Pemikiran Abu A'la al-Maududi
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang[1]
Abu A’la al-Maududi adalah seorang pembicara yang ulung dan penulis yang
amat produktif, khususnya dalam bidang agama. Dalam hubungan ini adalah penting
untuk selalu mengamati pandangan Abu A’la terkait dengan politik, negara., dan
keislaman. Tak jauh beda dengan pemikir lainnya. Abu A’la merupakan seorang
pemikir besar Islam yang sangat terkenal di dunia Islam.
Pakistan, lebih daripada negara Islam manapun, menghadapi lebih banyak
persoalan yang menarik dalam perjuangannya untuk mendapatkan identitas
keislamannya. Sejak berdiriya negara Islam pada tahun 1947, bangsa Pakistan
berusaha menampilkan arti penting dalam keberadaannya.
Dan buah karangan pilihan pertama menampilkan dua macam model negara
Islam modern yaitu Maulana Abu A’la Maududi seorang pendiri organisasi politik
(Jama’ati Islam) mengajukan suatu bentuk negara teokratik yang lebih bersifat tradisional, sementara
Fazlur Rahman seorang guru besar studi Islam tamatan Universitas Cambridge yang
juga direktur Lembga Pengkajian Islam yang mendapatkan dukungan dari
pemerintah, memberikan gambaran tentang negara Islam yang lebih modern
berdasarkan kedaulatan rakyat. Walaupun dulu Pakistan menyatakan dirinya
sebagai negara Republik, namun tidak ada satu pun yang pernah disusun untuk
menerapkan Islam itu
Dalam tahun 1970-an, Islam tampil kembali dalam pencaturan politik di
Pakistan dan mendorong timbulnya gagasan untuk dibentuknya suatu sistem
pemerintahan Islam. Jendral Zia ul-Haq yang merebut kekuasaan dari Zulfikor Ali
Buttho pada tahun 1977, berusaha mencari landasan hukum secara sah atas
tindakannya melakukan perebutan kekuasaan itu, dengan mengajukan himbauan untutk
di perlakukannya sistem pemerintahan Islam itu. Diantara perubahan-perubahan
besar yang dilakukannya adalah disusunnya suatu kumpulan hukum Islam yang
dituangkan dalam ketetapannya berjudul penerapan
sistem Islam.
Kegagalan Pakistan dalam meneranpakan gugusan keislamannya di bidang
peradilan disebabkan oleh sikap seorang hakim pensiun B.Z. Kalkaus yang pada
tahun 1976 mengajukan petisi yang isinya menentang diterapkannya sistem politik
dan sistem hukum Islam di Pakistan. Dan pada tahun1978 ketika Zia ul-Haq
menetapkan berlakunya sistem “ Peradilan Mahkmah Syar’iyah dan menghimbau
peradilan-peradilan itu agar semua peraturan hukum di sesuaikan dengan
peraturan-peraturan hukum Islam.
Dari gambaran di atas penulis bisa berkesimpulan bahwa dari berbagai
tokoh yang telah dikemukakan itu tedapat
ciri khusus mereka. Abu A’la al-Maududi yang lebih tradisionalis dari pada
Fazlur Rahman. Abu a’la adalah seorang politikus handal dan juga seorang
akdemisi kelas atas yang pemikirannya menarik untuk dikaji secara mendalam.
PEMBAHASAN
BIOGRAFI ABU A’LA AL_MAUDUDI[2]
Namanya adalah Abul al-A’la al-Maududi, lahir pada tahun
1903 di kota Aurangabad di wilayah Haidar Abad (India). Dia berasal dari
keluarga yang sangat terhormat. Keluarganya sangat terkenal dalam
masalah-masalah keilmuan dan Agama.[3]
Ayah Abul al-A’la al-Maududi tidak memasukannya
kesekolah-sekolah yang didirikan oleh inggris. Abul al-A’la al-Maududi diajar
sendiri oleh ayahnya dirumah. Abul al-A’la al-Maududi adalah pimpinan redaksi
pada tiga koran yang besar di India. Koran-koran yang dipimpin olehnya adalah
koran At Taj, Muslim dan koran Al-Jam’iyyah. Koran-koran tersebut selalu
membela umat Islam di India.
Pada tahun 1923, Abul al-A’la al-Maududi juga mendirikan
majalah bulanan indenpenden yang bernama Turjuman Al-Qur’an.
Majalah tersebut mempunyai peranan yang besar dalam pergerakan Islam
disemenanjung India. Mahatma Ghandi sering mengeluarkan pernyataan yang
menyudutkan Islam dan meragukan akan kebenaran risalah Islam yang suci. Mahatma
Ghandi menuduh bahwa Islam disebarkan hanya melalui pedang. Abul al-A’la
al-Maududi membantah pernyataan-pernyataan Mahatma Ghandi tersebut dengan
menulis sebuah buku yang sangat terkenal berjudul Al-Jihad fi Al Islam.
Abul al-A’la al-Maududi memberikan bantahan terhadap
pemahaman orang-orang Qadiyani. Dia meminta pemerintah agar mengeluarkan para
pengikut kelompok Qadiyani dari umat Islam, karena bertentangan dengan
Undang-Undang Negara. Dia kemudian menulis sebuah buku yang berjudul Al
Masalah Al Qadiyaniyah. Dia juga sering mengkritik
kebijaksanaan-kebijaksanaan Pemerintah. Karena perbuatannya itu, Abul al-A’la
al-Maududi hampir saja dijatuhi hukuman mati.[4]
Pada tahun 1941 Maududi mendirikan Paratai Jamati Islam, atau persatuan
Islam, suatau perkumpulan yang terorganisasi sangat baik dan bertujuan untukk
membentuk kembali masyarakat yang tertib Islam sedunia. Baik dalam arti
politik, hukum dan sosial, walaupun pada mulanya ia menentang segala jenis
nasionalisme sehngga ia pun menentang pendirian negara Fakistan. Namun, pada
akhirnya ia juga pindah ke Fakistan setelah terjadi pemisahan Fakistan dar
India., di mana Jamati Islam sangat giat dalam bidang politik.[5]
Pada tahun 1937, Muhammad Iqbal menulis surat kepada Maududi untuk
pindah Ke Punjab dan bekerjasama dengannnya dalam karya riset raksas
rekontruksi dan kodifikassi yurisfrudensi Islam. Koresfondensi ini diikuti dengan dua pertemuan anattaraa kedua
tomkoh tersbut, akhirnya diputuskan bahawa Maududi harus pindah ke Punjab dan
memimpin suatu lembag riset Islam daar
al-Islam. Abu a’la Maududi meninggalkan hyrobaad dan tinggal di Punjab pada
bulan Maret 1938. Akan tetapi takdir menentukan lain, dan MuhammadIqbal
mengghembuskan napas terkhirnya dan
meinggalkan tugas yang berat yang seharusnya di garap bersama oleh
karena itu Maududi terpaksa pindah meninggalkan Punjab untuk kemudian pindah ke
Lahore, di mana ia menjdi staf pengajar Fakultas Ushuluddi di Islamiyah college tanpa bayaran.[6]
Tahun 1941 beliau mengorganisasikan gerakan Renaissans[7]
, Jamaat Islami[8] dan terpilih sebagai ketuanya. Setelah
pembagian India Pakistan beliau mencanangkan gerakan kostitusi Islam dan jalan
kehidupan Islamm kemudian beliau di
tahan pada tanggal 4 Oktober 1948, setelah 20 bulan dalam penjara beliau dalam
penjara beliau di bebaskan dalam bulan mei 1950. Sekali nestapa menimpa beliau
pada tahun 1953 beliau di vonis mati dengan tuduhan menulis selebaran gelap yag
sebenarnya tidak terlarang. Vonis ini di remisi menjadi hukuman seumur hidup,
yang berarti kurungan ketat elama 14 tahun. Tanggal 28 April 1955 keopputusan
Mahkamah Agung bahwa beliau dilepaskan. [9]
Pada Tahun 1942 ia mengarang karya Tafhim
Al-qur’an merupakan karya paling
revolusioner dan mengejutkan di zaman itu. Ciriutam tafsir ini adalah
menyajikan arti dan risalah al-qur’an dengan problematika sehari-hari baik
secara Indiviual maupun sevacra kolektif atau sosial. Ia berusahaa menjelaskan
ayat-ayat Allah dalam konteks pesan yang menyeluruh.[10]
Tepatnya pada tahun 1948 Maududi menyampaikan lima buah ceramah lewat
radio Pakistan yang di tujukan untuk masyarakat Islam bukan hanya di
Pakistan melainkan juga untuk seluruh
duniia. Ceramah tersubut mencakup lima bidang pokok dalam kehidupan ummat
Isslam, yatu moral, poltik, sosial, ekonomi, dan spiritual. Ke lima ceramah
tersebut ditebitkan oleh Islamic Research
Academic dalam bentuk buku yang
berjudul Islamic way of life.[11]
Pemikiran Politik al-Maududi
Sebagai seorang pemikir Al-maududi sangat memperhatikan doktrin ajaran
Islam. Mauddudi selalu berusaha untuk membangun paradigma pemikirannnya
berdasarkan al-qur’an dan Sunnah. Dalam hal ini Munawir Sdajali[12]
dalam anlisisnya berpendapat bahwa terdapat tiga aliran dalam ummat Islam
tentang hubungan Islam dan tata kenegaraan.
Pertama, berpenddirian Islam bukanklah semata-mat agama dalam pemikiran
Barat, hanya menyangkut hubungan antara
manusia dengan Tuhan.Tetapi Islam adalah suatu agama yang sempurna dan lengkap
dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupann manusia termassuk bernegara.
tokoh-tokoh utama aliran ini adalah Rasyid Ridho, Hassan al-Banna, Sayyid Qtub
dan paling vocal adalah Maulana Abu A’la Al-Maududi.[13]
Kedua, Islam adalah agama dalam pengerrtian Barat yang tak ada
hubungannnya dengan kenegaraan untuk aliran ini Nabi Muhammad hanyalah seorang
Rasul biasa seperti halnya Rasul-Rasul sebelumnya. Pendapat didukung oleh tokoh
seperti ali abd Raziq dan Thaha Husein.[14]
Ketiga, Menola pendapat bahwa Islam adalah agama yang serba lengkap dan
bahwa Islam terdapat sisitem ketatanegaraan . tetapi aliran ini juga menolak
anggapan bahawa Islam adalah agama dalam penegertian yang hanya mengatur
hubungan anytara manusia dengan penciptanya.
Tetapi dalam Islam itu teerdapat seperangkat tat nilai etika bagi
kehidupan bernegara[15].
Tokoh-tokoh yang paling terdengar gaunagannya adalah Muhammad Husein Haikal
seorang penulis buku fenomenal berjudul hayyatu Muhammad, dan Fil Manzil al-wahyi.
Dalam penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa al-Maududi termasuk
golongan konservatif. Beliau menjelaskan bahwa tidak ada ijtihad selain
yangtelahdijelaskan dalam nash syariah. Maududi mengakui keabsahan metodologi
hukum Islam yang dikembangkan oleh para Imam yang mendirikan mazhab. Maududi
berebeda pendapat dengan kaum modernis. Kaum fundamentalis erpaling ke masa lalu, sedangakan kaum modernis memandang
ke masa depan. Kedua kaum ini berpendapat sebagai golongan treformis dan
pembaharu. Dalam hal ini penulis menganggap gambaran bahwa al-Maududi
dalam dinamikan politik saat itu berada
pada posisi atau kita sebut tokoh fundamentalis.
Penulis ingin menunjukkan
perbedaan pembahruan Maududi dalam bidang kenegaraan dengan kaum
konservatif mau pun dengan kaum modernis. Misalnya konsep kedaulatan Tuhan
dalam negara Islam . pemahaman ini memunculkan paham theo-demokrasi yaitu kekuassaan Tuhan berada di tangan ummat Islam
yang melaksanakan sesuai dengan al-qur’an dan Sunnah. Dalam konsep khilafah
al-Maududi berpendapat bahawa kepala negara yang menjadi khalifah melainkan
semua orang baik laki-laki mau pun perempuan.[16]
Konsep itu dituangkan
dalam bukunya yang terkenal Al-Khilafah wa al-Mulk (Khilafah dan Kerajaan) yang
terbit di Kuwait tahun 1978. Teodemokrasi merupakan akomodasi antara teokrasi
yang menekankan kedaulatan pada Tuhan dan demokrasi yang menyebutkan bahwa
kekuasaan (khilafah) ada di setiap individu mukmin. Artinya bahwa Teodemokrasi
memberikan kedaulatan kepada rakyat, namun kekuasaan tersebut tetap dibatasi
oleh norma-norma yang datangnya dari Tuhan. Dengan kata lain, Teodemokrasi
adalah kedaulatan rakyat yang berada dibawah pengawasan Tuhan.
Namun dalam bukunya yang
lain, yaitu Islamic Law and Constitution(1962: 138-139), al-Maududi
menggunakan istilah divine democracy (demokrasi suci)
atau popular vicegerency (kekuasaan suci yang bersifat
kerakyatan) untuk menyebut konsep negara dalam Islam (Asshidiqie, 1995:
17). Akan tetapi inti konsep
yang disampaikan sama saja dengan konsep Teodemokrasi yang ada dalam buku
sebelumnya. Jadi tidak ada perbedaan yang signifikan antara kedua istilah dan
buku tersebut.[17]
Ada tiga dasar keyakinan
atau anggapan yang melandasi pikiran-pikiran Maududi tentang kenegaraan menurut
islam, yaitu sebagai berikut:
1. Islam adalah suatu agama yang paripurna, lengkap dengan
petunjuk untuk mengatur semua segi kehidupan manusia, termasuk kehidupan poitik
dengan arti bahwa didalam islam juga terdapat sistem politik. Oleh sebab itulah
beliau menekankan bahwa negara islam tidak perlu meniru-niru sistem politik
yang diterapkan di dunia barat. Cukup kembali kepada sistem politik islam,
dengan acuan menunjuk pada masa Al Khulafa Al-Rasyidin sebagai contoh
kenegaraan islam.
2. Kekuasaan tertinggi, yang dalam istilah politik disebut
kedaulatan ada pada Allah dan umat manusia hanyalah pelaksana atas kedaulatan
Allah tersebut sebagai khalifah Allah di bumi. Oleh karenanya khalifah sebagai
pelaksana harus tunduk kepada Al-Qur’an dan sunnah nabi, dan tidak boleh ada
gagasan tentang kedaulatan rakyat seperti yang ada di dunia barat. Maka yang
berhak untuk menjadi seorang khalifah hanyalah laki-laki atau perempuan muslim.
3. Sistem politik islam adalah suatu sistem universal
dan tidak mengenal batas-batas dan ikatan-ikatan geografi, bahasa, dan
kebangsaan.[18]
Berdasarkan
tiga landasan berpikir diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa sistem politik
yang akan dan harus diterapkan di dunia islam berbeda dengan sistem politik
yang ada di barat. Maududi tidak sepakat dengan pemerintahan yang menganut
kedaulatan rakyat (inti sistem demokrasi) yang artinya menolak sistem
demokrasi, beliau menolaknya berdasarkan dua alasan. Pertama, karena menurutnya
kedaulatan tertinggi adalah di tangan Tuhan. Tuhan sajalah yang berhak menjadi
pembuat hukum (law giver). Manusia
tidak berhak membuat hukum. Kedua, praktik “kedaulatan rakyat” seringkali
justru menjadi omong kosong, karena partisipasi politik rakyat dalam
kenyataannya hanya dilakukan setiap empat atau lima tahun sekali saat Pemilu.
Sedang kendali pemerintahan sehari-hari sesungguhnya berada di tangan
segelintir penguasa, yang sekalipun mengatasnamakan rakyat, seringkali malah
menindas rakyat demi kepentingan pribadi .[19]
Beliau juga tidak setuju
dengan sistem teokrasi seperti yang ada di eropa. Karena menurut beliau sistem
teokrasi yang ada di eropa adalah suatu sistem dimana kekuasaan ada ditangan
kelas tertentu atau biasanya adalah kelas pendeta. Menurut Maududi kelas
pendeta yang memegang kekuasaan akan menyusun perundang-undangan atau hukum
untuk rakyat sesuai dengan keinginan atau kepentingan kelas mereka, namun
mengatasnamakan Tuhan.
Akan tetapi, meskipun
beliau menolak sistem demokrasi dan sistem teokrasi, beliau masih melihat ada
sisi positif dari kedua sistem tersebut. Dalam sistem demokrasi misalnya,
bahwa kekuasaan (Khilafah) ada di tangan setiap individu kaum Mukmin. Khilafah
tidak dikhususkan bagi kelompok atau kelas tertentu. Inilah yang-menurut
al-Maududi- membedakan sistem Khilafah dengan sistem kerajaan. Dari sinilah
al-Maududi lalu menyimpulkan, “Dan ini pulalah yang mengarahkan
Khilafah Islamiyah ke arah demokrasi, meskipun terdapat perbedaan asasi antara
demokrasi Islami dan demokrasi Barat.[20]
Sedangkan dalam sistem teokrasi, ada satu
anasir teokrasi yang diambil al-Maududi, yakni pengertian kedaulatan tertinggi
ada di tangan Allah. Dengan demikian, menurut al-Maududi, rakyat mengakui
kedaulatan tertingggi ada di tangan Allah, dan kemudian, dengan sukarela dan atas
keinginan rakyat sendiri, menjadikan kekuasaannya dibatasi oleh batasan-batasan
perundang-undangan Allah SWT.[21]
Dasar Pemikiran
Al-Maududi (Tentang Negara Islam)
Konsep pemerintahan
menurut Maududi bertumpu atas konsepnya yang mendasar tentang alam semesta,
al-Hakimiyah al-Ilahiyah, dan kekuasaan dalam bidang perundang-undangan.
Ketiganya ini dirujuk Al-Maududi dari Al-Quran.[22]
1. Konsep alam semesta :
a. Allah SWT adalah
pencipta alam semesta dan pencipta manusia di alam ini.
b. Allah adalah
pemilik makhluk ini, penguasanya, dan yang mengurusi segala urusannya.
c. Kekuasaan
yuridiksi dan kedaulatan hukum tertinggi di alam semesta ini hanya
bagi Allah, tidak mungkin menjadi hak siapapun selain Dia dan tidak ada seorang
pun yang memiliki satu bagian dari pada-Nya.
2. Konsep Al-Hakimiyah
al-Ilahiyah:
a. Tuhan
pemelihara alam semesta ini paa hakikatnya adalah Tuhan pemelihara manusia, dan
tidak ada jalan lain bagi manusia kecuali patuh dan tunduk kepada sifat-Nya
Yang Maha Esa.
b. Hak untuk
menghakimi dan mengadili tidak dimiliki oleh siapapun kecuali Allah.
c. Hanya Allah
sendiri yang memiliki hak mengeluarkan hukum, sebab Dialah satu-satunya
pencipta.[23]
d. Hanya Allah
sendiri yang memiliki hak mengeluarkan peraturan-peraturan, sebab Dialah
satu-satunya pemilik.
e. Hukum Allah
adalah sesuatu yang hak, sebab hanya Dia sendiri yang mengetahui hakikat segala
sesuatu, di tangan-Nyalah penentuan hidayah yang benar dan penentuan jalan yang
sesat dan lurus.
3. Konsep Kekuasaan Allah di Bidang
Perundang-undangan[24]
Konsep kekuasaan
Allah di bidang perundang-undangan menurut Maududi adalah bahwa ketentuan
membuat undang-undang harus hanya kepada Allah semata-mata dan umat Islam wajib
mengikuti undang-undang-Nya serta haram atas seseorang meninggalkan peraturan
ini dan mengikuti undang-undang buatan manusia lainnya, perundang-undangan yang
dibuatnya sendiri, atau kecenderungan hawa nafsu.
Di samping itu, kalau
dilihat dari sejarah, khitah seorang Rasul menurut Maududi ialah menyiarkan
Islam, menyebarkan petunjuk Allah SWT dan menegakkan kalimah Allah di dunia
ini. Semua Rasul yang diutus Allah, mulai dari Nabi Adam as. sampai Nabi
Muhammad SAW, mempunyai tugasyang sama, yaitu mengajarkan Islam kepada umatnya
dan menghimbau mereka untuk mengakui kedaulatan mutlak Tuhan serta berserah
diri kepada-Nya.
Selanjutnya, Maududi
mengungkapkan bahwa manusia modern telah dibelenggu oleh perbudakan atau
dominasi manusia. Ini terjadi hampir di seluruh dunia, baik di Rusia,
Amerika,Yugoslavia, Cina, ataupun Inggris. Mereka berada di bawah bayangan satu
partai, seorang pemimpim atau seorang Plutokrat sedemikian rupa
sehingga pada hakikatnya konntrol manusia atas manusia. Penyembahan
manusia atas manusia, tetap saja berlangsung tanpa mengalami perubahan yang
berarti. Bahkan kita saat ini menyaksikan suatu bangsa yang
mendominasi bangsa lain.[25]
Al-Maududi menegaskan
bahwa semua urusan umat Islam harus dilaksanakan dengan musyawarah bersama
(syura) di kalangan kaum muslimin. Prinsip ini mendapat landasan yang kuat
dalam Al-Quran, diantaranya adalah “Dan (bagi) orang-orang yang menerima
(mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka
(diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian
rezeki yang kami berikan kepada mereka.” (QS. al-Syura, 42: 38).
Ayat-ayat di atas
walaupun tidak menetapkan bentuk lembaga konsultasi, yang jelas menurut
pemikiran Maududi, umat Islam harus menerapkannya dengan merujuk kepada situasi
dan kondisi yang saat itu ada dan dengan jujur berupaya memahami jiwa prinsip-prinsip
serta rincian prinsip tersebut sebagaimana ditafsirkan dalam kerangka kondisi
pada saat itu.[26]
Dalam menjelaskan siapa
yang berhak ikut dalam badan permusyawaratan tersebut, Al-Maududi mencoba
menerangkannya dengan merujuk pada perkembangan alamiah para sahabat Nabi.
Dalam hal ini pertimbangan yang diajukan Maududi dibagi menjadi dua hal, yaitu[27]:
a) Orang-orang
yang mempunyai dedikasi dan loyalitas dan mencurahkan seluruh hidupnya untuk
perjuangan Islam, sehingga dengan demikian orang-orang yang semacam ini dikenal
oleh masyarakat Islam secara luas.
b) Orang-orangyang
terkemuka karena wawasan serta kemampuan mereka dalam memahami ajaran Islam.
Orang-orang seperti ini merupakan hasil seleksi alamiah dari
komunitas Islam dan mendapat kepercyaan dari mereka.
Secara tegas al-Maududi
menekankan bahwa kedua kelompok di atas terpilih melalui seleksi alamiah dan
secara otomatis menjaddi anggota majlis permusyawaratan dalam negara di mana
pemegang eksekutifnya adalah penggamti Rosul. Oleh karena tidak perlu
dilaksanakan pemilihan umum untuk
memilih mereka karena kalupun pemilu dilaksanakan ototomatis kedua kelompok
inilah yang akan terpilih. Begitu pentingnya kedua orang tersebut dalam bahasa
yang sama Maududi menyebutkan ahlu halli
wa al-aqd yang tanpa sarannya tak akan dibuat keputusan yang berkaitan
dengan massalah kenegaraan.[28]
Tujuan Negara
Menurut al-Maududi,
tujuan dibentuknya negara Islam adalah tidak lain untuk menegakkan syariat
Allah. Negara juga bertujuan untuk menuntun masyarakat muslim untuk menjalankan
apa yang telah diperintahkan Allah dalam syariatnya. Dengan menjalankan
syariatnya, maka menurutnya akan tercipta masyarakat Islam yang harmonis dan
maju, serta tidak keluar dari koridor yang telah ditetapkan oleh Allah.[29]
Negara Islam adalah
negara yang mempunyai sistem tersendiri yang pada hakikatnya berbeda dengan
negara sekuler, baik menyangkut sifat atau karakteristik maupun tujuannya.
Menurut Al-Mududi, Islam merupakan antiteis dari demokrasi Barat, karena
landasan filosofi demokrasi Barat adalah kedaulatan rakyat sehingga dalam
penentuan nilai-nilai dan norma pelaku sepenuhnya berada di tangan rakyat.
Al-Maududi mengkritik demokrasi Barat, yang menurutnya mempunyai beberapa kelemahan
mendasar. Pertama, kelompok penguasa bisa saja bertindak atas nama
rakyat meskipun sebagian pikiran dan tenaga yang dikerahkannya bukan untuk
rakyat, tetapi untuk melestarikan kekuasaan yang mereka pegang.
Kedua,
jika kekuasaan mutlak untuk membuat legislasi berada di tangan pembuat hukum (law
maker) harus sesuai dengan selera dan opini rakyat tidak mustahil suatu
ketika tindakan-tindakan yang tidak manusiawi menjadi legal sepenuhnya bila
opini publik menuntutnya. Bila sebuah legislasi dikehendaki oleh mayoritas
rakyat, meskipun bertentangan dengan ajaran moral dan agama, maka legislasi itu
harus berjalan. Sebaliknya, suatu legislasi lain betapa pun benar dan adil
dapat dibatalkan jika rakyat menghendakinya.
Dengan demikian,
terlihat bahwa di satu pihak demokrasi hanya menjadi penutup oligarki, dan di
lain pihak dapat menjadi alat untuk memanipulasi kebenaran, karena kebenaran di
identikkan dengan suara mayoritas. Begitukeras ia mengancama demokrasi ,
sehingga ia mengatakannya sebagai sistem musrik bahakan cenderung ke arah ilhad (atheis).[30]
Islam
memberikan kedaulatan terbatas kepada rakyat. Rakyat tidak dapat dan tidak
boleh menggunakan kedaulatannya itu dengan semaunya, sebab ada
peraturan-peraturan, norma-norma, dan nilai-nilai yang harus dipatuhi. Bahkan
norma-norma dan nilai-nilai itu harus menjadi paradigma program-program sosial,
politik, dan ekonomi yang ditentukan oleh rakyat lewat para wakilnya.
Badan eksekutif dalam
pemerintahan ini, menurut Al-Maududi adalah dibentuk berdasrkan kehendak umum
kaum muslimin yang juga berhak untuk menumbangkannya. Semua masalah
pemerintahan dan masalah yang tidak diatur secara jelas dalam syariah
diselesaikan antara kaum muslimin[31].
Dari sudut ini terlihat negara Islam itu adalah demokrasi, tetapi ia juga
negara teokrasi dimana terdapat pemerintah secara eksplisit dari Tuhan maupun
Rasul yang tidak seorang pun baik pemimpin Islam, ulama atau undang-undang
dapat membuat penilaian yang independen.
Selanjutnya Al-Maududi
menjelaskan bahwa negara Islam bersifat universal, tidak membatasi ruang
lingkup kegiatannya.Sifat universal itulah yang membuat ruang lingkup dari
kekuasaan negara Islam tidak terbatas pada teritorial wilayah. Negara bangsa
yang mendasarkan dirinya pada rasa keterikatan berdasarkan wilayah, suku atau
tradisi tidak dikenal dalam Islam. Negara Islam dalam hal ini mendasarkan
dirinya pada rasa keterikatan ideologis, yaitu ideologi Islam. Dengan kata
lain, di manapun itu, selama dia beragama Islam, maka dia termasuk warga negara
Islam.[32]
Berdasarkan prinsip
inilah, menurut penulis Al-Maududi membagi golongan Islam yang ada dalam negara
Islam menjadidua golongan, yaitu ; muslim dan nonmuslim. Namun di sisi lain,
Maududi menekankan bahwa pembagian ini bukan berarti mengurangi hak nonmuslim
untukmenikmati kehidupan mereka. Negara Islam tetap memberikan
jaminan perlindungan, kehidupan nafkah dan kekayaan, serta jaminan kebudayaan,
keimanan dan martabat warga nonmuslim.
Selanjutnya,
Maududi menjelaskan bahwa negara Islam mempunyai tujuan yang akan dicapai demi
untuk terjaminnya masyarkat Islam sebagaimana yang diisyaratkan oleh Al-Quran,
yaitu ;
1. Untuk
mengelakkan terjadinya eksploitasi antar manusia, antar-kelompok atau
antar-kelas dalam masyarakat.
2. Untuk
memelihara kebebasan (ekonomi, politik, pendidikan dan agama) para warga dan
melindungi seluruh warga Negara dari invasi asing.
3. Untuk
menegakkan system keadilan social yang seimbang sebagaimana dihendaki dalam
al-Qur’an.
4. Untuk
memberantas setiap kejahatan (munkarat) dan mendorong setiap kebajikan
yang dengan tegas telah digariskan pula oleh al-Qur’an.
5. Menjadikan
Negara itu sebagai tempat tinggal yang teduh dan mengayomi bagi setiap warga
Negara dengan jalan pemberlakuan hukum tanpa diskriminasi.[33]
SISTEM KEKUASAAN
POLITIK MENURUT AL-MAUDUDI
Al-Maududi mengharuskan
adanya lembaga yang akan berfungsi sebagai pengukur dan pemutus perkara yang
harus selalu tetap berpedoman kepada kitab Allah dan Sunah Rasul secara ketat.
Selanjutnya, Al-Maududi mengemukakan tiga lembaga penting yang rakyat harus
memberikan ketaatan terhadap negara melalui peraturan-peraturan yang
dikeluarkan oleh ketiga lembaga tersebut, yaitu lembaga legislatif, eksekutif,
dan yudikatif.[34]
Menurut Al-Maududi,
lembaga legislatif adalah lembaga yang berdasarkan terminologi fiqh disebut
dengan lembaga penegah dan pemberi fatwa atau sama dengan Ahl al-Halli
wa al-‘Aqd. Dalam menformulasikan hukum, lembaga ini harus dibatasi dengan
batasan-batasan Allah dan Rasul-Nya dan tidak boleh bertolak belakang dengan
legislasi yang ditetapkan Allah dan Rasul walaupun konsensus rakyat
menghendakinya.
Selanjutnya, lembaga
ini menurut Maududi mempunyai tugas-tugas :
a. Jika terdapat
petunjuk-petunjuk Allah dan Nabi-Nya yang eksplisit, maka lembaga inilah yang
berkompeten menjabarkan dan memuat peraturan-peraturannya.
b. Bila terdapat
kemungkinan beberapa penafsiran terhadap petunjuk-petunjuk eksplisit itu.
c. Jika tidak ada
ketentuan dalam Al-Quran dan Hadis.
d. Jika tidak ada
ketentuan dari sumber-sumber di atas.[36]
b. Lembaga Eksekutif[37]
Tujuan lembaga ini
adalah untuk menegakkan pedoman-pedoman serta menyiapkan masyarakat agar
menyakini dan mengatur pedoman-pedoman ini untuk diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari. Dalam Al-Quran, terminologi uli al-amr pada
dasarnya menunjukkan lembaga ini dan kaum muslimin diperintahkan untuk patuh
kepadanya.
c. Lembaga
Yudikatif
Dalam terminologi
Islam, lembaga yudikatif sama dengan lembaga peradilan atau qadha. Lembaga ini
berfungsi sebagai penegak hukum Ilahi, menyelesaikan, dan memutuskan dengan
adil perkara yang terjadi di antara warganya. Lembaga ini bersifat bebas dan
terlepas dari segala campur tangan, tekanan atau pengaruh, sehingga lembaga ini
dapat membuat keputusan yang sesuai dengan konstitusi tanpa dihalangi oleh rasa
takut.
Mengenai bagaimana
hubungan antara lembaga eksekutif,dan lembaga legislatif, Maududi menyatakan
bahwa kedua lembaga tersebut berfungsi secara terpisah dan mandiri satu dengan
yang lain. Lembaga legislatif atau Ahl
al-Halli wa al’Aqd berfungsi sebagai badan penasihat kepala negara yang
menyangkut dalam berbagai hal. Di samping itu, kepala negara harus mengadakan
konsultasi atau bermusyawarah dengan lembaga legislatif. Namun dalam berbagai
hal kepala negara boleh menerima atau menolak suara mayoritas dan mengambil
pendapatnya sendiri sesuai dengan pertimbangannya. Di sini kepala negara
menurut Maududi mempunyai hak veto.[38]
Namun yang sangat
disayangan adalah ketidak jelasan konsep Al-Maududi tentang siapa yang
mengangkat dan menunjuk kepala negara dan anggota majelis syura apabila mereka
telah terpilih, dan bagaimana pula kalau seandainya masyarakat muslim mencopot
jabatannya dengan cara bagaimana dan lembaga mana yang akan melakukannya?
Al-Maududi menyerahkan
urusan tersebut kepadaa umat Islam untuk menempuh jalan yang mereka anggap
terbaik untuk situasi dan kondisi mereka. Menurutnya, Islam
tidak mencontohkan cara tertentu untuk itu. Al-Maududi seolah-olah kembali
pasrah dengan situasi politik yang berkembang dengan tidak memberikan tuntunan
ke arah penyelesaian masalah. Hal ini juga menjadi tradisi politik
Islam dari beberapa aliran, termasuk kalangan Sunni. Ahmad Syafi’i Maarif
mengomentari masalah ini dengan menyatakan, “Sekalipun para yuris Sunni dengan
gigih mempertahankan teori pemilihan, mekanismenya tetap tidak jelas”.[39]
Jadi dapat
disimpulkan struktur pemerintahan islam yang diinginkan oleh alMaududi terdiri
dari tiga lembaga yaitu : yang pertama Amir atau eksekutif, yang kedua Ahl
Alhalli wal ‘Aqdi (majlis suro atau legislative, yang ketiga Qadha atau
Yudikatif.
Menurut
alMagdudi dalam Negara Islam kekuasaan tertinggi berada di tangan Amir
atau kepala Negara dan hak untuk menetapkan undangundang sepenuhnya berada
ditangan Amir. Untuk itulah al Magdudi menetapkan berbagai syarat untuk
menjadi Amir. Syaratsyarat itu antara lain:
1.
Beraga Islam
2.
Lakilaki
3.
Sehat fisik dan
mental
4.
Warga Negara
yang terbaik
5.
Shaleh
6.
Dan kuat
komitmennya terhadap Islam
Pemikiran Maududi Tentang Wanita
Konsep Maududi tentang
wanita terlihat dalam buku Purdah and the status of Woman in Islam.
Yang menguraikan bahwa status wanita tergantung pada perubahan zaman
dan peradaban (pada masing-masing negara).
Serangkaian
generalisasi mengenai sikap budaya terhadap perempuan di negara Yunani kuno,
Roma, Eropa Kristen, dan Eropa modern. Dimana status wanita pada beberapa
negara ini adalah tergantung dari tema yang sama, yaitu peradaban. Menurut
Maududi, penyimpangan seksual dan korupsi yang terjadi itu merupakan penyebab
dari penurunan peradaban masing-masing.
Pada abad ke- 20 di
Eropa, Maududi mengiidentifikasikan tiga doktrin masyarakat barat, yaitu:
1. Kesetaraan
antara pria dan wanita.
Di barat, wanita
diperbolehkan bekerja sama seperti laki-laki. Menurut Maududi melihat kesalahan
terhadap kesetaraanya, karena wanita menjadi sangat terpengaruh dengan ekonomi,
politik, dan pengejaran sosial. Sehingga ia mengabaikan kewajibannya untuk
merawat keluarga.
2. Kemandirian
ekonomi pada wanita.
Wanita yang mandiri
ekonominya, mereka tidak lagi merasa berkewajiban untuk memiliki suami atau
keluarga. Kebanyakan wanita muda di beberapa negara barat memilih hidup tanpa
menikah, dan bersetubuh dengan siapa saja.
3. Pembauran
bebas dari jenis kelamin.
Hal ini cenderung
dilakukan karena pamer. Mereka berkumpul tanpa busana dan melakukan
penyimpangan seksual. Pria lebih tinggi nafsu seksual, sementara wanita
mengabaikan pengendalian moralnya unutk menarik lawan jenis.
Maududi mengatakan
bahwa, tampaknya otoritas wanita di negara Islam itu akan sedikit dibatasi.
Menurut Maududi, pria secara alami dapat menjadi jenderal, negarawan, dan
administrator, dan seorang wanita merupakan seorang istri, ibu dan pembantu
rumah tangga. Ini adalah pembagian kerja yang bersifat alamiah dan telah
tersuusun antara kedua jenis kelamin (pria dan wanita).
Konsep wanita menurut
al Maududi bisa dikategorikan pada empat macam:[40]
1. Laki-laki
mempunyai tugas untuk mendidik perempuan tentang arti sebuah kehidupan.
2. Perempuan
itu untuk menjaga urusan rumah tangga dan membuat kehidupan rumah tangga yang
harmonis, menyenangkan dan damai. Pendidikan merupakan alat untuk mencapai
tugas tersebut.
3. Wanita
itu untuk mempertahankan sistem keluarga dan menyelamatkannya dari kebingungan.
Laki-laki harus dapat menjadi pemimpin dalam keluarga.
4. Harus
ada perlindungan dalam sistem sosial untuk mencegah individu dari kebingungan
dan mencampuradukkan jenis kegiatan yang berbeda antara laki-laki dan
perempuan.
Maududi menjelaskan
bahwa prinsip-prinsip fundamental yang mendasari sistem sosial islam bisa
membantu untuk mengendalikan dan mengatur dorongan sexual seseorang.
Selain itu, ketika
wanita hendak pergi keluar rrumah atau bertemu dengan laki-laki tanpa disertai
dengan mahram nya dia harus menutupi seluruh badannya. Untuk laki-laki yang
harus ditutup yaitu antara pusar sampai pada lutut. Tapi untuk wanita adalah
semuanya dari tubuhnya.
Pria muslim dan wanita
harus menjaga pandangan mereka dari lawan jenisnya. Dan wanita harus menarik
pakaian mereka ke atas dada, serta tidak menunjukkan perhiasan mereka kecuali
kerabat dekat, perempuan lain, dan budak.
Pernyataan akhir dari
Maududi di atas, adalah pesan spirit al Qur’an. Al Qur’an bukan hanya menyeru
untuk berjilbab saja, tapi lebih dari itu al Qur’an menyuruh wanita untuk menutup
seluruh tubuh termasuk muka dan tangan.[41]
Al-Maududi dan
Non-Muslim
Masalah yang sering
dihadapi suatu negara adalah menentukan ideologi negara. Karena ideologi ini
menjadi dasar pemikiran dan petunjuk ke arah mana negara mau di
bawa. Seorang Muslim hanya bisa menjalankan keimanannya dalam sebuah
negara dan masyarakat Islam, sebagaimana friman Allah, “barangsiapa yang
tidak berhukum dengan hukum Allah, ia termasuk kafir”.
Seorang hakim yang
telah menentukan suatu putusan pun masih dilingkupi keraguan. Maududi
berpendapat bahwa ketika hakim harus memutuskan suatu perkara, maka setidaknya
itu dilakukan oleh beberapa orang Muslim yang saleh. Hal ini, mengindikasikan
bahwa non-Muslim tidak mungkin diharapkan untuk menempati posisi penting di
negara ala Maududi. Maududi menolak politik pluralisme agama[42].
Namun, non-Muslim atau
pun kafir dzimmi yang menunjukan loyalitas mereka kepada
negara Islam, mereka termasuk penduduk dan mendapatkan hak-hak sebagai
penduduk. Bagaimanapun Maududi membedakan hak antara kafirdzimmi dengan
muslim, ia bukan seorang pengikut kesamaan HAM.
Maududi menjamin untuk
melindungi kafir dzimmi dari kehidupan dan anggota badan,
kepemilikan dan budaya, kepercayaan dan kehormatan mereka. Hanya Islam yang
menegakan undang-undang dan aturan-aturan Islam dan memberikan hak yang sama
kepada non-Muslim sebagai penduduk pada umumnya. Tetapi, bentuk
negara Islam yang ditawarkan Maududi berbeda dengan bentuk negara Islam yang
ada dalam sejarah, yang mana membolehkan non-Muslim melaksanakan kegiatan
mereka seperti membuat dan menjual alkohol, mengembang biakan dan menjual babi.
Bagaimanapun, secara politik non-Muslim mempunyai posisi yang terbatas. Pria
atau wanita non-Muslim tidak bisa menjadi kepala negara, akan tetapi boleh
menjadi anggota musyawarah.[43]
Negara Islam yang
sempurna adalah sempurna berdasarkan definisi ; merupakan sebuah bentuk akhir
dan dan tidak ada kelonggaran. Ekpresi-ekspresi dari bentuk dan kepercayaan
lain harus lah ditahan dan dibatasi. Hal ini, terlihat jelas dalam tulisan Maududi
bahwa non Muslim diberikan toleransi tetapi menyediakan untuk mereka jarak dan
tidak diperbolehkan mengembangkan ideologi mereka di dalam komunitas.
Satu hal yang penting,
Maududi berusaha keras memberikan hal yang paling fundamental yang ditawarkan
oleh negara demokrasi modern di dalam sistem Islamnya, sebagaimana dogma
tradisional dibatasi oleh politik liberal dan kebebasan berekspresi dan
kepercayaan. Maududi menegaskan bahwa hak hidup, kebebasan dan kepemilikan
semuanya milik rakyat (baik Muslim maupun non-Muslim), kebebasan bereskpresi,
membuat perkumpulan dan sebagainya, semua dijamin oleh negara Islam dan tidak
akan dijebloskan ke penjara tanpa melalui pengadilan.[44]
[1] Makalah ini di tulis untuk
memenuhi tugas kuliah PMDI di UIN Jakarta, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Aqidah
Filsafat. Penulis berharap makalah ini
bisa berguna untuk civitas akademi UIN Jakarta.
[2] Maulana Maududi mengawali
pendidikan agama yang bersifat tradisional kemudian mempelajari sendiri pemikiran Barat. Inilah yag membuat
ia menjadi kritukus terhadap Barat. Selain itu, ia jiga produktif dalam menulis
baik di media massa maupun dala bidan ilmiah. Boleh dikatakan ia seorang
cendikiawan sekaligus politikus.
[3] http://himajinasiiainarraniry.blogspot.co.id/2013/09/biografi-dan-pemikiran-politik-abul-al.html, di akses pada Rabu 18 November
2015.
[4] Jhon J. Donohue dan Jhon L. Esposito, Islam Dan Pembaharuan : Ensiklopedi
Masalah-masalah.(dari judul aslinya : Islam Intransition ; Muslim Perspective),
PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hlm. 158
[5] Ibid, hal. 158-159
[6] http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7970/1/MUHAMMAD%20IQBAL-FUF.pdf, di akses pada rabu 118 November
2015.
[7]
Gerakan pembangunan dan pengembangan kemali keilmuewan untuk memghadap
masa depan. (lihat KBBI).
[8] Partai revivalis Islam di
Pakistan organisassi ini merupakan salah satu gerakan Islam tertua dan paling
berpengaruh dalam perkembangan revivalisme Islam di seluruh dunia Islam.
[9] Lihat skipsi Muhammad Iqbal
alumni UIN Jakarta Fakultas Ushuluddin. Dengan tema Skipsi Implementassi
pemikiran Maududi dalam dinamika Politik
kontemporer.
[10] Ibid. hal. 20
[11]
Lihat buku Maryam Jamelah Biografi Abu A’la al-maududi , hassil terjemahan Dedi Jamluddin Malikhal 5
sampai 16. Atau lihat Refository UIN.Jkt. ac.
[12] Lihat Islam dan Tata Negara,
Ajaran, Sejarah dan Pemikiran karangan Munawir Sdajali (Jakarta: UI Press,
1993) hal.1-2
[13] Ibd. Hal. 2
[14] Ibid hal. 2
[15] Ibid 3
[16] http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7970/1/MUHAMMAD%20IQBAL-FUF.pdf, di akses Rabu, 18 November
2015.
[17] http://ahmadhariantosilaban.blogspot.co.id/2011/06/pemikiran-politik-al-maududi.html, di akses Rabu, 18 November
2015.
[18] Jhon J. Donohue dan Jhon L. Esposito, Islam Dan Pembaharuan : Ensiklopedi
Masalah-masalah.(dari judul aslinya : Islam Intransition ; Muslim Perspective),
PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hlm. 464.
[19]
Tulisan ini penulis kutip dari esay Amien rais terkait Neagara Islam,
terdapat dalam Blog Anandia. Blogsport.
Pemikiran Amin Rais dan Maududi, di akses pada Rabu, 18 Oktober 2015.
[20] http://ahmadhariantosilaban.blogspot.co.id/2011/06/pemikiran-politik-al-maududi.html, diakses pada Rabu, 18 Novemeber
2015.
[21] Lihat karya Muhammad Anwar, Pokok Pemikiran al-Maududi, (Jakarta:
PT: Raihan Abadi, 2010) hal. 23
[22] Abu al-A’la Maududi, al-Khilafah wa al-mulk, hal. 45 juga
terdapat Pemikiran Politik Islam dari klasik Hingga Indonesia dan kontemporer
karya Muhammad Iqbal hal. 174.
[23] Muhammad Iqbal dan Amin husein
Nasution, Pemikiran Politik Islam ; Dari Masa Klasik Hingga Indonesia
Kontemporer, (Jakarta : Kencana, 2003), hal.,174.
[24] Ibid. 175
[26] Ibid. 178
[27] Ibid 178-179
[28] Ibid 179
[29] http://chaerulfuad.blogspot.co.id/2015/05/pemikiran-politik-abu-al-ala-al-maududi.html, di akses pada tanggal 18
Oktober 2015.
[30] Muhammad Iqbal. Op.ic hal. 180
[31] Din Syamsuddin, Islam
Dan Politik Era Orde Baru, (Jakarta : Logos, 2001), hal.,141.
[32] Ibid. 142
[33] Muhammad Iqbal dan Amin husein
Nasution, Op Cit.,hal.183.
[34]
Muhamadda Iqbal dan Amin Husein Nasution. Op. ic. hal. 184
[35]
Lihat Amin Rais, Pengantar Khilafah dan kerajaan, hal. 31
[36] Muhamadda Iqbal dan Amin Husein
Nasution. Op. ic. Hal. 184-185
[37]
Ibid. 185
[38] Ibid. 186
[39]
Ibid. 188
[40]
Penulis kutip dari http://fadhilahaqiqi.blogspot.co.id/2014/01/abul-ala-al-maududi.html, pada Rabu 18 November 2015.
[41] Roy Jackson, Mawlana
Maududi and Political Islam Authority and the Islamic State, (London:
Routledge), 2011, h. 133-139. Penulis kutip dari internet pada Rabu, 18
November 2015.
[42] Roy Jackson, hal. 160
[43] Ibid. 161
Post a Comment