderung moderat.[25]

Di Indonesia, gerakan dialog antar umat beragama juga sudah dilakukan secara maksimal. Suatu kenyataan bahwa dialog tersebut baik langsung maupun tidak langsung telah memberikan kesepahaman tentang perbedaan dan persamaan di antara agama-agama. Perbedaan yang sangat menonjol adalah dimensi teologis dan ritual, namun ada dimensi kesamaan yang diusung oleh masing-masing agama adalah dimensi humanisme agama. Agama apapun akan memperjuangkan keselamatan, kesejahteraan dan keadilan dan kedamaian. Pigura kemanusiaan inilah yang perlu dikedepankan, sebab pada dimensi inilah titik temu agama. Dialog agama tentu bukan dalam khasanah mencari kesamaan-kesamaan doktrin teologis dan ritual, sebab memang harus berbeda. Akan tetapi yang penting adalah menemukan titik kesamaan dalam program kemanusiaan ke depan. Ruang kosong humanitas itulah yang perlu diisi dengan program bersama bukan dalam tataran teologis dan ritual tetapi dalam pigura memanusiakan manusia.[26]

Hubungan antar agama yang seperti ini memang bisa dibangun jika masing-masing agama mengusung moderatisme. NU dan Muhammadiyah yang menjadi pilar kehidupan keberagamaan di Indonesia mestinya bisa melakukan dialog ini, sebab keduanya adalah dua organisasi yang memiliki cirri moderatisme yang lebih mengedepankan inklusifisme keberagamaan. Namun persoalan yang adalah ketika dialog itu akan dilakukan terhadap kelompok yang mengedepankan corak keberagaam yang fundamental dan mengedepankan eksklusifisme keberagamaan.

Ketakutan dunia barat terhadap Islam adalah Islam dalam konstruksi keberagamaan yang bercorak eksklusif tersebut. Pembenaran lapangan terhadap berbegai pelaku terror di banyak Negara adalah mereka yang dikategorikan sebagai Islam garis keras. Bom Bali dilakukan oleh Amrozi cs., Bom London dilakukan oleh jaringan al-Qaidah, kekerasan di Filipina juga terkait dengan jaringan al-Qaidah, demikian pula kekerasan di Mesir, Afghanistan dan sebagainya. Tema-tema yang diusung oleh kelompok Islam radikal tentang penerapan syariat Islam adalah tema-tema yang “menakutkan”.

Kekerasan, sekali lagi bukan tipe agama-agama. Agama selalu menawarkan doktrin keselamatan dan kesejahteraan. Oleh karena itu, jika terjadi kekerasan agama hakikatnya adalah implikasi dari tafsir agama yang cenderung literalistic, sempit, dan hitam putih. Tafsir agama itu kemudian dianggap sebagai agama yang bercorak doktriner. Jika ini yang banyak terjadi, maka program kerukunan antar umat beragama yang semenjak Menteri Agama Alamsyah Ratu Perwiranegara, melalui konsep tri kerukunan umat beragama, yaitu: kerukunan intern umat beragama, kerukunan antar umat beragama dan kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah hanyalah akan menjadi pepesan kosong.

Untuk menjawab persoalan ini, Peter L. Berger menawarkan dua konsep penting agar tidak terjadi kekerasan agama, yaitu: religious revolution dan religion subcultures.[27] Arahan pertama terkait dengan bagaimana kaum elit agama dapat menumbuhkan dengan cepat kesadaran akan pentingnya model agama yang modern. Di dalam agama yang modern ditandai dengan cirinya yang menghargai pluralitas. Manusia tidak hidup dalam wilayah yang vakum diversitas dan vakum budaya. Manusia tidak hidup dalam ruang dan entitas homogin, tetapi manusia hidup di dalam ruang dan entitas yang heterogin. Maka, agama akan menjadi mode of communication, [28] artinya agama menjadi model komunikasi tidak hanya vertical kepada Tuhan tetapi juga sebagai model komunikasi horizontal. Menempatkan agama sebagai model komunikasi, maka dipersyaratkan adanya kesepahaman mengakui perbedaan dalam banyak hal, tetapi juga memiliki kesamaan misi kemanusiaan.

Religion subcultures yaitu gerakan kaum elit agama untuk mencegah pengaruh luar agama untuk masuk ke dalam wilayah agama. Factor politik dan ekonomi adalah dua variabel penting yang sering mengintervensi kehidupan keberagamaan. Akibatnya banyak hal yang menjadi carut marut karena factor politisasi agama dimaksud. Agama yang sesungguhnya adalah persoalan moralitas, tertarik ke dalam wilayah politik dan ekonomi yang profan. Implikasinya adalah kesulitan untuk membedakan apakah ini masalah politik atau masalah agama. Gerakan-gerakan Islam radikal, sesuai dengan konstruksinya tentu sangat berbeda dengan konsep ini. Gagasan Nurkholis Madjid tentang Islam Yes, Partai Islam No, dianggapnya sebagai keterpengaruhan paham sekularisme yang memisahkan agama dengan profane lainnya. Padahal yang dimaksud adalah memberikan pembedaan wilayah, mana yang wilayah agama dan mana wilayah politik. Agama terkait dengan persoalan wilayah sacral sedangkan politik terkait dengan persoalan wilayah profane.

Merespon terhadap radikalisme agama, kiranya ada konsep yang perlu dikembangkan adalah membangun kesadaran universalisme-partikularitas agama. Konsep ini terkait dengan ajaran agama yang selalu bermuatan universal, baik dalam tataran teologis, ritual maupun moralitas. Konsep teologis dalam agama selalu bercorak universal. Demikian pula konsep ritual dan moralitas yang diusung oleh agama. Namun demikian, konsep teologis dan ritual tersebut dapat diterjemahkan oleh manusia melalui konstruksi social masyarakatnya. Dalam masalah teologis, yang sesungguhnya adalah persoalan yang sangat rigid tetapi dalam konteks social juga terdapat pemahaman yang berbeda-beda. Dalam praktik ritual, di sana-sini terdapat perbedaan karena penafsiran orang-orang terdahulu tentang ritual.[29]

Yang sangat universal adalah persoalan moralitas, terutama yang menyangkut pesan humanisme, keselamatan, keadilan, kesejahteraan dan sebagainya. Jadi mesti diandaikan bahwa di tengah universalitas tersebut ternyata terdapat partikularitas yang memang menjadi ciri dari pemahaman manusia tentang yang universal tersebut. Jadi, konsep partikularitas tidak dimaksudkan sama dengan konsep lokalitas agama dalam perspektif antropologis yang dikembangkan oleh Niels Mulder, yaitu agama apapun yang datang ke dalam wilayah suatu budaya juga akan takluk di tangan budaya local. Agama pendatang (Islam dan Kristen) hanya kelihatan di permukaan, tetapi hakikatnya adalah kebudayaan lokal.[30]

Namun di dalam konteks ini, yang dimaksud adalah menempatkan agama dalam aras konteks lokalitasnya, yaitu agama sebagai sesuatu yang universal tetapi memiliki corak particular. Agama adalah moralitas yang melazimi berbagai tindakan social masyarakatnya. Ia akan bermakna manakala menjadi dasar moralitas dari suatu tindakan. Agama akan kehilangan relevansinya jika ia tidak lagi mampu menjadi dasar moralitas di dalam suatu masyarakat.

Agama juga harus ditempatkan dalam konstruks lokalitasnya. Tidak ada yang dapat mengingkari kebenaran agama secara universal, namun agama juga menyangkut bagaimana ia diterjemahkan oleh masyarakatnya. Agama yang merupakan wahyu Tuhan, ketika berada di tangan manusia maka ia akan menjadi agama manusia. Kebenaran agama adalah kebenaran yang menjadi milik manusia atas dasar tafsirannya tentang ajaran Tuhan pada agama dimaksud. Jadi, truth claim kebenaran agama hakikatnya adalah truth claim kebenaran hasil konstruksi manusia.

Dari konsep lokalisasi agama ini, kiranya dapat dirumuskan penjabarannya sebagai berikut[31]: pertama, menampilkan ajaran Islam yang memiliki moralitas universal. Yang diusung di dalam universalitas adalah moralitas agamanya. Agama apapun akan mengajarkan kemanusiaan, cinta dan kasih sayang, keadilan, kesetaraan, keselamatan dan perdamaian. Persoalan kemanusiaan adalah persoalan universal, sehingga harus diusung oleh semua pemeluk agama.

Kedua, menggalang pemahaman agama yang tidak sempit dengan klaim kebenaran yang eksklusif. Kesadaran itu bersumber dari pemahaman bahwa ada perbedaan teologis dan ritual yang tidak terbantahkan, tetapi juga ada dimensi humanitas yang dapat dipertemukan. Faham agama yang eksklusif akan berimplikasi terhadap penyangkalan diversitas kepemelukan agama yang memang menjadi keniscayaan di dunia ini. Ketiga, mengembangkan sikap keberagaman yang moderat. Moderatisme adalah sikap keberagamaan yang cenderung memberikan ruang bagi yang lain untuk hidup.

Melalui sikap moderat, maka orang lain dengan keyakinan berbeda, pandangan hidup berbeda dan gaya hidup berbeda adalah suatu kewajaran dan kemungkinan di dalam kehidupan.
Dengan memahami prinsip hidup bersama di tengah perbedaan, maka hubungan agama-agama yang selamat dan damai kiranya akan mendapatkan ruang hidup yang memungkinkan.

KESIMPULAN

Dari pemaparan tersebut dapat disimpulkan dalam empat hal, yaitu: 1) Radikalisme, fundamentalisme atau kekerasan agama hakikatnya adalah konstruksi social tentang paham dan tindakan keagamaan yang dilakukan oleh golongan Islam tertentu. Labeling ini diberikan oleh golongan lain sesuai dengan konsepsi mereka. Sementara itu, pelakunya sendiri menganggap bahwa pemahaman dan tindakan keberagamaannya memiliki kesesuaian dengan apa yang sesungguhnya dimaksudkan oleh ajaran agama yang dipeluknya. Dualitas makna ini yang sering menjadikan hubungan di antara keduanya memasuki tegangan-tegangan yang krusial.

2) Radikalisme agama adalah respon social terhadap realitas social yang dikonstruksi sebagai “menyimpang” dari ajaran agama yang benar. Isu-isu yang dikembangkan terkait dengan ketidakadilan barat terhadap Islam, modernisasi yang salah arah dan kegagalan pemerintah secular dalam menata dan membangun masyarakatnya.

3) Dinamika hubungan antar agama dan antara agama dengan negara sering terkontamisasi dengan tindakan-tindakan beragama yang dikonstruksi oleh kelompok yang dikonstruksi sebagai radikal. Isu tentang penerapan syariat Islam di dalam suatu Negara, sering menjadi arus utama terjadinya konstruksi social terhadap radikalisme atau fundamentalisme. Demikian pula tindakan teror yang dilakukan dengan mengumandangkan Allahu Akbar juga menjadi penyebab pemojokan Islam di dalam kancah hubungan agama-agama.

4) Dalam hubungan agama-agama maka masing-masing pemeluk agama harus menyadari universalisme-partikularitas agama di dalam kehidupan bermasyarakat. Agama memiliki doktrin universal, namun sekaligus ia particular ketika telah berada di tangan manusia dan masyarakat







[1] Diajukan sebagai tugas Ujian Tengah Semester mata kuliah Sosiologi Agama, di Fakultas Ushuluddin, Jurusan aqidah Filsafat ruang 706 UIN Jakarta.
[2] Hasan M. Noor, “Islam, Terorisme dan Agenda Global” dalam Perta, hlm. 4-5  
[3] Ibid hal. 5
[4] Periksa Yoyo Hambali, “Fundamentalisme dan Kekerasan Agama…, (Jakarta: Gema Insani,2006) hlm. 8 
[5]  Lihat Koran Kompas, edisi jumat, 14 Oktober 2002
[6] Obyektivisme berpangkal pada filsafat positivisme yang digagas oleh August Compte dan dimantapkan oleh Emile Durkheim dalam gagasannya tentang paradigma fakta social. Fakta social adalah barang sesuatu (thing) baik yang berupa benda-benda riil maupun yang tidak riil. Yang riil adalah sesuatu yang empiric sensual, seperti gedung-gedung, jembatan, dan sebagainya, sedangkan yang tidak riil seperti kelompok social, strata social, kelompok keagamaan, gerakan keagamaan dan sebagainya. Di sisi lain, subyektivisme berpangkal pada filsafat fenonmenologi yang digagas oleh Hegel dan dimantapkan oleh Husserl dan dikembangkan oleh Alfred Schultz, Max Weber dan Berger dalam paradigma konstruksi social. Dunia adalah hasil konstruksi social, karenanya fenomena selalu bercorak subyektif. Manusia memiliki kemampuan untuk mengkonstruksi dunianya sendiri, termasuk agama adalah hasil konstruksi social.   
[7] Muhammad Imarah, Fundamentalisme Dalam Perspektif Barat dan Islam, (Gema Insani Press,1999), hlm. 34
[8] Abdul Azis Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru. (Jakarta: Gema Insani Press, 1995 ). Hal. 45
[9] Ibid  hal. 47
[10] Arief Budiman, Teori-teori Pembangunan di Dunia Ketiga. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994) 
[11]  Hal inilah menurut penulis yang dimanfaatkan sebagian kalangan untuk melancarkan idenya  melakukan sikap fundamentalisme atau radikal.
[12]  Mike Featherstone, Posmodernisme dan Budaya Konsumen. (Jogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005)  hal. 38
[13] Muhammad Imarah, op.ic. hal. 45
[14] Mike Featherstone, op.ic. 38
[15] Nur Syam, Bukan Dunia Berbeda (Bandung: PT. Pustaka Hidayah, 2009) hlm. 196 
[16]  Muhammad Imarah, Fundamentalisme Dalam Perspektif Barat dan Islam, (Gema Insani Press,1999), hlm. 34

[17] Komaruddin Hidayat, “Kata Pengantar” dalam Olaf H. Schumann, Menghadapi Tantangan, Memperjuangkan Kerukunan. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), hlm. xiii 
[18] Ada sebuah pernyataan menarik yang diungkapkan oleh Dom Helder Camara, tokoh pendamai asal Brazil. Dia menyatakan: “ketika kekerasan disusul dengan kekerasan, dunia jatuh dalam spiral kekerasan”. Oleh karena itu, Johan Galtung menawarkan konsep bahwa “perdamaian hanya dapat diwujudkan dengan sarana-sarana damai”. Periksa Johan Galtung,  dalam buku Studi Perdamaian.hal.112    
[19] Menurut Richard Falk, bahwa tulisan Huntington itu sangat berpengaruh bukan karena substansi dan alur logikanya, akan tetapi karena tulisan itu memiliki gaung luar biasa dan menjadi perdebatan di berbagai kalangan. Tulisan ini sama dengan karya Nietzche tentang “Twiligth of the Gods”, yang berpengaruh bukan karena alur pemikiran dan metodenya tetapi karena pengaruh sosialnya yang luar biasa pada masyarakar Yunani. Periksa Richard Falk, “Geopolitik Penyingkiran terhadap Islam (Kritik atas Huntington)” dalam Ulumul Qur’an, No. 6/VII/1997, hlm. 63 
[20] Masih menurut Falk, bahwa barat telah menciptakan konsep universalisme yang keliru, yaitu sebuah topeng untuk menutupi hegemoni barat yang telah lama digunakan. Oleh karena itu, diciptakanlah perang peradaban untuk menyingkirkan Islam di dalam percaturan geopolitik internasional. Ia dengan jernih mempertanyakan “bagaimana Islam telah menjadi korban diskriminasi dalam pembentukan tatanan dunia?”. Periksa Richard Falk, “Geopolitik Penyingkiran…”, hlm. 64 
[21] Azim Nanji, Peta Studi Islam, (Yogyakarta: fajar Pusatak Baru, 2003). Hal. 36
[22] Mahmoud M. Ayoub, “Akar-akar Konflik Muslim-Kristen” dalam Ulumul Qur’an, No. 4, Vol. IV, th. 1993, hlm. 26-27. 
[23] Mahmoud Ayyub, hal. 29-30
[24] Hamid Basyaib, “Perpektif Sejarah Hubungan Islam dan Yahudi” dalam Ulumul Qur’an, No. 4, Vol. IV, th. 1993, hlm. 42  
[25] Penulis kutip dari PDF,  alamat website http://download.portalgaruda.org/article.php?article=49270&val=3912, di akses Senin, 09 November 2015. Tentang Diana L. Eck, A New Religious America: How Christian Country Has Become the World’s Most Religiousy Diverse Nation. (San Francisco: Harper San Francisco, 2001), hlm. 339-440
[26] M. Ridlwan Nasir dan Nur Syam, Institusi Sosial di Tengah Perubahan. (Surabaya: Jenggala Pustaka Utama, 2004), hlm. 160-174. 

[27] Happy Susanto, “Menyoroti Fenomena Kekerasan Agama, (Bandung : PT. Raja Perindo, 2009) hal.76
[28] Konsep agama sebagai Modes of Communication dinukil dari Peter Beyer, Religion and Globalization. (London: Sage Publication,Ltd., 1994) terj. Muhammad Ali Wardana, Yogyakarta: PT. Insan Cita Bumi, 2010. Periksa juga Nur Syam, Bukan Dunia Berbeda: Sosiologi Komunitas Islam. (Surabaya: Eureka, 2005), hlm. 94 
[29]  Ibid. 176
[30]  Zuly Qodir, Agama dalam Bayang-bayang Kekuasaan,(Yogyakarta: Dian Interdien,2001), hlm. 3
[31]  Penulis kutip dari bukunya Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela, (Yogyakarta: LkiS, 2000), hal…

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.