RADIKALISME DAN MASA DEPAN HUBUNGAN AGAMA-AGAMA[1]
Pendahuluan
Dewasa ini, kekerasan
atas nama agama semakin banyak dijumpai. Fenomena kekerasan agama dapat dilihat
melalui media elektronik maupun media cetak. Berbagai demonstrasi, apakah itu
bermuatan politik, social, ekonomi dan budaya mewarnai kehidupan masyarakat.
Ada yang dipicu oleh persoalan religio-politik, seperti pilkada, pelaksanaan
syariah di dalam bernegara, ada yang difasilitasi oleh persoalan religio-social
seperti merebaknya interaksi antar umat beragama, pluralisme dan hubungan
lintas agama, ada yang disebabkan oleh persoalan religio-ekonomi seperti
kapitalisme yang semakin perkasa, perdagangan perempuan, pengiriman tenaga
kerja perempuan, eksploitasi perempuan di media massa, dan persoalan
religio-budaya seperti penerapan Islam secara kaffah, merebaknya bidh’ah dalam
berbagai variasinya dan tradisi kemaksiatan yang semakin cenderung menguat.
Masalah-masalah ini
cenderung direspon dengan tindakan kekerasan, yang dalam banyak hal justru kontra-produktif.
Salah satu implikasinya adalah kekerasan agama yang dikonstruk sebagai
radikalisme atau fundamentalisme menjadi variabel dominant dalam berbagai
tindakan kekerasan yang mengatasnamakan agama. Agama yang semula bermisi
kedamaian tereduksi dengan tindakan-tindakan yang bertentangan dengannya.
Radikalisme atau
fundamentalisme memang merupakan fenomena agama-agama. Radikalisme atau
fundamentalisme tidak hanya dilabelkan kepada penganut Islam, tetapi juga
penganut agama lain seperti Kristen, Yahudi, Hindu dan Budha. Berdasarkan
penelusuran histories, fenomena radikalisme merupakan gejala yang terjadi di
hampir semua agama, baik yang dapat menimbulkan kekerasan agama ataukah tidak.[2]
Kekerasan di dalam
agama Hindu dapat dijumpai dalam kasus kekerasan agama di India Selatan, yaitu
antara kaum Sikh haluan keras dengan Islam. Di Israel juga dijumpai kekerasan
agama antara Kaum Yahudi Ultra dengan umat Islam. Di Jepang juga dijumpai
kekerasan agama Shinto dalam bentuk penyimpangan agama yang mencederai lainnya.
Demikian pula di agama Kristen seperti halnya yang terjadi di Amerika Serikat
dan juga belahan Eropa lainnya. Di dalam Islam juga dijumpai kekerasan agama
seperti terjadinya berbagai terror baik yang langsung maupun tidak langsung
mencelakai orang lain.[3]
Relasi itu terjadi
langsung atau tidak langsung, bahwa radikalisme atau fundamentalisme selalu
berurusan dengan kekerasan agama-agama. Fenomena yang dapat diamati ternyata
radikalisme atau fundamentalisme berhubungan secara asimetris dengan dinamika
kekerasan di dalam berbagai variasinya. Ada di antaranya dalam coraknya
yang simbolik dan ada yang bercorak
actual. Secara teoretik, kekerasan simbolik terjad manakala di dalam suatu
masyarakat terdapat kelompok yang langsung maupun tidak langsung menggunakan
simbol-simbol bahasa atau wacana yang menyebabkan ketidaknyamanan dalam
kehidupan bersama.
Fenomena radikalisme
atau fundamentalisme agama terutama menjadi mengedepan terkait dengan peristiwa
menghebohkan dan menyentakkan dunia, yaitu peristiwa Black September. Pada
tanggal 11 September 2001 dunia tersentak dengan peristiwa penghancuran World
Trade Center (WTC) dengan cara menabrakkan pesawat yang dibajak oleh
sekelompok orang yang mengatasnamakan gerakan Islam.[4]
Dunia menjadi tersentak
kembali melalui peristiwa Bali Blast, 12 Oktober 2002. Pengeboman yajg
meluluhlantakkan pusat hiburan Diskotik Sari Club, di Legian Bali itu menandai
bahwa dunia sedang berada di dalam tekanan terorisme yang ujung-ujungnya
dilakukan oleh gerakan radikalisme agama. Melalui penangkapan terhadap
tokoh-tokohnya yang diidentifikasi sebagai Islam radikal, lengkaplah sudah
simbolisasi Islam sebagai pemicu gerakan terorisme berbaju agama. Peristiwa
pengeboman juga terjadi di Inggris, yaitu pengeboman kereta api bawah tanah di
London, tanggal 7 dan 21 Juli 2005, yang juga diidentifikasi dilakukan oleh
kelompok Islam garis keras yang melakukan kekerasan sebagai akibat tindakan
politik Amerika Serikat yang melakukan invasi terhadap Irak.[5]
Persoalannya adalah
siapakah yang mengkonstruksi Islam Radikal sebagai pelaku tindakan teror di
berbagai belahan dunia tersebut dan bagaimana masa depan hubungan agama-agama
di tengah semakin meruyaknya tindakan terror dari kelompok radikal tersebut?
Pertanyaan ini terkait dengan persoalan historisitas ilmu-ilmu social yang
selalu menyisakan ruang perdebatan antara tegangan obyektivisme dan
subyektivisme.
Di dalam disiplin ilmu
social, pembahasan tentang obyektivisme dan subyektivisme merupakan
perbincangan klasik di kalangan teoretisi ilmu social.[6]
Tegangan obyektivisme dan subyektivisme tersebut telah menjadi perdebatan
panjang di antara para ahli ilmu social. Di dalam ilmu social, para ahlinya
melihat ada pemilahan dunia obyektif dan subyektif atau keterpilahan
subyek-obyek. Dalam pandangan kaum obyektivis –termasuk di dalam paradigma
fakta social—beranggapan bahwa fakta social itu ada sesuatu yang empiric
sensual, logis dan etik. Karena fakta itu sesuatu yang sensual, maka
persyaratan untuk menjelaskan yang empiric itu harus melalui observasi.
Ia harus observable.
Selain itu juga masuk akal atau logika manusia menerima itu sebagai sesuatu
yang harus dipercayai. Atau sesuatu fakta harus memperoleh pembenaran
berdasarkan consensus berbagai pihak. Sedangkan di dalam pandangan kaum
subyektivis, maka suatu fenomena merupakan hasil konstruksi manusia. Ia tidak
hanya sensual, logis dan etik tetapi juga transcendental. Kaum subyektivis
mengakui bahwa dimensi kepercayaan, keyakinan dan hal-hal yang tidak sensual
tetapi dipercayai sebagai sesuatu yang ada dianggap sebagai sesuatu yang
empiric. Agama dengan berbagai kepercayaan (keyakinan) dan ritual-ritual yang
tidak logis pun bisa diterima sebagai sesuatu yang empirik dan benar.[7]
PEMBAHASAN
Genealogi
Fundamentalisme
Radikalisme atau fundamentalisme
tidak muncul dari ruang hampa. Mengikuti faham kaum fakta social, bahwa
radikalisme adalah sebuah gerakan yang terkait atau disebabkan oleh fakta lain.
Genealogi radikalisme dapat ditilik dari beberapa penyebab antara lain yaitu:
Pertama,
tekanan politik penguasa. Radikalisme atau fundamentalisme muncul disebabkan
oleh tekanan politik penguasa terhadap keberadaannya. Di beberapa belahan
dunia, termasuk Indonesia, fenomena radikalisme atau fundamentalisme muncul
sebagai akibat otoriterisme. Dalam kasus Orde Baru, Negara selalu membabat
habis yang diidentifikasi sebagai gerakan radikal. Baginya, radikalisme adalah
musuh nomor satu dan dijadikan sebagai common enemy melalui berbagai
media transformasi. Orde Baru juga sangat keras terhadap gerakan radikalisme
kanan. Di antara yang paling menonjol adalah isu Komando Jihad, di pertengahan
tahun 1980-an. Banyak tokoh Islam yang diidentifikasi sebagai pemimpin atau
anggota Komando Jihad yang ditangkap dan ditahan. Usaha untuk memberangus
gerakan-gerakan radikal Islam itupun terus berlangsung sampai periode munculnya
Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) di pertengahan tahun 1990-an.[8]
Jika gerakan radikal
kiri berada dalam keadaan mati suri, tidak demikian halnya dengan gerakan
radikalisme atau fundamentalisme Islam. Gerakan ini sepertinya justru menemukan
lahan subur di era reformasi. Gerakan radikal muncul seperti cendawan di musim
hujan. Di era reformasi yang mengedepankan demokratisasi dan Hak Asasi manusia,
tampaknya tidak menemukan raung gerak untuk melakukan pemberangusan terstruktur
dan sistematis terhadap gerakan Islam radikal atau fundamental. Munculnya
berbagai gerakan Islam yang berkonotasi radikal akhir-akhir ini, seperti Hizbut
Tahrir Indonesia, Majelis Mujahidin Indonesia, Gerakan Salafi, Lasykar
Jundullah, Lasykar Jihad, Gerakan Islam Ahlu Sunnah wal Jamaah dan berbagai
gerakan keagamaan bercorak local adalah sebuah potret tentang merebaknya
geraan-gerakan keagamaan di tengah euphoria keterbukaan, demokratisasi dan hak
asasi manusia.[9]
kegagalan rezim sekuler
dalam merumuskan kebijakan dan mengimplematasikannya di dalam kehidupan
masyarakat. Rezim secular di Negara-negara berkembang yang kebanyakan
mengadopsi system kapitalisme ternyata gagal dalam mengimplematasikan
kebijakannya di tengah ketidakpastian ekonomi dunia. Kegagalan pembangunan yang
mengakomodasi teori-teori modernisasi.[10]
ternyata berdampak terhadap ketidakpercayaan masyaraat terhadap model
pembangunan yang diadopsi dari pengalaman-pengalaman Negara barat tersebut.
Ada kesenjangan antara
praktik pembangunan dengan kebijakan yang dirumuskan. Moralitas pembangunan
yang jeblok seperti ini kemudian mengilhami munculnya gerakan-gerakan anti
korupsi, kolusi dan nepotisme yang melanda kehidupan birokrasi dan masyarakat.
Di tengah ketidakpercayaan ini, maka mucullah gagasan Islam sebagai alternative
untuk solusi. Tidak salah jika orang melirik terhadap gerakan-gerakan yang
memberikan janji perbaikan, melalui solusi Islam.[11]
Ketiga, respon
terhadap barat. Kebanyakan isu yang diangkat ke permukaan oleh kelompok ini
adalah responnya terhadap apa pun yang datangnya dari barat. Isu tentang
salibisme, moralitas permissiveness, demokrasi dan bahkan hak asasi manusia
adalah rekayasa barat untuk meminimalisasikan peran dan pengaruh Islam dalam
kehidupan masyarakat. Semua ide tentang persoalan tersebut dikemas dengan
konsep modernisasi dan sekularisasi.
Modernisasi mempunyai
anak kandung kapitalisme dan materialisme. Kapitalisme yang merupakan proses
akumulasi modal didasarkan atas konsep individualisme yang dianggap
bertentangan dengan konsep Islam tentang sistem masyarakat. Sedangkan
materialisme yang menganggap bahwa materi adalah segala-galanya juga sangat
bertentangan secara diametral dengan Islam. Apalagi sekularisasi yang bemakna
pemisahan antara agama dan kehidupan dunia juga merupakan musuh Islam yang
lebih menekankan kehidupan spiritual. Berbagai isme ini, mau tidak mau harus
dilawan sebab akan menggerogoti kehidupan umat Islam secara umum. Di tengah
ketidakmenentuan ini, muncul konsep globalisasi yang menihilkan batas
geografis, budaya, social dan ekonomi.[12]
Makanya, apa yang
terjadi di Negara-negara barat dalam waktu sangat singkat akan terjadi di
belahan lain. Padahal, seperti moral permissiveness yang diimpor dari barat
tentunya sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam keadaan banyaknya
penyimpangan moral, perilaku dan tindakan-tindakan di dalam masyarakat, maka
gerakan Islam ini menawarkan konsep kembali ke kehidupan masa lalu, al-salaf
al-salih. Kehidupan ini ditandai dengan pengamalan Islam secara kaffah,
dalam semua tataran kehidupan. Hokum harus didasarkan atas system syariah,
ekonomi harus berbasis syariah, politik berasas syariah dan sebagainya.
Perdebatan Konseptual:
Radikalisme atau fundamentalisme
Setelah terjadi serangan
terorisme yang sangat fenomenal pada tanggal 11 September 2001 di Amerika
Serikat, maka memunculkan suatu wacana yang mengedepan adalah persoalan
religio-politik, yang dikonsepsikan sebagai radikalisme Islam. Meskipun konsep
ini ada jauh sebelum peristiwa tersebut, misalnya di dunia Kristen Protestan
dan juga agama lainnya, namun istilah ini menjadi istilah kunci dan berkonotasi
sangat menakutkan, terutama bagi Negara-negara barat. Pasca tindakan terorisme
tersebut, maka Presiden Bush menabuh genderang perang terhadap gerakan
terorisme yang berbaju agama. Begitu pentingnya perang melawan terorisme itu,
maka istilah radikalisme, fundamentalisme dan terorisme adalah istilah yang
berkonotasi sama, meskipun sesungguhnya memiliki pengertian yang sangat berbeda.
Dalam khasanah
ilmu-ilmu social, terdapat istilah yang sering dikaitkan dan dipersamakan
artinya adalah konsep fundamentalisme dan radikalisme. Fundamentalisme dan
radikalisme di dalam konteks ilmu social –terutama religio politik—sering
dijadikan ungkapan untuk menandai sinisme orang barat terhadap gerakan-gerakan
Islam di berbagai belahan dunia. Ungkapan tersebut digunakan untuk menunjuk
terhadap gerakan keagamaan di Republik Islam Iran, Imam Khomeini, Hizbullah,
Hamas di Palestina, FIS di Aljazair,, Partai Refah di Turki, Ikhwanul Muslimin
di Mesir dan sebagainya. Mereka sesungguhnya adalah gerakan religio-politik
yang ingin memperjuangkan tegaknya ajaran Islam di dalam system social-politik
di masing-masing Negara bahkan berjuang di dalam kerangka penegakan demokrasi
dan Hak Asasi Manusia.[13]
Di dalam tradisi
Kristen Protestan, fundamentalisme sering dikaitkan dengan garakan-gerakan
keagamaan yang mengedepan sebagai reaksi terhadap gerakan keagamaan lainnya
yang sering bertolak belakang. Di Amerika Serikat, gerakan fundamentalisme
lahir pada tahun 1910-an sebagai reaksi dari gerakan keagamaan yang bercorak
liberal-modernisme dan sekularisme. Gerakan ini ditandai dengan diterbitkannya
buku-buku yang menggambarkan kebenaran injil secara mutlak dan menafikan
penafsiran injil yang menggunakan logika. Buku-buku itu berisi tentang tafsir
agama yang sangat tekstual, kebenaran mutlak injil, sifat ketuhanan Yesus,
kelahirannya dari Perawan Maria, penebusan dosa dan turunnya Isa secara
fisikal.[14]
Konsep fundamentalisme
memang sangat problematic. Para teoretisi banyak berdebat tentang istilah ini.
William Montgomery Watt menyatakan bahwa istilah fundamentalisme berasal dari
kata di dalam Inggris kuno yang dikaitkan dengan orang-orang yang berpandangan
bahwa al-Kitab harus diterima dan ditafsirkan secara harfiah. James Barr,
menyatakan kaum fundamentalis adalah kelompok yang: 1) menekankan pada
ketidaksalahan al-Kitab. Al-Kitab tidak mengandung kesalahan sedikitpun. 2)
membenci secara mendalam terhadap teologi modern serta metode dan akibat-akibat
yang ditimbulkannya. 3) menganggap bahwa siapapun yang terlibat dengan gerakan
teologi modern adalah bukan Kristen sejati.
Di dunia Islam,
istilah fundamentalisme masih diperdebatkan, apakah istilah ini relevan atau
tidak ketika diterapkan di dalam Islam. Jika transfer konseptual ini dilakukan
dengan cirri-ciri sebagaimana di dunia barat Protestan, apakah cocok istilah
ini digunakan di dunia Islam. Memang masih terdapat dualisme pandangan tentang
istilah ini ketika dikaitkan dengan Islam, yaitu ada yang menolak dan menerima.
Yang menolak antara lain adalah Riffat Hassan, Hossein Nasr, Rifyal Ka’bah dan
lain-lain. Sedangkan yang menerima istilah ini adalah Nurkholis Majid,
Abdurrahman Wahid, Fazlurrahman dan sebagainya.[15]
Istilah fundamentalisme
dan radikalisme sering dikaitkan dengan istilah terorisme semenjak Presiden
George Bush mencanangkan gerakan anti terorisme. Istilah ini selanjutnya
menjadi wacana di dunia internasional. Dalam berbagai perdebatan, istilah fundamentalisme,
radikalisme sering dicampuraduk dengan terorisme. Tak jarang juga istilah
terorisme selalu dikaitkan dengan garakan-gerakan Islam. Meskipun di kalangan
Kristen Protestan sendiri, sesungguhnya istilah fundamentalisme adalah istilah
hinaan, karena dikaitkan dengan para penginjil yang literalis, yang dianggap
statis dan ekstremis.[16]
Kontroversi Islam Garis
“Keras”
Islam garis keras yang
dilabel dengan radikalisme Islam adalah sebuah konstruksi social. Sebagai
sebuah konstruksi social, maka yang disebut sebagai radikalisme juga sangat
tergantung kepada siapa yang mendefinisikannya. Di dalam hal ini, konsepsi
radikalisme sangat tergantung kepada subyek yang melabelnya.
Radikalisme adalah
hasil labelisasi tentang gerakan-gerakan keagamaan yang memiliki ciri pembeda
dengan gerakan Islam yang menjadi meanstreem yang tujuannya adalah untuk
menegakkan ajaran islam sesuai dengan masa-masa lalu (salaf al-salih). Visi dan
misi gerakan ini adalah untuk menegakan Islam sesuai dengan perintah Allah
sebagaimana tercantum di dalam Al-Qur’an maupun Sunnah Nabi Muhammad. Tujuan
akhir dari gerakan ini adalah terciptanya suatu tatanan masyarakat, seperti
zaman Nabi Muhammad, saw., khulafaur rasyidin dan salaf al-salih.
Untuk melakukan perubahan banyak dilakukan dengan cara menjebol tatanan yang
sudah ada dan menggantinya dengan tatanan baru sesuai dengan yang
diinginkannya.
Berdasarkan rumusan
panjang ini maka dibuatlah daftar tentang gerakan mana yang sesungguhnya dapat
dikategorikan sebagai radikal atau tidak. Cara berpikir seperti ini yang sering
dinyatakan terjebak kepada obyektivisme. Artinya untuk menentukan sebuah
gerakan dianggap radikal, maka harus memenuhi criteria dan kategori yang telah
disusun di dalam merumuskan radikalisme tersebut. Oleh karena itu, ketika orang
menyebut sebuah gerakan dianggap radikal, maka definisi itulah yang menjadi
ukurannya.
Oleh karena itu menjadi
tidak salah ketika banyak orang melabel kaum radikalis yang telah melakukan
pengeboman terhadap lokus yang dianggapnya sebagai tempat kemaksiatan, maka
mereka sama sekali tidak menganggap tindakannya sebagai tindakan radikal tetapi
jihad. Dalam konteks perbincangan ilmu social, anggapan demikian dianggap
terjebak kepada subyektivisme. Artinya bahwa dirinya sendirilah yang menentukan
terhadap label yang melekat pada dirinya. Tindakan yang oleh orang lain
dinyatakan sebagai terror terhadap kemanusiaan, menurutnya adalah jihad sebagai
perintah agama.
Dalam konteks
labelisasi terhadap sebuah gerakan ini, maka menjadi menarik untuk membincangkan
tegangan antara kelompok yang dilabel sebagai gerakan radikalis di satu sisi
dengan respon yang diberikan oleh kelompok dimaksud terhadap pemberi labelnya.
Di sinilah makna simbolisasi itu memperoleh maknanya.
Janji tentang pahala
orang syahid dengan imbalan surga tentunya memicu untuk melakukan
tindakan di luar tindakan umum yang berlaku.
Hanya sayangnya,
tindakan teror yang dilakukan oleh sekelompok orang dengan ucapan Allahu Akbar
ternyata berimplikasi lain. Salah satu implikasinya adalah munculnya anggapan
bahwa Islam memiliki relevansi dengan tindakan teror. Labelisasi inilah yang
kemudian membawa implikasi lanjutan bahwa kekerasan atas nama agama menjadi
absah. Padahal senyatanya, bahwa terorisme dengan terornya tetap teror dan
bukan agama. Keduanya merupakan sesuatu yang berhubungan secara simetris.
Keduanya tidak akan pernah bertemu karena tujuan akhirnya sangat berbeda.
Tujuan keselamatan tetaplah haruslah menggunakan cara dan jalan keselamatan.
Tujuan keselamatan tidak bisa diperoleh melalui cara-cara yang bertentangan
dengan keselamatan. Jika teror bukan cara untuk keselamatan, sudah pasti bahwa
teror bukan berkaitan dengan agama.
Memang harus dipahami
bahwa stigma tentang Islam sebagai gerakan yang mendorong terjadinya kekerasan
adalah suatu pandangan barat tentang Islam yang sering kali bersifat
menggeneralisasikan. Komaruddin Hidayat dalam kata pengantar bukunya Olaf H.
Schumann, misalnya menyatakan: “kesan dan penilaian bahwa Islam berada di balik
gerakan radikalisme dan terorisme tampaknya dengan sengaja dibangun oleh
beberapa media barat. Secara factual memang ada benarnya, namun sama sekali
tidak mewakili mainstream ajaran dan gerakan Islam. Adalah menjadi pertanyaan
dan harus dicurigai ketika muncul generalisasi dan kesengajaan opini untuk
memojokkan citra Islam sebagai agama yang anti-perdamaian, anti demokrasi, dan
anti peradaban global Islam sebagaimana Yahudi dan Kristen adalah agama
serumpun dari tradisi Ibrahim yang kesemuanya –bersama Hindu, Buddha, Konghucu
merupakan agama dan sekaligus pendukung peradaban dunia yang harus kita hormati
dan pelihara eksistensinya”.[17]
Hampir semua agama
memang memiliki tradisi kekerasan. Namun demikian, sebagaimana yang terjadi
bahwa mereka bukanlah mewakili arus utama tradisi agama-agama. Di Indonesia,
arus utama agamanya adalah yang diwakili oleh Islam moderat melalui
representasi NU, Muhammadiyah, Nahdlatul Wathon, Jam’iyah Washliyah, dan
lain-lain.
Sedangkan yang
tergolong radikal –meskipun jumlah organisasinya banyak—hanya memiliki jumlah
keanggotaan kecil yang kebanyakan berpusat di kota-kota. Kebanyakan mereka
adalah anak-anak muda perkotaan, yang memang sedang di dalam proses pencarian
makna agama di dalam kehidupan bermasyarakat. Di dalam proses pencarian ini,
mereka bertemu dengan tradisi-tradisi yang memiliki paham keagamaan yang
“keras” dan cenderung eksklusif.
Ghirah keislaman yang
demikian membara terkadang melupakan bahwa ternyata ada entitas lain yang juga
memerlukan ruang kehidupan yang sama dengannya. Pemahaman keislaman yang rigid
terkadang memaksanya untuk melakukan tindakan-tindakan keagamaan yang secara
subyektif melawan keselamatan dan kedamaian. Di tengah suasana kekerasan
tersebut, maka stigma-stigma yang muncul adalah Islam secara afinitas elektif
mendorong terjadinya kekerasan social.
Hanya saja,
stigmatisasi ini didukung oleh sejumlah besar media massa sehingga memiliki
gaung yang luar biasa. Padahal senyatanya, Islam adalah agama yang memiliki
misi keselamatan dan kedamaian, menjunjung tinggi keadilan dan equalitas,
mengedepankan pemberdayaan dan pengembangan masyarakat. Islam sama sekali
menentang terhadap kekerasan dengan dalih mengembalikan masyarakat ke dalam
ajaran agama yang benar. Islam memberikan ruang yang memadai untuk saling
berbeda, bahkan terhadap keyakinan atau agama sekalipun. Sesungguhnya Islam
mengajarkan bahwa keselamatan, kedamaian, dan kesejahteraan adalah persoalan
humanitas yang seharusnya dijunjung dan diperjuangkan secara maksimal. Dengan
demikian, semua gerakan keagamaan yang menggunakan cara-cara yang tidak
mengutamakan keselamatan, seperti kekerasan-kekerasan atas nama agama –apapun
agamanya—maka sudah pasti itu bukan tindakan keagamaan yang berbasis
keselamatan tersebut.[18]
Masa Depan Hubungan
Agama-Agama
Islam radikal adalah
wacana yang dikembangkan oleh dunia barat. Ia merupakan fantasi barat tentang
dunia Islam yang menakutkan. Ia takut akan kegagalan proyek universalisasi
dunia di bawah komando barat, khususnya Amerika Serikat. Di tengah kegalauan
ini, maka dibuatlah berbagai proyek untuk memberangus berbagai gerakan
keagamaan yang bercorak keras. Salah satu intelektual barat yang sangat
bombastis membuat hipotesis akan terjadinya benturan peradaban adalah
Huntington.39 Tulisan Huntington yang sangat bombastis yang bertitel “Class
of Civilization” merupakan refleksi dari kegalauan tentang perkembangan
Islam dalam percaturan dunia dewasa ini.[19]
Tesis Huntington ini
banyak menuai kritik. Yang paling utama adalah kritik bahwa benturan peradaban
sesungguhnya merupakan refleksi pemikiran barat tentang Islam, yang
diidentifikasi sebagai musuh utama barat. Setelah hancurnya Uni Soviet, maka
tidak ada lagi ideology lain yang bisa menandingi barat. Kekuatan Sosialisme
pun tinggal bertumpu di Cina –sekarang sudah mengadopsi system kapitalisme--
kemudian Korea Utara dan Chili yang secara ekonomis juga sudah hancur pasca
kehancuran induk semangnya, Uni Soviet. Oleh karena itu yang dianggap akan
menjadi batu sandungan barat dalam proyek-proyek westernisasi dan
universalisasi dunia di bawah panji-panji barat khususnya Amerika Serikat
adalah Islam. Islam memenuhi syarat untuk menjadi lawan bagi barat.[20]
Islam tidak hanya
sekedar agama dengan seperangkat keyakinan terhadap hal-hal gaib dan
serangkaian upacara ritualnya, akan tetapi adalah seperangkat pedoman hidup
yang kaffah, utuh dan menyeluruh. Secara histories, Islam telah menjadi
separngkat pedoman kehidupan yang memiliki pengaruh sangat signifikan. Agama
gurun yang tandus hanya dalam waktu singkat telah menjadi agama bagi jutaan
umat di dunia. Agama yang semula hanya dipeluk oleh masyarakat selatan dan
timur tengah yang terbelakang, namun kenyataannya telah berubah menjadi agama
yang menyebar di berbagai Negara, termasuk barat dan juga Asia Timur.
Perkembangan yang demikian mencolok merupakan bukti bahwa Islam mamiliki élan
vital yang luar biasa untuk menyaingi agama-agama yang telah mapan.
Perkembangan Islam di
Asia tenggara juga menjadi catatan khusus. Islam yang selama ini dipandang
sebagai Islam Pheripheral, ternyata telah melepas belenggu itu. Bahkan John
Elposito mengagumi perkembangan Islam di Asia Tenggara dapat memainkan peranan
yang sangat besar di masa datang. Islam di Malaysia dan Indonesia dapat menjadi
Barometer perkembangan kemajuan Islam di dunia. Kebangkitan Islam di Asia
Tenggara menunjukkan bahwa Islam di belahan ini tidak stagnan bahkan akan
menjadi alternative bagi perkembangan Islam tahap berikutnya. Islam di Asia
Tenggara hingga sekarang masih memberikan gambaran tentang Islam yang moderat.
Terutama di Indonesia, Islam masih berwajah moderat terbukti dengan kekuatan
Muhammadiyah dan NU yang bercorak moderatisme tersebut. Namun penilaian ini
masih sangat tentative. Salah satu di antaranya adalah semakin kuatnya arus
perkembangan Islam garis keras dalam aras percanturan dan dinamika Islam di
Indonesia. Semaraknya fenomena gerakan-gerakan Islam garis keras dalam berbagai
moment dan penyikapan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah dewasa ini
sekurang-kurangnya memberikan gambaran bahwa ada tren meningkat dari gerakan
ini.
Dalam kajian ilmu
social, konflik adalah penggerak dinamika masyarakat. Mengikuti kaum Marxian,
bahwa tanpa konflik maka dinamika kehidupan masyarakat akan menjadi kurang
semarak. Melalui konflik masyarakat yang stagnan akan menjadi berubah. Konflik
tidak hanya bercorak horizontal, tetapi juga vertical. Hubungan konfliktual
antara sesama penganut agama (intern umat beragama) adalah contoh konflik
horizontal. Sedangkan konflik vertical terjadi antara rakyat dan Negara atau
antara satu strata social yang lebih rendah dengan strata social lainnya.
Konflik juga memiliki derajad intensitas yang berbeda-beda.
Konflik akan menjadi
sangat keras manakala telah melibatkan agama. Dalam sejarah panjang perjalanan
agama-agama, kekerasan yang difasilitasi oleh agama menjadi luar biasa
beringasnya. Konflik antara Islam dan Kristen yang dionstruksikan sebagai
perang Salib –perang seratus tahun dan melibatkan tokoh besar Salahuddin
Al-Ayyubi dan Raja Richard—adalah perang yang sungguh melelahkan dan
menghancurkan. Bahkan konflik antara penganut Katolik dan Protestan di
awal-awal perkembangan Protestan juga konflik dengan kecenderungan yang sangat
keras. Perburuan terhadap kelompok Protestan yang dianggap sebagai kelompok
heresyi, murtad dan merusak keyakinan Katolik juga menjadi sejarah kelabu dalam
sejarah agama-agama.
Konflik antara Islam
dan Kristen pada dasarnya berhubungan dengan doktrin-doktrin teologi yang
eksklusif. Masing-masing agama memang memiliki doktrin yang menihilkan agama
lain. Baik Islam maupun Kristen memiliki doktrin teologis yang saling
meniadakan. Masing-masing memiliki truth claim sebagai agama yang benar
dan benar-benar agama.[21]
Doktrin-doktrin
teologis yang demikian ini kemudian menjadi pegangan dalam melakukan tindakan.
Oleh karena itu, di antara umat kedua agama ini juga berkeinginan untuk
mempertahakan dan menyebarkan agama berdasarkan truth claim tersebut.
Islam memiliki konsep dakwah (penyebaran agama kepada orang atau kelompok
lain).[22]
Demikian pula Kristen juga memiliki doktrin missionary (penyebaran agama
kepada masyarakat lain). Benturan ini yang sering kali memicu konflik
berkepanjangan.
Namun demikian, menurut
Mahmoud Ayoub, bahwa yang menjadikan konflik itu semakin keras adalah
skap-sikap kolonialisme, misionaris dan kalangan orientalis yang sering menjadi
pemicu dari konflik tersebut. Sikap kolonialisme yang berkeinginan untuk
melakukan hegemoni dan repressi terhadap penduduk pribumi untuk kepentingan
ekonomi, penguasaan sumber-sumber ekonomi dan penguasaan sumber-sumber
kekuasaan politik menjadi variabel penting di dalam memicu konflik antara Islam
dan Kristen. Gerakan misionaris yang mendompleng terhadap penjajahan dan terus
berlangsung hingga dewasa ini juga menjadi factor dominant perlawanan terhadap
kelompok Kristen. Demikian pula sikap orientalisme yang menciptakan idiom-idiom
barat sebagai bangsa pilihan, superior, dan memiliki kelebihan-kelebihan
dibanding bangsa timur juga menjadi penyebab lain pertentangan antara Islam dan
Kristen.[23]
Konflik agama antara
Islam dan Yahudi juga terjadi hingga dewasa ini. Konflik ini oleh Basyaib
diidentifikasi oleh persoalan politik alih-alih persoalan teologis.[24]
Memang tidak bisa diremehkan bahwa akar pertentangan itu semula memang karena
factor teologis, namun babak berikutnya yang menguatkan konflik adalah factor
politik. Pertentangan itu sesungguhnya dimulai dari terusirnya kelompok Yahudi
dari Madinah pada zaman Nabi Muhammad saw., dan terus berlangsung hingga
sekarang. Rusaknya dinamika hubungan antara Islam-Yahudi, terutama dewasa ini,
adalah murni persoalan politik. Ketika telah terbentuk Negara Israel dan
puncaknya adalah terbentuknya fundamentalisme Yahudi di Israel dan
daerah-daerah pendudukan Tepi barat dan Gaza, maka juga memunculkan
fundamentalisme Islam yang menjadikan hubungan antara Islam dan Yahudi semakin
suram.
Ditinjau dari
perspektif teologis jelas bahwa antara Yahudi dan Islam memiliki perbedaan yang
sangat principal. Perbedaan teologis yang selalu menjadi ciri truth claim masing-masing
agama sesungguhnya adalah inti pembeda di dalam berbagai agama. Sama dengan Islam
dan Kristen, Yahudi dan Islam juga memiliki truth claim-nya
masing-masing. Dotrin Israel sebagai bangsa pilihan, hakikatnya merupakan akar
teologis yang menyebabkan orang Israel selalu memandang rendah kelompok lain.
Kemudian, akan menjadi penyebab rusaknya hubungan antar pemeluk agama. Doktrin
Islam juga mengajarkan sebagai manusia pilihan. Ketika dua kelompok saling
mengklaim sebagai manusia pilihan, maka berujung pada kerusakan hubungan di
antara keduanya.
Namun demikian, dewasa
ini sudah mulai terjadi kesadaran baru dalam hubungan antar agama-agama.
Menurut catatan Diana L. Ecks, bahwa di America Serikat juga sedang tumbuh
dengan kuat tentang kehidupan keagamaan yang mengedepankan sikap saling
menghargai dan menghormati. Sikap persahabatan itu dilakukan oleh berbagai elit
agama dari berbagai macam agama. Di kalangan kaum Budha yang kebanyakan kaum
imigran juga ada kesadaran untuk menyumbang budaya Amerika. Dalam kasus
perayaan Thank Giving, umat Budha juga dianjurkan agar mereka terlibat
di dalam peristiwa budaya tersebut. Termasuk juga kebolehan untuk merayakan
kelahiran Yesus sebagai hari kedamaian dan saling menukar cendera mata. Bahkan
kelompok Islam juga lebih mengambil tema-tema perjuangan yang berkonotasi
moderat.
Corak sikap keislaman
seperti ini sangat berbeda dengan beberapa decade lalu, yang lebih mengambil
corak keislaman yang militant. Perubahan ini memicu perubahan pada beberapa
kelompok Islam Afrika-Amerika yang juga menjadi cenderung moderat.[25]
Di Indonesia, gerakan
dialog antar umat beragama juga sudah dilakukan secara maksimal. Suatu
kenyataan bahwa dialog tersebut baik langsung maupun tidak langsung telah
memberikan kesepahaman tentang perbedaan dan persamaan di antara agama-agama.
Perbedaan yang sangat menonjol adalah dimensi teologis dan ritual, namun ada
dimensi kesamaan yang diusung oleh masing-masing agama adalah dimensi humanisme
agama. Agama apapun akan memperjuangkan keselamatan, kesejahteraan dan keadilan
dan kedamaian. Pigura kemanusiaan inilah yang perlu dikedepankan, sebab pada
dimensi inilah titik temu agama. Dialog agama tentu bukan dalam khasanah
mencari kesamaan-kesamaan doktrin teologis dan ritual, sebab memang harus
berbeda. Akan tetapi yang penting adalah menemukan titik kesamaan dalam program
kemanusiaan ke depan. Ruang kosong humanitas itulah yang perlu diisi dengan
program bersama bukan dalam tataran teologis dan ritual tetapi dalam pigura
memanusiakan manusia.[26]
Hubungan antar agama
yang seperti ini memang bisa dibangun jika masing-masing agama mengusung
moderatisme. NU dan Muhammadiyah yang menjadi pilar kehidupan keberagamaan di
Indonesia mestinya bisa melakukan dialog ini, sebab keduanya adalah dua
organisasi yang memiliki cirri moderatisme yang lebih mengedepankan
inklusifisme keberagamaan. Namun persoalan yang adalah ketika dialog itu akan
dilakukan terhadap kelompok yang mengedepankan corak keberagaam yang
fundamental dan mengedepankan eksklusifisme keberagamaan.
Ketakutan dunia barat
terhadap Islam adalah Islam dalam konstruksi keberagamaan yang bercorak eksklusif
tersebut. Pembenaran lapangan terhadap berbegai pelaku terror di banyak Negara
adalah mereka yang dikategorikan sebagai Islam garis keras. Bom Bali dilakukan
oleh Amrozi cs., Bom London dilakukan oleh jaringan al-Qaidah, kekerasan di
Filipina juga terkait dengan jaringan al-Qaidah, demikian pula kekerasan di
Mesir, Afghanistan dan sebagainya. Tema-tema yang diusung oleh kelompok Islam
radikal tentang penerapan syariat Islam adalah tema-tema yang “menakutkan”.
Kekerasan, sekali lagi
bukan tipe agama-agama. Agama selalu menawarkan doktrin keselamatan dan
kesejahteraan. Oleh karena itu, jika terjadi kekerasan agama hakikatnya adalah
implikasi dari tafsir agama yang cenderung literalistic, sempit, dan hitam
putih. Tafsir agama itu kemudian dianggap sebagai agama yang bercorak
doktriner. Jika ini yang banyak terjadi, maka program kerukunan antar umat
beragama yang semenjak Menteri Agama Alamsyah Ratu Perwiranegara, melalui
konsep tri kerukunan umat beragama, yaitu: kerukunan intern umat beragama,
kerukunan antar umat beragama dan kerukunan antara umat beragama dengan
pemerintah hanyalah akan menjadi pepesan kosong.
Untuk menjawab
persoalan ini, Peter L. Berger menawarkan dua konsep penting agar tidak terjadi
kekerasan agama, yaitu: religious revolution dan religion subcultures.[27]
Arahan pertama terkait dengan bagaimana kaum elit agama dapat menumbuhkan
dengan cepat kesadaran akan pentingnya model agama yang modern. Di dalam agama
yang modern ditandai dengan cirinya yang menghargai pluralitas. Manusia tidak hidup
dalam wilayah yang vakum diversitas dan vakum budaya. Manusia tidak hidup dalam
ruang dan entitas homogin, tetapi manusia hidup di dalam ruang dan entitas yang
heterogin. Maka, agama akan menjadi mode of communication, [28]
artinya agama menjadi model komunikasi tidak hanya vertical kepada Tuhan tetapi
juga sebagai model komunikasi horizontal. Menempatkan agama sebagai model
komunikasi, maka dipersyaratkan adanya kesepahaman mengakui perbedaan dalam
banyak hal, tetapi juga memiliki kesamaan misi kemanusiaan.
Religion subcultures yaitu
gerakan kaum elit agama untuk mencegah pengaruh luar agama untuk masuk ke dalam
wilayah agama. Factor politik dan ekonomi adalah dua variabel penting yang
sering mengintervensi kehidupan keberagamaan. Akibatnya banyak hal yang menjadi
carut marut karena factor politisasi agama dimaksud. Agama yang sesungguhnya
adalah persoalan moralitas, tertarik ke dalam wilayah politik dan ekonomi yang
profan. Implikasinya adalah kesulitan untuk membedakan apakah ini masalah
politik atau masalah agama. Gerakan-gerakan Islam radikal, sesuai dengan
konstruksinya tentu sangat berbeda dengan konsep ini. Gagasan Nurkholis Madjid
tentang Islam Yes, Partai Islam No, dianggapnya sebagai keterpengaruhan paham
sekularisme yang memisahkan agama dengan profane lainnya. Padahal yang dimaksud
adalah memberikan pembedaan wilayah, mana yang wilayah agama dan mana wilayah
politik. Agama terkait dengan persoalan wilayah sacral sedangkan politik
terkait dengan persoalan wilayah profane.
Merespon terhadap radikalisme
agama, kiranya ada konsep yang perlu dikembangkan adalah membangun kesadaran universalisme-partikularitas
agama. Konsep ini terkait dengan ajaran agama yang selalu bermuatan
universal, baik dalam tataran teologis, ritual maupun moralitas. Konsep teologis
dalam agama selalu bercorak universal. Demikian pula konsep ritual dan
moralitas yang diusung oleh agama. Namun demikian, konsep teologis dan ritual
tersebut dapat diterjemahkan oleh manusia melalui konstruksi social
masyarakatnya. Dalam masalah teologis, yang sesungguhnya adalah persoalan yang
sangat rigid tetapi dalam konteks social juga terdapat pemahaman yang
berbeda-beda. Dalam praktik ritual, di sana-sini terdapat perbedaan karena
penafsiran orang-orang terdahulu tentang ritual.[29]
Yang sangat universal
adalah persoalan moralitas, terutama yang menyangkut pesan humanisme,
keselamatan, keadilan, kesejahteraan dan sebagainya. Jadi mesti diandaikan
bahwa di tengah universalitas tersebut ternyata terdapat partikularitas yang
memang menjadi ciri dari pemahaman manusia tentang yang universal tersebut.
Jadi, konsep partikularitas tidak dimaksudkan sama dengan konsep lokalitas
agama dalam perspektif antropologis yang dikembangkan oleh Niels Mulder, yaitu
agama apapun yang datang ke dalam wilayah suatu budaya juga akan takluk di
tangan budaya local. Agama pendatang (Islam dan Kristen) hanya kelihatan di
permukaan, tetapi hakikatnya adalah kebudayaan lokal.[30]
Namun di dalam konteks
ini, yang dimaksud adalah menempatkan agama dalam aras konteks lokalitasnya,
yaitu agama sebagai sesuatu yang universal tetapi memiliki corak particular.
Agama adalah moralitas yang melazimi berbagai tindakan social masyarakatnya. Ia
akan bermakna manakala menjadi dasar moralitas dari suatu tindakan. Agama akan
kehilangan relevansinya jika ia tidak lagi mampu menjadi dasar moralitas di
dalam suatu masyarakat.
Agama juga harus
ditempatkan dalam konstruks lokalitasnya. Tidak ada yang dapat mengingkari
kebenaran agama secara universal, namun agama juga menyangkut bagaimana ia
diterjemahkan oleh masyarakatnya. Agama yang merupakan wahyu Tuhan, ketika
berada di tangan manusia maka ia akan menjadi agama manusia. Kebenaran agama
adalah kebenaran yang menjadi milik manusia atas dasar tafsirannya tentang
ajaran Tuhan pada agama dimaksud. Jadi, truth claim kebenaran agama hakikatnya
adalah truth claim kebenaran hasil konstruksi manusia.
Dari konsep lokalisasi
agama ini, kiranya dapat dirumuskan penjabarannya sebagai berikut[31]: pertama,
menampilkan ajaran Islam yang memiliki moralitas universal. Yang diusung di
dalam universalitas adalah moralitas agamanya. Agama apapun akan mengajarkan
kemanusiaan, cinta dan kasih sayang, keadilan, kesetaraan, keselamatan dan
perdamaian. Persoalan kemanusiaan adalah persoalan universal, sehingga harus
diusung oleh semua pemeluk agama.
Kedua,
menggalang pemahaman agama yang tidak sempit dengan klaim kebenaran yang
eksklusif. Kesadaran itu bersumber dari pemahaman bahwa ada perbedaan teologis
dan ritual yang tidak terbantahkan, tetapi juga ada dimensi humanitas yang dapat
dipertemukan. Faham agama yang eksklusif akan berimplikasi terhadap
penyangkalan diversitas kepemelukan agama yang memang menjadi keniscayaan di
dunia ini. Ketiga, mengembangkan sikap keberagaman yang moderat.
Moderatisme adalah sikap keberagamaan yang cenderung memberikan ruang bagi yang
lain untuk hidup.
Melalui sikap moderat, maka orang
lain dengan keyakinan berbeda, pandangan hidup berbeda dan gaya hidup berbeda
adalah suatu kewajaran dan kemungkinan di dalam kehidupan.
Dengan memahami prinsip
hidup bersama di tengah perbedaan, maka hubungan agama-agama yang selamat dan
damai kiranya akan mendapatkan ruang hidup yang memungkinkan.
KESIMPULAN
Dari pemaparan tersebut
dapat disimpulkan dalam empat hal, yaitu: 1) Radikalisme, fundamentalisme atau
kekerasan agama hakikatnya adalah konstruksi social tentang paham dan tindakan
keagamaan yang dilakukan oleh golongan Islam tertentu. Labeling ini diberikan
oleh golongan lain sesuai dengan konsepsi mereka. Sementara itu, pelakunya
sendiri menganggap bahwa pemahaman dan tindakan keberagamaannya memiliki
kesesuaian dengan apa yang sesungguhnya dimaksudkan oleh ajaran agama yang
dipeluknya. Dualitas makna ini yang sering menjadikan hubungan di antara
keduanya memasuki tegangan-tegangan yang krusial.
2) Radikalisme agama
adalah respon social terhadap realitas social yang dikonstruksi sebagai
“menyimpang” dari ajaran agama yang benar. Isu-isu yang dikembangkan terkait
dengan ketidakadilan barat terhadap Islam, modernisasi yang salah arah dan
kegagalan pemerintah secular dalam menata dan membangun masyarakatnya.
3) Dinamika hubungan
antar agama dan antara agama dengan negara sering terkontamisasi dengan
tindakan-tindakan beragama yang dikonstruksi oleh kelompok yang dikonstruksi
sebagai radikal. Isu tentang penerapan syariat Islam di dalam suatu Negara,
sering menjadi arus utama terjadinya konstruksi social terhadap radikalisme
atau fundamentalisme. Demikian pula tindakan teror yang dilakukan dengan
mengumandangkan Allahu Akbar juga menjadi penyebab pemojokan Islam di dalam
kancah hubungan agama-agama.
4) Dalam hubungan
agama-agama maka masing-masing pemeluk agama harus menyadari
universalisme-partikularitas agama di dalam kehidupan bermasyarakat. Agama
memiliki doktrin universal, namun sekaligus ia particular ketika telah berada
di tangan manusia dan masyarakat
[1] Diajukan sebagai tugas Ujian
Tengah Semester mata kuliah Sosiologi Agama, di Fakultas Ushuluddin, Jurusan
aqidah Filsafat ruang 706 UIN Jakarta.
[2] Hasan M. Noor, “Islam, Terorisme
dan Agenda Global” dalam Perta, hlm. 4-5
[3] Ibid hal. 5
[4] Periksa Yoyo Hambali,
“Fundamentalisme dan Kekerasan Agama…, (Jakarta: Gema Insani,2006) hlm. 8
[5]
Lihat Koran Kompas, edisi jumat, 14 Oktober 2002
[6] Obyektivisme berpangkal pada
filsafat positivisme yang digagas oleh August Compte dan dimantapkan oleh Emile
Durkheim dalam gagasannya tentang paradigma fakta social. Fakta social adalah barang
sesuatu (thing) baik yang berupa benda-benda riil maupun yang tidak riil. Yang
riil adalah sesuatu yang empiric sensual, seperti gedung-gedung, jembatan, dan
sebagainya, sedangkan yang tidak riil seperti kelompok social, strata social,
kelompok keagamaan, gerakan keagamaan dan sebagainya. Di sisi lain,
subyektivisme berpangkal pada filsafat fenonmenologi yang digagas oleh Hegel
dan dimantapkan oleh Husserl dan dikembangkan oleh Alfred Schultz, Max Weber
dan Berger dalam paradigma konstruksi social. Dunia adalah hasil konstruksi
social, karenanya fenomena selalu bercorak subyektif. Manusia memiliki
kemampuan untuk mengkonstruksi dunianya sendiri, termasuk agama adalah hasil
konstruksi social.
[7]
Muhammad Imarah, Fundamentalisme Dalam Perspektif Barat dan Islam, (Gema
Insani Press,1999), hlm. 34
[8] Abdul Azis Thaba, Islam dan
Negara dalam Politik Orde Baru. (Jakarta: Gema Insani Press, 1995 ). Hal.
45
[9] Ibid hal. 47
[10] Arief Budiman, Teori-teori
Pembangunan di Dunia Ketiga. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994)
[11]
Hal inilah menurut penulis yang dimanfaatkan sebagian kalangan untuk
melancarkan idenya melakukan sikap
fundamentalisme atau radikal.
[12]
Mike Featherstone, Posmodernisme dan Budaya Konsumen.
(Jogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005) hal.
38
[13] Muhammad Imarah, op.ic. hal. 45
[14] Mike Featherstone, op.ic. 38
[15] Nur Syam, Bukan Dunia Berbeda
(Bandung: PT. Pustaka Hidayah, 2009) hlm. 196
[16] Muhammad Imarah, Fundamentalisme Dalam
Perspektif Barat dan Islam, (Gema Insani Press,1999), hlm. 34
[17] Komaruddin Hidayat, “Kata
Pengantar” dalam Olaf H. Schumann, Menghadapi Tantangan, Memperjuangkan
Kerukunan. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), hlm. xiii
[18] Ada sebuah pernyataan menarik
yang diungkapkan oleh Dom Helder Camara, tokoh pendamai asal Brazil. Dia
menyatakan: “ketika kekerasan disusul dengan kekerasan, dunia jatuh dalam
spiral kekerasan”. Oleh karena itu, Johan Galtung menawarkan konsep bahwa
“perdamaian hanya dapat diwujudkan dengan sarana-sarana damai”. Periksa Johan
Galtung, dalam buku Studi
Perdamaian.hal.112
[19] Menurut Richard Falk, bahwa
tulisan Huntington itu sangat berpengaruh bukan karena substansi dan alur
logikanya, akan tetapi karena tulisan itu memiliki gaung luar biasa dan menjadi
perdebatan di berbagai kalangan. Tulisan ini sama dengan karya Nietzche tentang
“Twiligth of the Gods”, yang berpengaruh bukan karena alur pemikiran dan
metodenya tetapi karena pengaruh sosialnya yang luar biasa pada masyarakar
Yunani. Periksa Richard Falk, “Geopolitik Penyingkiran terhadap Islam (Kritik
atas Huntington)” dalam Ulumul Qur’an, No. 6/VII/1997, hlm. 63
[20] Masih menurut Falk, bahwa barat
telah menciptakan konsep universalisme yang keliru, yaitu sebuah topeng untuk
menutupi hegemoni barat yang telah lama digunakan. Oleh karena itu, diciptakanlah
perang peradaban untuk menyingkirkan Islam di dalam percaturan geopolitik
internasional. Ia dengan jernih mempertanyakan “bagaimana Islam telah menjadi
korban diskriminasi dalam pembentukan tatanan dunia?”. Periksa Richard Falk,
“Geopolitik Penyingkiran…”, hlm. 64
[21] Azim Nanji, Peta Studi Islam, (Yogyakarta: fajar Pusatak Baru, 2003). Hal. 36
[22] Mahmoud M. Ayoub, “Akar-akar
Konflik Muslim-Kristen” dalam Ulumul Qur’an, No. 4, Vol. IV, th. 1993,
hlm. 26-27.
[23] Mahmoud Ayyub, hal. 29-30
[24] Hamid Basyaib, “Perpektif
Sejarah Hubungan Islam dan Yahudi” dalam Ulumul Qur’an, No. 4, Vol. IV,
th. 1993, hlm. 42
[25] Penulis kutip dari PDF, alamat website http://download.portalgaruda.org/article.php?article=49270&val=3912, di akses Senin, 09 November
2015. Tentang Diana L. Eck, A New Religious America: How Christian Country
Has Become the World’s Most Religiousy Diverse Nation. (San Francisco:
Harper San Francisco, 2001), hlm. 339-440
[26] M. Ridlwan Nasir dan Nur Syam, Institusi
Sosial di Tengah Perubahan. (Surabaya: Jenggala Pustaka Utama, 2004), hlm.
160-174.
[27] Happy Susanto, “Menyoroti
Fenomena Kekerasan Agama, (Bandung : PT. Raja Perindo, 2009) hal.76
[28] Konsep agama sebagai Modes of
Communication dinukil dari Peter Beyer, Religion and Globalization.
(London: Sage Publication,Ltd., 1994) terj. Muhammad Ali Wardana, Yogyakarta:
PT. Insan Cita Bumi, 2010. Periksa juga Nur Syam, Bukan Dunia Berbeda:
Sosiologi Komunitas Islam. (Surabaya: Eureka, 2005), hlm. 94
[29] Ibid. 176
[30] Zuly Qodir, Agama dalam Bayang-bayang
Kekuasaan,(Yogyakarta: Dian Interdien,2001), hlm. 3
[31]
Penulis kutip dari bukunya Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela,
(Yogyakarta: LkiS, 2000), hal…
Post a Comment