Header Ads

Solusi Untuk Polemik Hari Santri Nasional



Presiden Jokowi resmi menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai hari Santri Nasional. Deklarasi itu sesuai dengan keputusan yang dituangkan lewat Keputusan Presiden (Keppres) No 22. Tahun 2015.  Penetapan hari santri nasional merupakan realisasi janji Jokowi saat kampanye Pilpres tahun 2014 lalu.

Usai Jokowi menang dalam Pilpres kemarin, ternyata wacana ini tidak dianggap sebagai janji biasa. Dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) IV Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) akhir september lalu, salah satu  poin rekomendasi adalah PDIP mendukung ide penetapan Hari Santri Nasional.

Namun, penetapan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional menimbulkan pro dan kontra antar organisasi masyarakat (Ormas) Islam. Nahdhatul Ulama (NU) sebagai ormas yang mengusung dan mendukung penetapan Hari Santri Nasional memberikan argumen Pondok  Pesantren sangat berjasa membawa bangsa Indonesia menegakkan kemerdekaan melalui Resolusi Jihad 22 Oktober yang dikumandangkan oleh Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari.

 Apabila kita membaca kembali sejarah, Indonesia dianggap boneka Jepang oleh Negara Sekutu. Hal itu dikarenakan mereka menganggap bahwa kemerdekaan dinilai hadiah dari Nipon. Penjelasan singkatnya menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia Founding Father  bangsa Indonesia, Soekarna dan Moh. Hatta bertemu degan Kaisar Jepang.

Setelah Jepang kalah dalam perang melawan  tentara Netherland Indian Civil Administration (NICA), Sekutu berusaha kembali datang ke Indonesia untuk menjajah kembali dengan mengadakan Agresi Militer ke-2. Namun, tentara Sekutu dikagetkan perlawanan dari kalangan pribumi yakni kaum santri. Melalui hal inilah mereka berpikir bahwa kemerdekaan Indonesia bukan haddiah dan kado dari Jepang. Tetapi merupakan perjuangan dari segenap bangsa Indonesia yang dipelopori oleh kaum santri.

Oleh karena itulah penetapan Hari Santri Nasional sudah selayaknya diberikan sebagai penghargaan kepada para santri. Karena berkat perjuangan rakyat Indonesia yang dipelopori para santri Indonesia bisa mempertahankan kemerdekaan dari para Sekutu melalui Fatwa Resolusi Jihad yang digaungkan oleh KH. Hasyim Asya’ri.

Selain itu kaum santri juga merupakan representrasi bangsa pribumi. Karena budaya yang ada di Pondok Pesantren merupakan salah satu asset bangsa yang harus dilestarikan. Maka sudah sepantasnya Presiden Joko Widodo  menghormati dan menetapkan tanggal 22 sebagai Hari Santri Nasional.

Sedangkan, ormas yang kontra adalah Muhammadiyah. Organisasi Islam moderat ini menolak tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nassional. Alasan Muhammadiyah sebagaimana yang diungkapkan oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah,  Haedar Nashir bahwa penetapan Hari Santri berpotensi menimbulkan sekat-sekat sosial antar umat beragama. Sekat sosial itu merupakan hal yang kontra produktif dan berlawanan dengan semanagat persatuan bangsa.

Selain itu, penetapan tersebut dinilai berpotensi menimbulkan sentimen keagamaan antara organisasi Islam yang dalam beberapa waktu ini mulai redup. Hal itu akan berdampak kepada persatuan dan kesatuan sebagai suatu bangsa. Walaupun demikian PP Muhammadiyah tetap menghormati keputusan Jokowi tersebut sebagai janji politik.

 Berdamai dalam perbedaan

Kita tentu hapal dengan perbedaan yang terjadi di setiap pelaksanaan Hari Raya Idulfitri maupun Iduladha. Antara NU dan Muhammadiyah selalu terdapat perbedaan yang dengan diam kita terima meskipun hati terkadang kecewa. Umat Islam di Indonesia pada saat dalam situasi membingungkan seperti itu, harus berkiblat pada induk organisasi keagamaan, karena mereka mengklaim merekalah yang benar.

Perbedaan pendapat antara NU dan Muhammdiyah seolah menjadi agenda rutin. Kita tentu ingat betul bagaimana kedua organisasi besar ini berbeda dalam pelaksanaan Idul Adha dan Idul Fitri. Tentu saja umat Islam Indonesia sudah terbiasa dengan perbedaan pandangan seperti ini.

 Saat ini polemik itu muncul kembali setelah Jokowi menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Muhammdiyah menganggap identik dengan hari NU. Hal itu dikarenakan sejak awal memang PBNU yang ngeyel agar HSN segera diresmikan Jokowi.

Selain itu Muhammadiyah merasa Muhammadiyah merasa tak dianggap. Padahal mereka mempunyai andil besar bagi bangsa Indonesia baik dari segi penddidikan dan kesehatan. Karena dalam mindset orang awam, apabila ada kata santri tentunya itu adalah Ponpok Pesantren yang didirikan oleh ulama NU.

Namun, menurut  penulis pro dan kontra ini tak perlu diperpanjang sehingga menjadi polemik besar. Hal itu  karena hanya akan terlihat adanya muatan politik pragmatis antara kedua organisasi Islam terbesar di dunia ini. Masyarakat Indonesia justru berharap melalui Hari Santri Nasional, antara kedua organisasi ini bersinergi untuk menuntaskan permasalahan pelik yang dihadapi bangsa Indonesia. Dengan begitu problem bangsa akan semakin mudah dihadapi.

Menurut penulis sudah saatnya kita bangun dari keterpurukan dan berhenti dari perdebatan soal perlu atau tidaknya HSN. Sesama ummat Islam sudah layaknya kita ber-islah dan tak terjebak dalam dikatomi istilah santri dan non-santri. Masih banyak permasalahan yang perlu kita tuntaskan dari pada hal-hal sepele seperti ini.

Momentum Hari Santri Nasional  merupakan kesempatan untuk mewujudkan jiwa  nasionalisme dan patriotisme dikalangan ummat Islam sebagai suatu bangsa. Selanjutnya, penulis sepakat dengan perkataan KH. Musthafa Bisri  bahwa Santri itu bukan hanya orang yang belajar di Pondok Pesantren. Tetapi setiap orang yang berkelakuan baik layak disebut santri.


**Penulis adalah Mahasiswa UIN Jakarta dan juga maha santri alumnus Ponpes Musthafawiyah, Mandailing Natal. 

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.