Paham wujudiyah Ala Hamzah Fansuri
Pendahuluan
Paham wujudiyah sebagai sebuah doktrin dan ajaran dalam
sejarahnya senantiasa mengalami polemic. Meskipun sebagai sebuah konsep paham
ini baru mapan pasca Ibnu A’rabi.
Kendati istilah wahdatul wujud tak dijumpai dalam karya Ibnu Arabi, tetapi
tak dipungkiri pada karya beliau Futuhat al makkiyah dan Fususul hikam dapat
ditemui ungkapan-ungkapan yang mengarah kepada paham itu.
Di antara pengajaran Ibnu Arabi tentang Tuhan adan alam
bahwa Allah (TUhan) itu maujud dengan
zatnya dank arena zatnya sendiri. Sebaliknya alam maujud karena Allah . ia
adalah wujud Tuhan pada esensinya dan tidak berwujud
kecuali dengan wujud Tuhan.[1] Wujud itu ada yang Azali da nada pula yang
hadist. Yang azali itu wujud Tuhan bagi diri-Nya sendiri, sedangkan yang hadist adalah wujud Tuhan dengan bentuk alam yang tetap.[2]
Pada tahap seanjutnya
ajaran wahdatul wujud Ibn arabi
sampai ke Nusantara dan berpengaruh kepada salah satu tokoh sufi dari Aceh,
Hamzah Fansuri. Kecenderungan kepada sufi falasafi asal Andalus inibisa
terlihat ketika Hamzah Fansuri menhgajarkan bahawa Tuhan lebih dekat dengan
manasia melebihi uarat leher mereka sendiri, dan bahawa Tuhan tidak beretempat,
sekalipun ia dikatakan ada di mana-mana.
Ketika ia menjelaskan ayat Fainnama
tuwallu fa tsamam wajhullah , ia katakana kemungkinan untuk memeandang
wajah Allah sebagai sifat Tuhan seperti pengasih, penyayang, jalal, dan jamal.[3]
Di antara ajaran
tasawuf yang lain ialah berkaitan dengan hakikat wujud dan penciptaan. Wujud hanyalah satu walaupun keliahatan banyak. Dari wujud yang satu ini ada yang
merupakan kulit (mazhar, kenyataan
lahir) da nada yang berupa isi (kenyataan bathin). Semua benda yang ada pada
ahakikinya adalah merupakan manisfestasi dari hakiki yang disebut al-haq Taala’. Ia menggambarkan wujud
Tuhan laksana lautan dalam yang tak bergerak sedangkan alam semesta merupakan
gelombang lautan wujud Tuhan. Pengaliran dari zat yang mutlak ini diumpakan
gerak ombak yang menimbulkan uap, asap, awan yang kemudian menjadi dunia gejala.
Itulah taayun dari zat la ta’ayun. Itu pulalah yang disebut
pula tanazul. Kemudian segala sesuatu
kembali kepada Tuhan (taraqqi) yang
digambarakan bagaikan uap, asap, awan lalu hujan dan sungai kembali lagi
lautan. Ajaran ini kemudian ditentang oleh generasi seterusnyayang mengaku
mengembangkan tasawuf Sunni.[4]
Konsep wahdatul wujud Hamzah patut untuk dikaji
mengingat pengaruhnya yang cukup besar
dalam sejarahpemikiran sufi di Indonesia, khususnya Aceh. Pengaruh ini terus
membekas secara mendalam pada pemikiran mistik kontemporer. Bisa dikatan ajaran
ini masih hidup di era modern ini.
Biografi
Hamzah Fansuri
Hamzah Fansuri adalah
salah satu tokoh yang mengantarkan Islam masuk ke Nusantara. Ia meruapakan
pendukung aliran wahdatul wujudnya Ibn
Arabi. Namun, tak diketahui secara pasti pasti biografi terkait tahun kelahiran
dan wafatnya.[5]
Di dalam Hikayat Aceh dan Bustan Asalatin, dua buah
kitb yang dipercaya memuat tentang kesultanan Aceh yang paling lengkap juga tak
ditemukan nama Hamzah Fansuri. Tidak didapati nama Hamzah Fansuri menimbulkan
banayak spekulasi. Kramer (1921) mengatakan bahawa nama Hamzah tak disebutkan
karena beliau sering mengembala. Hal itu menyebabkan beliau kurang dikenal di
Aceh. Kramer mengatakan bahwa beliau
hidup samapai pada tahun 1636 M. sementara braginsky dengan mendasarkan
tenytang puisi Hamzah Fansuri dan catatatn orang Erofa tentang Hamzah Fansuri
menduga keras beliau hidup samapi dengan tahun 1621 M. Brawes dan Brakel
menagatakan bahawa Hamzah Fansuri hidup samapai akhir abad 16 M. hal didasarkan
kepada kenyataan bahawa awal abad ke-17
M, ajaran yang berpengaruh di Aceh adalah ajaran martabat tujuh yang
dibawa oleh Syams al-Din Pasai (w. 1630), murid Hamazah Fansuri.[6]
Hamzah Fansuri sebagai
seorang ulama besar pernah melakukan lawatan ke Timur Tengah mengunjungi
beberapa pusat kebudayaan dan Pengetahuan Islam termasuk Makkah, Madinah,
Bagdad, dan Yerussalem di mana di inisiasi kepada tarekat Qodiriyah.[7]
Mengenai Hamzah fansuri
pernah memeluk tarekat Qadiriyah dapat dipahami dengan salah satu bentuk
puisinya yang berbunyi:
Hamzah nin asalnya
Fansuri
Mendapat wujud di tanah
Syahrnawi
Beroleh khilafat ilmu
nan ali
Dari Abdul Qodir Jilani[8]
Di bidang keilmuwan
Hamzah Fansuri telah memelopori penulisan tasawuf dan menterjemahkan karaya
berbahasa arab dan Persia. Sebelumnya masyarakat Arab kesulitan mempelajari
kedua bahasa tersebut. Dengan karyanya itu, Hamzah menjadi pelopor penulisan
karya keagamaan dan kelimuwan ke dalam bahasa Melayu.[9]
Hal ini mengindentifikasikan bahwa Hmazh telah berhasil mengislamisasikan
bahasa Melayu menjadi keilmuwan.[10]
Harus diakui bahwa
Hamzah Fansuri adalah seorang tokoh ulama ssufi yang berpengaruh besar
dikesultanan Aceh pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Riayat (1588-1604) dan Sultan Iskandar Muda
(1607-1636). Dada Muerexa pernah mengatakan dalam seminar yang bertajuk
“Seminar masuknya Islam ke-Indonesia” sebagai berikut.
“Memperhatikan ulama-ulama
yang bermunculan di aAeh dahulu berasal dari Fansuri juga misalnya Syaikh Abdul
Murad, Syaikh Burhanuddin, semuanya asalnya Barus, Syamsuddin Fasai adalah
murid Hamzah Fansuri . ia membuktikan ternayat pada abad ke-16 saja telah
tergemabar jelas di mana umber ulama
besar itu berada yang masih mashur sampai sekarang”.[11]
Bahkan pengaruh beliau
ke Buton-Sulawesi Tengara, lewat dua karyanya, yaitu Asror al-arifin dan syarb al-asyiqin. Keberadaan dua naskah
ini di Butoon ini merupakan indikasi bahawa jaran Hamzah Fansuri ada yang
mempelajari di daerah ini. Hamzah Fansurui giat mengajarkan tentang ilmu
tasawuf sesuai paham yang diyakini. Ada riwayat mengatakan bahwa ia pernah
samapai ke seluruh semenanjung Melayu dan menegembangkan Tasawuf di negeri
Perak, Perlis, Kelantan, Terengganu, dan dan lain-lain.[12]
Konsep Wahdatul Wujud Hamzah Fansuri
Sebagai kawasan yang
lebih awal menerima Islam dari daerah lain ddi Nusantara, Aceh menegalami diskursusu
lebih awal, meski dalam doktrin pagaham wahdatul wujud , kasus Jawa dengan
Syeikh Siti Jenar muncul lebih dahulu. Kasus yang terekam dengan jelas dalam
sejarah Nusantara adalah [erdenbatan klasik antara golongan Tasawuf falsafi dan
ahli fiqih dan golongan tasawuf akhlaki, meski dikatakan bahawa al-ghazali
telah membuat hubungan yang lebih harmonis anatar kedua kubu ini tetap saja
berlangsung.[13]
Wahdatul
wujud mempunyai pengertian Allah mempunyai dua sifat dasar
yaitu khalaq (makhluk) dan Haq (Tuhan). Khalaq dan haq merupakan dua aspek bagi dua aspek bagi
sesuatu. Aspek yang sebelah luar disebut khalaq
dan aspek sebelah dalam disebut haq.
Kata-kata khalaq dan haq merupakan sinonim dengan al-ardl (accident) dan al-jauhar (subtance) dan dengan al-zahir
(lahir dan luar) dan bathin (batin dan dalam).
Menurut paham ini
tiap-tiap yang ada mempunyai dua aspek, yaitu aspek luar merupakan al-ard dan khalaq yang mempunyai sifat kemahklukan dan aspek dalam yang
merupakan jauhar dan haq yang mempunyai ketuhanan, jadi disetiap yang wujud ini terdapat sifat ketuhanan dan
kemahlukan.
Dari dua aspek ini yang
terpenting adalah al-haq yang merupakan yang bathin, jauhar atau hakikat
taiap-tiap yang berwujud. Paham ini muncul dari asumsi bahwa Allah ingin
melihat diri-Nya diluar diri-Nya, karena itu dijadikanlah alam inni, sehingga
alam ini merupakan “cermin” bagi Allah.
Ketika ia ingin melihat
dirinya iaa melihat kepada alam. dalam tiap-tiap benda yang ada pada alam Tuhan
melihat diri-Nya, karena dalam tiap-tiap benda itu terdapat sifat ketuhanan.
Dari sisni timbullah paham kesatuhanan. Yang ada dalam ini keliahatan banyak,
tetapi sebenarnya itu satu. Hal itu dapat diumpamakan dengan orag yang melihat
dirinya dalam cermin yang diletakkan sekelilingnya. Dalam tiap-tiap cermin ia
lihat dirinya dan dirinya kelihatan banyak, padahal dirinya sebenarnya hanya
satu. Tuhan-laah yang mempunyai wujud
hakiki. Yang dijadikan hanya mempunyai wujud yang bergantung pada wujud yang
bergantung pada wujud diluar dirinya, yaitu Tuhan.[14]
Dengan demikian, yang
mempunyai wujud sebenarnya hanyalah
Tuhan dan wujud yang dijadikan ini pada hakikatnya bergantung pada wujud Tuhan. Yang dijadikan sebenarnya
tidak mempunyai wujud. Yang mempunyai
wujud sebenarnya hanyalah Allah. Jadi sebenarnya hanya ada satu wujud yaitu wujud Tuhan. Dengan kata
lain makhluk atu yang dijadikannya wujud
nya bergantung pada wujud Tuhan yang brsifat wajib. Tegasnya yang sebenarnya
mempunyai wujud hanyalah satu yaaitu
Tuhan, sedangkan wujud selain Tuhan
hanyalah wujud bayangan.[15]
Paham wahdatul wujud mengajarkan bahawa
keesaan Tuhan tidakalah bertentangan dengan gagasan tentang penampakan
pengetahuan-Nya yang bervariasi di alam nyata (a’lam khalaq). Tuhan sebagain
zat mutlak , satu-satunya di dalam keesaan-nya; Tanpa sekutu dan banding-Nya ;
dank arena itu tuhan adalah tanzih
(transenden). Karena manifestasi pengetahuan-Nya bervariasi dan memiliki
penampakan lahir dan batin, maka di samping tanzih
(transenden) Dia juga tasbih (imanen).[16]
Hamzah Fansuri memulai
ajarannya dengan mengemukakan bahawa Allah adalah zat yang maha suci dan maha
Tinggi yang mencptakan manusia. Dalam kitab Asror
Arifin dikatakan:
Ketahuilah wahai kamu
anak addam yang Islam, bahawa Allah menjadikan kita daripada tiada diadakannya
dann dari pada tiada bernama diberi nama, dan dari tiada berupa diberi berupa,
lengkap dengan telinga , dengan hati, dengan nyawa, dengan budi. Yogia kita
cari Tuhan kita ini supaya kita kenal dengan marifat kita atau khidmat kita
kepada guru yang sempurna mengenal dia supaya jangan taqsir kita.[17]
Dalam pengantar
ini hamzah Fansuri terlihat jelas
menganjurkan kepada para pemula yang ingin mencari Tuhan harus lebih baik
mencari melalui eranytara guru yang akan membimbingnya. Demikian itu
dimaksudkan agar tak salah jalan.
Paham wahdatul wujud
Hamzah Fansuri terlihat dari ungkapannya sebagai berikut:
Tuhan kita yang bernama
qodim
Pada sekalian mahkluk
terlalu karim
Tandanya qadir bagi
hakim
Menjadikan
alam dari ar-Rahman dan ar-Rahim
Rahman
itulah yang bernama sifat
Tiada
bercerai dengan kurhi zat
Di
sana perhimpuanan sekalian ibarat
Itulah
hakikat yang bernama maklumat
Rahman itulah yang
bernam wujud
Keadaan Tuhan yang
bersedia ma’bud
Kenyataan Islam,
Nasarani , dan Yahud
Dari Rahman itulah
sekalian maujud[18]
Dari syair ini dapat
dipahami bahwa Rahaman merupakan asosiaasi segala ibarat akan hakikat segala
ciptaan-Nya. Tanpa rahman Tuhan tidak mungkin segala sesuatu itu mempunyai
kewujudan, dan itulah sebabnya dikatakan wujud Rahman-Nya merupakan hakikat
segala bentuk ciptaan. Selain itu juga konse wahdatulwujud Hamzah Fansuri juga
dapat dilihat dari ilustrasinya mengenai posisi Tuhan dalam alam semesta. Dalam buku Asror al-Arifin ia menjelasakan
hubungan anatara Tuhan dengan alam semesta dengan mengatakan bahawa alam adalah
cermin Tuha. Meski secara lahir alam berwujud, namun sesungguhnya wujud itu adalah wujud wahmi bukan wujud yang
sesungguhnya. Wujud tang hakiki hanyalah Tuhan .[19]
Dalam bagian lain
Hamzah Fansuri juga mengibaratkan Allah dan alam laut dengan ombak, seperti
dijelaskan:
Laut taiada bercerai
dengan omabk, omabak taiada bercerai dengan lautnya. Demikian juga Allah tiada
bercerai dengan alam, tetapi tiada dalam alam dan tiada di luar alam , taiada
di bawah alam, tiada di atas alam, tiada di kanan alam dan tiada di kiri alam,
tiada di belakang alam, dan tiada di hadapan alam, dan taiada bertemu dengan
alam dan taiada jauh dari alam.[20]
Di bagian yang lain
Hamzah Fansuri mengatakan bahwasanya jika demikian sama-sam dengan Tuhan-Nya,
karena hamba tiada bercerai dengan Tuhan-Nya , dan Tuhan tiada dengan Hamba-Nya. Hal ini menunjukkan adanya
ajaran wahdatul wujud. Menurut Hamzah
Fansuri, sesuai dengan hadist Nabi bahawasanya orang yang mengenal dirinya maka
ia akan mengena Tuhan-Nya. Dalam
karyanya Hamzah Fansuri menyatakan bahwa arti menganl Tuha-Nya dan engenal
diri-Nya yakni dari hadist kuntu kahzan
mukhfiyan (adalah akau perbendaharaan yang tersembunyi) diri-Nya dan
semesta sekalian dalamilmu Allah swt. Seperti biji dengan pohon , pohonnya
sebiji itu.[21]
Tajalli Zat Tuhan
Tajalli zat Tuhan
sangat perlu diungkapkan di sini karena berkaitan dengan paham wahdatul wujud
yang dkemukan oleh Hamzah Fansuri. Tajalli merupakan “kenyataan” dan
“penunjukan” melalui alam. alam merupakan manifestasi Tuhan supaya Tuhan
menjadi nyata. Tajalli biasanya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan
kata “self-disclourse” (penyingkapan diri dan pembukaan diri). [22]
Hamzah Fansuri
menerjemahkan tajalli sebagai kenyataan dan penunjukan, maksud penampakan
pengetahuan Tuhan melalui penciptaan alam semesta dan isinya. Penciptaan secara
menurun dari atas ke bawah, dari yang tertinggi ke yang terendah sesuai
peringkat keruhanian dan luas sempit sifatnya dari yang umum kepada yang
khusus. Zat Tuhan itu disebut lataayyun, yakni
dia nyata. Disebut lataayyun karena akal pikiran, perkataan , pengetahuan ,
dan makrifat manusia tidak akan samapai kepada-Nya. [23]
Apbila para sufi
berbicara tentang prinsip-prinsip penciptaan , mereka tidakmlah berbicara
tentang tentang prinsip penciptaan , mereka tidaaklah berbicara tentang zat
Tuhan yang tidak dapat dicaai oleh akal pikiran dan makrifat yang dapat dicapai
oleh pikiran dan makrifat ialah jalannya penciptaan secara bertingkat. Di mulai
dari yang paling dekat kepadanya samapai kepada yang paling jauh kepad-Nya
secara spiritual. Walau pun zat Tujhan itu lataayyun
namun ia ingin dikenal, maka dia menciptakan alam semesta dengan maksud agar
dirinya dikenal. “Kehendak supaya dikenal” inilah yang meruupakan permulaan tajalli ilahi.setelah tajjlli dilakukan
maka ia dinamakan ta’ayyun yang
berarti ”nyata”. Keadaan ta’ayyun inilah yang dapart dicapai oleh pikiran ,
pengetahuan, dan makrifat:
Taayyun awal wujud yang jami’i
Pertama nyata ruh idafi
Semesta alam sana lagi ijmali
Itulah hakikat Muhammda an-Nabi
Thani wijud yang attamyizi
Di sana terperi sekali ruhi
Semesta alam sana tafsil yang
meujmali
Itulah yang bernama haqiqat nsani
Taay’yun
thalis wujud
yang mufassoli
Itulah anugrah dari kurnia ilahi
Ssemsta alam sana tafsil fi’li
Itulah bernama a’yan khariji
Hamazah fansuri memulai
pembahasannya denaga menjelaskan bahawa Tuhan memiliki sifat-sifat-Nya yang
kekal. Dalam sifat-sifat itulah tersimpan segala potensi dari tindakan-tindakan
Tuhan yang tiada kesudahan dalam memperlihatkan segal ciptaan. Dalam hal tajalli ini Hamzah Fansuri tidaklah
mengikuti konsep Ibn Arabi ataupun al-Jili. Hamzah membuat konsep yang berbeda
dengan Ibn Arabia tau al-Jili yakni Tuhan bertajalli dalam lima martabat:
1.
Maratabat
pertama adalah martabat lataayyun.
Hal ini dinamakan karena akal budi manusia tidak akan mampu memcapainya. Hamzah
menyitir hadist nabi yang mengatakan melarang manusia untuk tidak memikirkan
tentang zat Tuhan itulah yang disebut dengan La taayyun.
2.
Maratabat kedua
dinamakan taayyun awwal ,
yaitu ilmu, wujud, syuhud, dan nur. Dengan sebab ilmu maka Alim dan Maklum
menjadi nyata, dengan sebab wujud maka yang mengadakan dan yang diadakan
menjadi nyata , dengan sebab syuhud
maka yang melihat dan yang dilihat menjadi nyata, dengan sebab nur maka yang menerangi dn yang
diterangi menjadi nyata. Taayyun awal ini dinamakan ahad dan wahid. Di namakan ahad
karena zat Allah berada dalam ke-Esaan-Nya. Namun, jika disertakan dengan
sifatnya maka dinamakan dengan wahid.
3.
Maratabat ketga
dinakan dengan taayyun kedua, yaitu
ma’lum (yang dketahui) yang oleh kaum
sufi dinamakan juga degan ayyun tsabitah
.
4.
Martabat ke
empat dinamakan tayyun ketiga kenyataan di dalam peringkat ke tiga berupa
ruh insan, ruh hewan, dan ruh tumbuhan.
5.
Martabat ke
empat adalah taayyun ke empat dan kelima yaitu yang segala yang berbentuk fisik
dan segala mahluqotnya . tahap ini merupakn tahap penciptaan tiada akhitr, ila mala nihayata lahu. Sebab bila tdak ada penciptaan maka Tuhan bukan
merupaka pencipta.[24]
Inilah
martabat yang lima yang dsampaikan oleh Hamzah Fansuri , yang jika
dibanddingkan dengan konsep tajalli yang dikemukan oleh Ibn Arabi dan al-Jili
terdapat erbedaan meskipun terdapat perserupaan.
KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian
yang diungkapkan mengenai konsep wahdatul
wujud dalam risalah dan syair wahdatul hamzah Fansuri. Mengatakan bahwa
Hamzah Fansuri menyampaikan ajaran wahdatul wujud dalam bentuk syair hampir
semua adaam risalahnya. Konsep ini menekankan kepada ke-esaan wujud yaitu
hakekat zat Tuhan sedangkan segala sesuatu selain dari wujud adalah
manifestasi dari wujud. Khakikat
manisfestasi tersebut pada esensi zatnya adalah ketiadaan namun ia mendapatkan pancaran cahay wujud dari hakekat zat.
Hamzah Fansuri
menganalogikan bahwa wahdah al-wujud
dalam beberapa analogi di anatarnya: cahaya matahari, cahaya rembulan, meski
namanya berbeda tetapi hakikatnya sama juga yaitu cahaya matahari juga.
[1] Abdul Aziz Dahlan, Penilaian Teologis atas Paham Wahdatul
Wujud, Tuhan alam dan Manusia dalam Tasawuf Syamsuddin Sumatrani, (Padang:
IAIN IB Press,1999), hal. 36
[2] Abdul Aziz Dahlan, Penilaian Teologis h. 38
[3] M. Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf Nusantara, (Jakarta: Raja Grfindo
Persada, 2005) hal. 34
[4] Op.ic hal. 34
[5] Tempat lahir Fansuri pada
umumnya menimbulkan perselisihan pendapat. Padaa umumnya para sarjana
mengatakan bahawa Hamzah Fansuri dilahirkan di Barus, sebuah Bandar yang
terletak di pantai Barat Sumatera Utara anatara Singkil dan Sibolga. Fansuri
adalah nama yang diberikann oleh pelaut dan pedagang yang singgah di Bandar
tersebut sebelum berniaga. Tetapi Attas menyebit bahawa Hamzah Fansuri lahir di
Syahr Nawi yaitu Ayuthia , Ibukota Siam yang dibangun pada tahun 1350 M.
[6] Miftah Arifin, Wujudiyah di Nusantara Kontinuitas dan
Perubahan (Jember: Pusataka Pelajar dan STAIN Press, 2015) hal.108-109.
[7] M. Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara h. 31
[8] Lihat buku, Miftah Arifin dan
juga Dewes dan Brekel , The Peoms Hmazah Fansuri hal. 226 dan juga Abdul Hadi, Tasauf yang tertindas, hal. 119
[9] Abdul Hadi, Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-Puisinya, (Bandung:
Mizan, 1995) hal. 10-11.
[10] Nasruddin, Konsep Wahdatul Wujud
dalam Risalah dan Syair Hamzah Fansuri, hal. 16.
[11]
M Salihin, hal. 32. Dan juga
Hawash Abdullah, Perkembanagan Ilmu
Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara, (Surabaya:Al-ikhlas, 1930) hal.35
[12] M. Salihin, hal. 34
[13] Miftah Arifin, hal. 111
[14] M Salihin, hal. 25
[15]
Sudirman Tebba, Etika dan Tasawuf
Jawa untuk Meraih Ketenangan Jiwa (Ciputat: Pustaka Irvan, 2007) hal.
166-169.
[16]
Miftah Arifin, hal. 114
[17] Miftah arifin hal. 114, di kutif
dari buku Asror Arifin karya Johan
Doorenbones 1993, hal. 120.
[18]
Lihat Deeronbos, hal.60-62. Kemudian dikutip oleh Mifatah Arifin dalam
buku Wujudiayah di Nusantara hal. 115.
[19] Miftah arifin, hal. 116. Dan
juga adalam kitab Asror Arifin hal. 128
[20] Ibid hal.116. juga dalam kitab Asror Arifin, hal 153
[21] Ibid.117 dan juga dalam buku
Syarab al-asyiqin karya Hamzah Fansuri.
Hal. 150
[22]
Kautsaar Azhari Noor , Ibn-Arabi
Wahadatul wujud dalam perdebatan, hal. 37-38
[23] Ibid, 98
Post a Comment