Header Ads

Paham wujudiyah Ala Hamzah Fansuri

Pendahuluan

Paham wujudiyah  sebagai sebuah doktrin dan ajaran dalam sejarahnya senantiasa mengalami polemic. Meskipun sebagai sebuah konsep paham ini baru mapan pasca Ibnu A’rabi.  Kendati istilah wahdatul wujud  tak dijumpai dalam karya Ibnu Arabi, tetapi tak dipungkiri pada karya beliau Futuhat al makkiyah dan Fususul hikam dapat ditemui ungkapan-ungkapan yang mengarah kepada paham itu.

Di antara  pengajaran Ibnu Arabi tentang Tuhan adan alam bahwa Allah (TUhan) itu maujud dengan zatnya dank arena zatnya sendiri. Sebaliknya alam maujud karena Allah . ia adalah wujud  Tuhan pada esensinya dan tidak berwujud kecuali dengan wujud Tuhan.[1]  Wujud itu ada yang Azali da nada pula yang hadist. Yang azali itu wujud Tuhan bagi diri-Nya sendiri, sedangkan yang hadist adalah wujud Tuhan dengan bentuk alam yang tetap.[2]  

Pada tahap seanjutnya ajaran wahdatul wujud Ibn arabi sampai ke Nusantara dan berpengaruh kepada salah satu tokoh sufi dari Aceh, Hamzah Fansuri. Kecenderungan kepada sufi falasafi asal Andalus inibisa terlihat ketika Hamzah Fansuri menhgajarkan bahawa Tuhan lebih dekat dengan manasia melebihi uarat leher mereka sendiri, dan bahawa Tuhan tidak beretempat, sekalipun ia dikatakan ada di mana-mana.  Ketika ia menjelaskan ayat Fainnama tuwallu fa tsamam wajhullah , ia katakana kemungkinan untuk memeandang wajah Allah sebagai sifat Tuhan seperti pengasih, penyayang, jalal, dan jamal.[3]

Di antara ajaran tasawuf yang lain ialah berkaitan dengan hakikat wujud dan penciptaan. Wujud hanyalah satu walaupun keliahatan  banyak. Dari wujud yang satu ini ada yang merupakan kulit (mazhar, kenyataan lahir) da nada yang berupa isi (kenyataan bathin). Semua benda yang ada pada ahakikinya adalah merupakan manisfestasi dari hakiki yang disebut al-haq Taala’. Ia menggambarkan wujud Tuhan laksana lautan dalam yang tak bergerak sedangkan alam semesta merupakan gelombang lautan wujud Tuhan. Pengaliran dari zat yang mutlak ini diumpakan gerak ombak yang menimbulkan uap, asap, awan yang kemudian menjadi dunia gejala. Itulah taayun dari zat la ta’ayun. Itu pulalah yang disebut pula tanazul. Kemudian segala sesuatu kembali kepada Tuhan (taraqqi) yang digambarakan bagaikan uap, asap, awan lalu hujan dan sungai kembali lagi lautan. Ajaran ini kemudian ditentang oleh generasi seterusnyayang mengaku mengembangkan tasawuf Sunni.[4]     

Konsep wahdatul wujud Hamzah patut untuk dikaji mengingat  pengaruhnya yang cukup besar dalam sejarahpemikiran sufi di Indonesia, khususnya Aceh. Pengaruh ini terus membekas secara mendalam pada pemikiran mistik kontemporer. Bisa dikatan ajaran ini masih hidup di era modern ini. 

Biografi Hamzah Fansuri

Hamzah Fansuri adalah salah satu tokoh yang mengantarkan Islam masuk ke Nusantara. Ia meruapakan pendukung aliran wahdatul wujudnya Ibn Arabi. Namun, tak diketahui secara pasti pasti biografi terkait tahun kelahiran dan wafatnya.[5]

Di dalam Hikayat Aceh dan Bustan Asalatin,  dua buah kitb yang dipercaya memuat tentang kesultanan Aceh yang paling lengkap juga tak ditemukan nama Hamzah Fansuri. Tidak didapati nama Hamzah Fansuri menimbulkan banayak spekulasi. Kramer (1921) mengatakan bahawa nama Hamzah tak disebutkan karena beliau sering mengembala. Hal itu menyebabkan beliau kurang dikenal di Aceh.  Kramer mengatakan bahwa beliau hidup samapai pada tahun 1636 M. sementara braginsky dengan mendasarkan tenytang puisi Hamzah Fansuri dan catatatn orang Erofa tentang Hamzah Fansuri menduga keras beliau hidup samapi dengan tahun 1621 M. Brawes dan Brakel menagatakan bahawa Hamzah Fansuri hidup samapai akhir abad 16 M. hal didasarkan kepada kenyataan bahawa awal abad ke-17  M, ajaran yang berpengaruh di Aceh adalah ajaran martabat tujuh yang dibawa oleh Syams al-Din Pasai (w. 1630), murid Hamazah Fansuri.[6]

Hamzah Fansuri sebagai seorang ulama besar pernah melakukan lawatan ke Timur Tengah mengunjungi beberapa pusat kebudayaan dan Pengetahuan Islam termasuk Makkah, Madinah, Bagdad, dan Yerussalem di mana di inisiasi kepada tarekat Qodiriyah.[7]

Mengenai Hamzah fansuri pernah memeluk tarekat Qadiriyah dapat dipahami dengan salah satu bentuk puisinya yang berbunyi:
Hamzah nin asalnya Fansuri
Mendapat wujud di tanah Syahrnawi
Beroleh khilafat ilmu nan ali
Dari Abdul Qodir Jilani[8] 

Di bidang keilmuwan Hamzah Fansuri telah memelopori penulisan tasawuf dan menterjemahkan karaya berbahasa arab dan Persia. Sebelumnya masyarakat Arab kesulitan mempelajari kedua bahasa tersebut. Dengan karyanya itu, Hamzah menjadi pelopor penulisan karya keagamaan dan kelimuwan ke dalam bahasa Melayu.[9] Hal ini mengindentifikasikan bahwa Hmazh telah berhasil mengislamisasikan bahasa Melayu menjadi keilmuwan.[10]

Harus diakui bahwa Hamzah Fansuri adalah seorang tokoh ulama ssufi yang berpengaruh besar dikesultanan Aceh pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Riayat  (1588-1604) dan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Dada Muerexa pernah mengatakan dalam seminar yang bertajuk “Seminar masuknya Islam ke-Indonesia” sebagai berikut.

“Memperhatikan ulama-ulama yang bermunculan di aAeh dahulu berasal dari Fansuri juga misalnya Syaikh Abdul Murad, Syaikh Burhanuddin, semuanya asalnya Barus, Syamsuddin Fasai adalah murid Hamzah Fansuri . ia membuktikan ternayat pada abad ke-16 saja telah tergemabar jelas di  mana umber ulama besar itu berada yang masih mashur sampai sekarang”.[11]

Bahkan pengaruh beliau ke Buton-Sulawesi Tengara, lewat dua karyanya, yaitu Asror al-arifin dan syarb al-asyiqin. Keberadaan dua naskah ini di Butoon ini merupakan indikasi bahawa jaran Hamzah Fansuri ada yang mempelajari di daerah ini. Hamzah Fansurui giat mengajarkan tentang ilmu tasawuf sesuai paham yang diyakini. Ada riwayat mengatakan bahwa ia pernah samapai ke seluruh semenanjung Melayu dan menegembangkan Tasawuf di negeri Perak, Perlis, Kelantan, Terengganu, dan dan lain-lain.[12] 

 Konsep Wahdatul Wujud Hamzah Fansuri

Sebagai kawasan yang lebih awal menerima Islam dari daerah lain ddi Nusantara, Aceh menegalami diskursusu lebih awal, meski dalam doktrin pagaham wahdatul wujud , kasus Jawa dengan Syeikh Siti Jenar muncul lebih dahulu. Kasus yang terekam dengan jelas dalam sejarah Nusantara adalah [erdenbatan klasik antara golongan Tasawuf falsafi dan ahli fiqih dan golongan tasawuf akhlaki, meski dikatakan bahawa al-ghazali telah membuat hubungan yang lebih harmonis anatar kedua kubu ini tetap saja berlangsung.[13] 

Wahdatul wujud mempunyai pengertian Allah mempunyai dua sifat dasar yaitu  khalaq (makhluk) dan Haq (Tuhan). Khalaq dan haq merupakan dua aspek bagi dua aspek bagi sesuatu. Aspek yang sebelah luar disebut khalaq dan aspek sebelah dalam disebut haq. Kata-kata khalaq dan haq merupakan sinonim dengan al-ardl (accident) dan al-jauhar (subtance) dan dengan al-zahir (lahir dan luar) dan bathin  (batin dan dalam).

Menurut paham ini tiap-tiap yang ada mempunyai dua aspek, yaitu aspek luar merupakan al-ard dan khalaq yang mempunyai sifat kemahklukan dan aspek dalam yang merupakan jauhar dan haq yang mempunyai ketuhanan, jadi disetiap yang wujud ini terdapat sifat ketuhanan dan kemahlukan.

Dari dua aspek ini yang terpenting adalah al-haq yang merupakan yang bathin, jauhar atau hakikat taiap-tiap yang berwujud. Paham ini muncul dari asumsi bahwa Allah ingin melihat diri-Nya diluar diri-Nya, karena itu dijadikanlah alam inni, sehingga alam ini merupakan “cermin” bagi Allah.

Ketika ia ingin melihat dirinya iaa melihat kepada alam. dalam tiap-tiap benda yang ada pada alam Tuhan melihat diri-Nya, karena dalam tiap-tiap benda itu terdapat sifat ketuhanan. Dari sisni timbullah paham kesatuhanan. Yang ada dalam ini keliahatan banyak, tetapi sebenarnya itu satu. Hal itu dapat diumpamakan dengan orag yang melihat dirinya dalam cermin yang diletakkan sekelilingnya. Dalam tiap-tiap cermin ia lihat dirinya dan dirinya kelihatan banyak, padahal dirinya sebenarnya hanya satu. Tuhan-laah yang  mempunyai wujud hakiki. Yang dijadikan hanya mempunyai wujud yang bergantung pada wujud yang bergantung pada wujud diluar dirinya, yaitu Tuhan.[14] 

Dengan demikian, yang mempunyai wujud sebenarnya hanyalah Tuhan dan wujud yang dijadikan ini pada hakikatnya bergantung pada wujud Tuhan. Yang dijadikan sebenarnya tidak mempunyai wujud. Yang mempunyai wujud sebenarnya hanyalah Allah. Jadi sebenarnya hanya ada satu wujud yaitu wujud Tuhan. Dengan kata lain makhluk atu yang dijadikannya wujud nya bergantung pada wujud Tuhan yang brsifat wajib. Tegasnya yang sebenarnya mempunyai wujud hanyalah satu yaaitu Tuhan, sedangkan wujud selain Tuhan hanyalah wujud bayangan.[15]

Paham wahdatul wujud mengajarkan bahawa keesaan Tuhan tidakalah bertentangan dengan gagasan tentang penampakan pengetahuan-Nya yang bervariasi di alam nyata (a’lam khalaq). Tuhan sebagain zat mutlak , satu-satunya di dalam keesaan-nya; Tanpa sekutu dan banding-Nya ; dank arena itu tuhan adalah tanzih (transenden). Karena manifestasi pengetahuan-Nya bervariasi dan memiliki penampakan lahir dan batin, maka di samping tanzih (transenden) Dia juga  tasbih (imanen).[16]
Hamzah Fansuri memulai ajarannya dengan mengemukakan bahawa Allah adalah zat yang maha suci dan maha Tinggi yang mencptakan manusia. Dalam kitab Asror Arifin dikatakan:

Ketahuilah wahai kamu anak addam yang Islam, bahawa Allah menjadikan kita daripada tiada diadakannya dann dari pada tiada bernama diberi nama, dan dari tiada berupa diberi berupa, lengkap dengan telinga , dengan hati, dengan nyawa, dengan budi. Yogia kita cari Tuhan kita ini supaya kita kenal dengan marifat kita atau khidmat kita kepada guru yang sempurna mengenal dia supaya jangan taqsir kita.[17] 

Dalam pengantar ini  hamzah Fansuri terlihat jelas menganjurkan kepada para pemula yang ingin mencari Tuhan harus lebih baik mencari melalui eranytara guru yang akan membimbingnya. Demikian itu dimaksudkan agar tak salah jalan.
Paham wahdatul wujud Hamzah Fansuri terlihat dari ungkapannya sebagai berikut:
Tuhan kita yang bernama qodim
Pada sekalian mahkluk terlalu karim
Tandanya qadir bagi hakim
Menjadikan alam dari ar-Rahman dan ar-Rahim
                Rahman itulah yang bernama  sifat
Tiada bercerai dengan kurhi zat
Di sana perhimpuanan sekalian ibarat
Itulah hakikat yang bernama maklumat
Rahman itulah yang bernam wujud
Keadaan Tuhan yang bersedia ma’bud
Kenyataan Islam, Nasarani , dan Yahud
Dari Rahman itulah sekalian maujud[18]

Dari syair ini dapat dipahami bahwa Rahaman merupakan asosiaasi segala ibarat akan hakikat segala ciptaan-Nya. Tanpa rahman Tuhan tidak mungkin segala sesuatu itu mempunyai kewujudan, dan itulah sebabnya dikatakan wujud Rahman-Nya merupakan hakikat segala bentuk ciptaan. Selain itu juga konse wahdatulwujud Hamzah Fansuri juga dapat dilihat dari ilustrasinya mengenai posisi Tuhan dalam alam semesta.  Dalam buku Asror al-Arifin ia menjelasakan hubungan anatara Tuhan dengan alam semesta dengan mengatakan bahawa alam adalah cermin Tuha. Meski secara lahir alam berwujud, namun sesungguhnya wujud itu adalah wujud wahmi bukan wujud  yang sesungguhnya. Wujud tang hakiki hanyalah Tuhan .[19]

Dalam bagian lain Hamzah Fansuri juga mengibaratkan Allah dan alam laut dengan ombak, seperti dijelaskan:
Laut taiada bercerai dengan omabk, omabak taiada bercerai dengan lautnya. Demikian juga Allah tiada bercerai dengan alam, tetapi tiada dalam alam dan tiada di luar alam , taiada di bawah alam, tiada di atas alam, tiada di kanan alam dan tiada di kiri alam, tiada di belakang alam, dan tiada di hadapan alam, dan taiada bertemu dengan alam dan taiada jauh dari alam.[20]

Di bagian yang lain Hamzah Fansuri mengatakan bahwasanya jika demikian sama-sam dengan Tuhan-Nya, karena hamba tiada bercerai dengan Tuhan-Nya , dan Tuhan tiada  dengan Hamba-Nya. Hal ini menunjukkan adanya ajaran wahdatul wujud. Menurut Hamzah Fansuri, sesuai dengan hadist Nabi bahawasanya orang yang mengenal dirinya maka ia akan mengena Tuhan-Nya.  Dalam karyanya Hamzah Fansuri menyatakan bahwa arti menganl Tuha-Nya dan engenal diri-Nya yakni dari hadist kuntu kahzan mukhfiyan (adalah akau perbendaharaan yang tersembunyi) diri-Nya dan semesta sekalian dalamilmu Allah swt. Seperti biji dengan pohon , pohonnya sebiji itu.[21]     

Tajalli Zat Tuhan

Tajalli zat Tuhan sangat perlu diungkapkan di sini karena berkaitan dengan paham wahdatul wujud yang dkemukan oleh Hamzah Fansuri.  Tajalli merupakan “kenyataan” dan “penunjukan” melalui alam. alam merupakan manifestasi Tuhan supaya Tuhan menjadi nyata. Tajalli biasanya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan kata “self-disclourse” (penyingkapan diri dan pembukaan diri). [22]

Hamzah Fansuri menerjemahkan tajalli sebagai  kenyataan dan penunjukan, maksud penampakan pengetahuan Tuhan melalui penciptaan alam semesta dan isinya. Penciptaan secara menurun dari atas ke bawah, dari yang tertinggi ke yang terendah sesuai peringkat keruhanian dan luas sempit sifatnya dari yang umum kepada yang khusus. Zat Tuhan itu disebut lataayyun, yakni dia nyata. Disebut lataayyun  karena akal pikiran, perkataan , pengetahuan , dan makrifat manusia tidak akan samapai kepada-Nya. [23]    

Apbila para sufi berbicara tentang prinsip-prinsip penciptaan , mereka tidakmlah berbicara tentang tentang prinsip penciptaan , mereka tidaaklah berbicara tentang zat Tuhan yang tidak dapat dicaai oleh akal pikiran dan makrifat yang dapat dicapai oleh pikiran dan makrifat ialah jalannya penciptaan secara bertingkat. Di mulai dari yang paling dekat kepadanya samapai kepada yang paling jauh kepad-Nya secara spiritual. Walau pun zat Tujhan itu lataayyun namun ia ingin dikenal, maka dia menciptakan alam semesta dengan maksud agar dirinya dikenal. “Kehendak supaya dikenal” inilah  yang meruupakan permulaan tajalli ilahi.setelah tajjlli dilakukan maka ia dinamakan ta’ayyun yang berarti ”nyata”. Keadaan ta’ayyun inilah yang dapart dicapai oleh pikiran , pengetahuan, dan makrifat:

Taayyun awal wujud yang jami’i
Pertama nyata ruh idafi
Semesta alam sana lagi ijmali
Itulah hakikat Muhammda an-Nabi

            Thani wijud yang  attamyizi
Di sana terperi sekali ruhi
Semesta alam sana tafsil yang meujmali
Itulah yang bernama haqiqat nsani
Taay’yun thalis wujud yang mufassoli
Itulah anugrah dari kurnia ilahi
Ssemsta alam sana tafsil fi’li
Itulah bernama a’yan khariji

Hamazah fansuri memulai pembahasannya denaga menjelaskan bahawa Tuhan memiliki sifat-sifat-Nya yang kekal. Dalam sifat-sifat itulah tersimpan segala potensi dari tindakan-tindakan Tuhan yang tiada kesudahan dalam memperlihatkan segal ciptaan.  Dalam hal tajalli ini Hamzah Fansuri tidaklah mengikuti konsep Ibn Arabi ataupun al-Jili. Hamzah membuat konsep yang berbeda dengan Ibn Arabia tau al-Jili yakni Tuhan bertajalli dalam lima martabat:

1.      Maratabat pertama adalah martabat lataayyun. Hal ini dinamakan karena akal budi manusia tidak akan mampu memcapainya. Hamzah menyitir hadist nabi yang mengatakan melarang manusia untuk tidak memikirkan tentang zat Tuhan itulah yang disebut dengan La taayyun.
2.      Maratabat kedua dinamakan taayyun awwal , yaitu ilmu, wujud, syuhud, dan nur. Dengan sebab ilmu maka Alim dan Maklum menjadi nyata, dengan sebab wujud maka yang mengadakan dan yang diadakan menjadi nyata , dengan sebab syuhud maka yang melihat dan yang dilihat menjadi nyata, dengan sebab nur maka yang menerangi dn yang diterangi menjadi nyata. Taayyun awal ini dinamakan ahad dan wahid. Di namakan ahad karena zat Allah berada dalam ke-Esaan-Nya. Namun, jika disertakan dengan sifatnya maka dinamakan dengan wahid.
3.      Maratabat ketga dinakan dengan taayyun kedua, yaitu ma’lum  (yang dketahui) yang oleh kaum sufi dinamakan juga degan ayyun tsabitah .
4.      Martabat ke empat dinamakan tayyun ketiga  kenyataan di dalam peringkat ke tiga berupa ruh insan, ruh hewan, dan ruh tumbuhan.
5.      Martabat ke empat adalah taayyun ke empat dan kelima yaitu yang segala yang berbentuk fisik dan segala mahluqotnya . tahap ini merupakn tahap penciptaan tiada akhitr, ila mala nihayata lahu.  Sebab bila tdak ada penciptaan maka Tuhan bukan merupaka pencipta.[24]       

Inilah martabat yang lima yang dsampaikan oleh Hamzah Fansuri , yang jika dibanddingkan dengan konsep tajalli yang dikemukan oleh Ibn Arabi dan al-Jili terdapat erbedaan meskipun terdapat perserupaan.

KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang diungkapkan mengenai konsep wahdatul wujud dalam risalah dan syair wahdatul hamzah Fansuri. Mengatakan bahwa Hamzah Fansuri menyampaikan ajaran wahdatul wujud dalam bentuk syair hampir semua adaam risalahnya. Konsep ini menekankan kepada ke-esaan wujud yaitu hakekat zat Tuhan sedangkan segala sesuatu selain dari wujud adalah manifestasi  dari wujud. Khakikat manisfestasi tersebut pada esensi zatnya adalah ketiadaan namun ia mendapatkan  pancaran cahay wujud dari hakekat zat.

Hamzah Fansuri menganalogikan bahwa wahdah al-wujud dalam beberapa analogi di anatarnya: cahaya matahari, cahaya rembulan, meski namanya berbeda tetapi hakikatnya sama juga yaitu cahaya matahari juga. 
   




[1] Abdul Aziz Dahlan, Penilaian Teologis atas Paham Wahdatul Wujud, Tuhan alam dan Manusia dalam Tasawuf Syamsuddin Sumatrani, (Padang: IAIN IB Press,1999), hal. 36
[2] Abdul Aziz Dahlan, Penilaian Teologis h. 38
[3] M. Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf Nusantara, (Jakarta: Raja Grfindo Persada, 2005) hal. 34
[4] Op.ic hal. 34
[5] Tempat lahir Fansuri pada umumnya menimbulkan perselisihan pendapat. Padaa umumnya para sarjana mengatakan bahawa Hamzah Fansuri dilahirkan di Barus, sebuah Bandar yang terletak di pantai Barat Sumatera Utara anatara Singkil dan Sibolga. Fansuri adalah nama yang diberikann oleh pelaut dan pedagang yang singgah di Bandar tersebut sebelum berniaga. Tetapi Attas menyebit bahawa Hamzah Fansuri lahir di Syahr Nawi yaitu Ayuthia , Ibukota Siam yang dibangun pada tahun 1350 M.  
[6] Miftah Arifin, Wujudiyah di Nusantara Kontinuitas dan Perubahan (Jember: Pusataka Pelajar dan STAIN Press, 2015) hal.108-109.
[7] M. Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara h. 31
[8] Lihat buku, Miftah Arifin dan juga Dewes dan Brekel , The Peoms Hmazah Fansuri hal. 226 dan juga Abdul Hadi, Tasauf yang tertindas,  hal. 119
[9] Abdul Hadi, Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-Puisinya, (Bandung: Mizan, 1995) hal. 10-11.
[10] Nasruddin, Konsep Wahdatul Wujud dalam Risalah dan Syair Hamzah Fansuri, hal. 16.
[11]  M Salihin, hal. 32.  Dan juga Hawash Abdullah, Perkembanagan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara, (Surabaya:Al-ikhlas, 1930) hal.35
[12] M. Salihin, hal. 34
[13] Miftah Arifin, hal. 111
[14] M Salihin, hal. 25
[15]  Sudirman Tebba, Etika dan Tasawuf Jawa untuk Meraih Ketenangan Jiwa (Ciputat: Pustaka Irvan, 2007) hal. 166-169.
[16]  Miftah Arifin, hal. 114
[17] Miftah arifin hal. 114, di kutif dari buku Asror Arifin karya Johan Doorenbones 1993, hal. 120.
[18]  Lihat Deeronbos, hal.60-62. Kemudian dikutip oleh Mifatah Arifin dalam buku Wujudiayah di Nusantara hal. 115.
[19] Miftah arifin, hal. 116. Dan juga adalam kitab Asror Arifin hal. 128
[20] Ibid hal.116. juga dalam kitab Asror Arifin,  hal 153
[21] Ibid.117 dan juga dalam buku Syarab al-asyiqin karya Hamzah Fansuri.  Hal. 150
[22]  Kautsaar Azhari Noor , Ibn-Arabi Wahadatul wujud dalam perdebatan,  hal. 37-38
[23] Ibid, 98
[24] Miftah Arifin mengutip dari syarab asyiqin hal. 191-192.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.