Header Ads

Kandidat Perempuan dalam Pemilukada


Pemilukada serentak 9 Desember mendatang selalu menyuguhkan keunikan tersendiri untuk dianalisa. Salah satu daerah yang  menjadi unik adalah Pemilukada untuk Tanggerang Selatan. Tiga pasangan calon walikota maju menuju Tangsel satu. Menariknya ketiga pasangan itu didominasi perempuan, dua diantaranya maju sebagai calon walikota, sedangkan satu sisanya untuk wakil.
Fenomena ini sebagai gambaran kebangkitan perempuan dalam bidang bidang politik. Dalam konteks politik di Indonesia, perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki yaitu one man one vote. Keterlibatan kaum Hawa dalam politik seyogianya bukan untuk merebut kekuasaan kaum Adam, tetapi untuk perempuan benar-benar bisa menjadi patner laki-laki secara bersama. 
Selain itu, dalam konteks ke-indonesiaan perempuan tak dibedakan dengan kaum laki-laki untuk memperoleh hak asasinya. Hak asasi yang dimaksud adalah setiap individu memperoleh kesempatan untuk berkembang dan maju sesuai dengan bakat dan kemampuan yang dimilikinya. Demikian itu diatur dalam UUD 1945 bahwa hak kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan berkumpul, berserikat, dan kebebasan beragama.
Argumen di atas menjadi legal standing tentang kesetaran perempuan dan pria dalam catur perpolitikan. Perempuan memiliki kelebihan  dalam konteks kepemimpinan, misalnya perempuan lebih demokratis dalam mengambil keputusan, lebih mementingkan hubungan interpersonal, dan memiliki rancangan strategi dan analisa yang komplit.
Namun, penulis mengakui membahas tentang partisipasi perempuan menjadi calon atau pun wakil di pemilukada masih didominasi kaum laki-laki. Demikian itu, karena masyarakat Indonesia masih terjebak dalam bingkai patriarki dan seksisme. Pandangan bahwa kaum pria adalah pemimpin bagi wanita, wanita untuk melayani suami, jika wanita memimpin maka tunggu masa kehancuran negeri tersebut masih menjadi  pemahaman kental sebagian kalangan.
Hasil penelusuran data laman infopilkada.kpu.go.id, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyatakan kandidat perempuan dalam pilkada serentak 2015 hanya 116 orang dari 1.584 peserta, atau 7,32 persen. Dari 116 perempuan yang berlaga dalam pilkada, 54 mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan 62 orang tercatat sebagai calon wakil kepala daerah.

Minimnya kandidat perempuan dalam pemilukada merupakann imbas politik patriarki dalam masyarakat. Sistem ini sangat membelenggu kaum perempuan karena perempuan mengalami marginalisasi dalam bidang kerja dan sosial. Peran wanita hanya sebatas pengasuhan anak, melayani suami, dan menjaga rumah
Padahal dalam pandangan agama, Cak Nur (2008) menyatakan bahwa perempuan diangkat derajatnya sama dengan laki-laki baik dalam harkat dan martabat maupun dalam hak dan kewajiban. Sudah tentu pembebasan dan penyamaan derajat itu tidak mungkin melupakan dan mengingkari kenyataan perbedaan fisiologis antara pria dan perempuan.
Untuk mengurangi ketimpangan  minimnya kandidat pihak perempuan penulis menawarkan beberapa   solusi. Penulis meyakini bahwa peran wanita sangat strategis untuk membangun negeri ini, telah terbukti peran wanita saat ini seperti walikota Surabaya, Trisma, Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi mampu menjadi stakeholder perubahan.

Pertama, menyegarkan lagi pemikiran feminisme. kita harus menyadari bahwa isu-isu tentang feminisme dan maskulinitas berkembang pesat diberbagai negara di Erofa dan Amerika. Demikian itu, menuntut kita untuk memperbaharui pemikiran kita tentang jender sehingga memberikan jawaban yang relevan terhadap persoalan yang berkembang.

Saat ini dibutuhkan lembaga-lembaga untuk mengkaji tentang persoalan jender. Dengan pengetahuan dan kaderisasi diharapkan persoalan jender tidak menjadi alasan politisasi untuk membatasi kebebasan perempuan. Karena walau begaimana pun isu jender selalu manjadi target politik dan politisasi rezim tertentu dalam semua level.  
.
Kedua, kebijakan yang meringankan bagi perempuan. Salah satu alasan yang kerap kali timbul terkait minimnya peran perempuan adalah kerena terkendali masalah modal. Masalah modal merupakan  permasalahan universal karena bukan hanya dalam bentuk ekonomi, tetapi juga mencakaup persoalan sosial dan politik.


Persoalan yang komplit seperti ini membutuhkan penangan yang ekstra dri pihak KPU dan pemerintah. Oleh karena itu untuk mengatasi polemik ini dibutuhkan kebijakan afirmatif yang meringankan pihak perempuan. Hal itu terasa sangat wajar karena melihat kondisi perempuan saat ini yang sangat dirugikan baik dari sosial dan politik.   

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.