Mewujudkan Keadilan dalam Revolusi Mental
“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia”, demikan bunyi sila kelima dalam Pancasila. Para founding father bangsa ini sadar betul
akan pentingnya keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. keadilan bukan hanya
dalam aspek hukum, tetapi juga dalam ekonomi, sosial dan politik.
Selama satu tahun masa
pemerintahan Jokowi/Jk belum mampu mengurangi masalah kesenjangan sosial yang
ada. Padahal efek dari kesenjangan sosial bisa berdampak negatif bagi
keberlangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Konflik yang terjadi di Singkil
dan Tolikara tidak bisa terlepas dari persoalan kesenjangan ekonomi-politik dan
sosial.
Kesenjangan dalam
bidang ekonomi seolah persoalan klasik yang tak kunjung tuntas. Sejarah
turunnya Presiden seumur hidup, Soekarno dari puncak kepemimpinan tak terlepas
dari persoalan ketimpanagan ekonomi. Selanjutnya pada era orde baru, dominasi
kesenjangan ekonomi yang semakin tinggi
dan ketidakadilan sosial membuat Soeharto dilengserkan oleh rakyat
Indonesia.
Kesenjangan ekonomi
juga mewarnai era Reformasi. Pada era Presiden Mega Wati dan Susilo Bambang
Yudhoyono, kesenjangan ekonomi mencapai klimaksnya. Pemerataan ekonomi pusat
dan daerah bak langit dengan bumi. Kaum kapitalis asing mengusai perekonomian
Indonesia, bahkan pada era Mega Wati beberapa aset bangsa terpaksa di jual
kepada asing. Tak jauh beda pada era SBY, perekonomian memang tumbuh tapi yang
menikmati hanya segelintir kaum kapitalis.
Kini, era Presiden
Jokowi beban kemiskinan dan kesenjangan sosial semakin mencolok. Alih-alih
memberantas kemiskinan, justru terjadi peningkatan jumlah warga miskin. Menurut
data Badan Pusat Statistik (BPS) angka kemiskinan mencapai 30 juta atau naik
hingga ratusan ribu dari sebelumnya. Selain itu, tingkat pengangguran juga bertambah
akibat banyaknya karyawan yang di PHK. Hal ini terjadi karena pelemahan nilai
tukar rupiah, pelambatan ekonomi dan lemahnya daya beli masyarakat.
Demikian itu didukung
oleh corak ekonomi Indonesia yang liberal, kapitalis dan segala sesuatu
diserahkan pada mekanisme pasar bebas. Sehingga seluruhnya nyaris di kuasai
unsur asing, bukan masyarakat pribumi. Kekayaan sumber daya alam pun yang
seharusnya menjadi aset negara terpaksa diserahkan kepada asing karena sistem
yang dibuat. Begitu juga dengan ekonomi, pemilik modallah yang berkuasa,
sementara masyarakat dijadikan bahan uji coba.
Ketidakadilan hukum
juga tak luput dari sisi gelap perjalanan bangsa. Mata hukum meminjam istilah
dai kondang, Zainuddin. MZ, ibarat mata pisau,
tajam ke atas tetapi tumpul ke bawah. Masih segar dalam ingatan kita
bagaimana hakim memvonis nenek Asyani di Jawa Timur karena di tuduh mencuri
kayu. Nasib tak jauh beda dialami seorang nenek Minah dihukum 1 tahun 15 bulan penjara karena
mencuri dua biji buah kakao untuk makan.
Sedangkan, para
koruptor dan mafia hukum bisa dengan tenang menghirup udara segar tanpa
terjerat hukum. Penulis jadi teringat perkataan Jendral Besar, Abdul Haris
Nasution, dalam bukunya Hati Nurani Seorang Jendral, bahwa musuh terbesar bangsa
ini bukanlah komunis. Tapi musuh terbesar kita adalah ketidakadilan.
Menarik apa yang
dikatakan Bung Nasution, perjalanan gelap suatu negara dari segi konflik,
kekerasan, dan aksi terorisme tak luput dari ketidakadilan sosial itu sendiri.
Apabila kita teliti lebih jauh konflik dan kekerasan yang terjadi seperti di
Ambon, Papua, dan Aceh penyebab utamanya adalah ketidakadilan. Senada dengan
itu, orang-orang yang masuk organisasi garis keras ISIS motif utamanya adalah
ekonomi. Konon setiap anggota baru mendapatkan tunjungan sebanyak Rp. 15 juta.
Aktualisasi
Rovolusi Mental
Pemerintahan Jokowi
seharusnya bisa belajar dari sekelumit sejarah ketidakadilan sosial, hukum, dan
ekonomi itu. Memetik hikmah dari rezim yang sebelumnya runtuh karena
ketimpangan pemerataan ekonomi dan sosial. Semboyan “Revolusi mental” harus
diaktualisasikan jangan hanya berkutik dalam ide saja. Bukankah esensinya
seruan untuk mengubah apa yang ada dalam diri kita.
Jokowi telah menyerukan slogan itu sejak kampanye Pilpres tahun
lalu. Landasan utama sang Presiden ketika itu karena melihat Reformasi hanya
sebatas melakukan perombakan yang sifatnya institusional. Tetapi belum
menyentuh paradigma, pola pikir, dan budaya politik kita dalam membangun negara
tercinta. Oleh karenanya dibutuhkan gerakan baru yang bernama “Revolusi mental”
untuk mengubah paradigma lama yang korup, nepotismme dan sesat.
Gerakan ini seyogianya
agar perubahan benar-benar bermakna dan berkesinambungan, serta sesuai dengan
cita-cita proklamasi yaitu merdeka, adil, dan makmur. Dalam kampanye lalu,
Jokowi meyakini bahwa cita-cita Reformasi tidak akan maju apabila hanya sekedar
merombak lembaga institusional tanpa
melakukan perombakan mental manusia yang menjalankan sistem itu.
Hemat penulis melalui
konsep revolusi mental, sistem dan struktur ekonomi, politik, dan sosial yang
dipraktekkan sejak orde lama, orde baru, dan masa Reformasi, hingga dewasa
ini harus dirombak total oleh
pemerintahan Jokowi-Jk. Semuanya harus dikembalikan kepada pijakan dasarnya
yaitu sesuai dengan Undang-Undang Dasar (1945).
Pertama, dalam bidang
ekonomi, pemerintah seharusnya mengacu kepada Pasal 33 ayat 1 bahwa dasar
ekonomi Indonesia adalah ekonomi kerakyatan atas dasar kekeluargaan. Dengan
demikian diharapkan masalah ketimpangan ekonomi bisa di atasi.
Kedua, tentang
perekonomian nasional, pemerintah mengacu pada pasal 33 ayat 4 yang menyatakan
bahwa perekonomian nasional diselenggaraka berdasarkan asas demokrasi dengan
pronsip kebersamaan, efesiensi, berkeadilan
seta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Terakhir, dalam bidang
sosial, dalam pasal 34 ayat 2 menyatakan negara harus terus menegembangkan
sisitem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan rakyat yang lemah
dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Post a Comment