Belajar dari Bapak Republik
“Barang siapa yang menghendaki kemerdekaan
buat umum, maka ia harus sedia dan ikhlas untuk menderita
kehilangan kemerdekaan diri sendiri” (Tan Malaka).
Itulah
sepenggal kata yang terucap dari bapak republik Indonesia, Ibrahim Datuk Tan
Malaka. Seorang pemuda yang lahir 2 Juni 1897 dari keluarga petani miskin di
wilayah Sumatera Barat. Tan Malaka seorang anak yang cerdas, pemberani dan
berjiwa pemimpin. Ia menghabiskan seluruh usia dalam pergerakan untuk Indonesia merdeka yang diimpikannya.
Tan
Malaka merupakan the founding father yang berjasa memerdekakan
Indonesia. Tetapi tak pernah mencicipi manis kekuasaan. Bahkan mengalami nasib
tragis dengan ditembak mati pasukan Tentara Republik Indonesia di lereng Wilis
tepatnya di Desa Selopanggung, Kabupaten Kediri pada 21 Februari 1949 karena kemelut ideologinya (Harry A. Poeze ).
Selama
20 tahun Tan Malaka hidup dalam persembunyian karena menjadi buronan badan
inteligen Negara Sekutu. Ia mengelilingi Dunia dengan memakai puluhan nama
samaran karena takut identitasnya terbuka. Namun, ironisnya hidupnya bukan mati
di tangan para kaum kolonialis, tetapi
mati di tangan anak bangsa Indonesia yang telah ia perjuangkan kemerdekaannya.
Maka benar ungkapan, Tan Malaka adalah bapak revolusi yang mati di tangan anak
revolusi.
Melihat sederet
peristiwa di atas, penulis merasa bahwa pemikiran Tan Malaka perlu untuk
diketahui oleh generasi muda saat ini. Pemikiran Tan Malaka tak pernah mati
oleh zaman, walaupun rezim Soeharto pada masa orde baru berusaha untuk
menghapus kiprahnya dalam memperjuangkan nasib bangsa. Buku Madilog karya
monumental Datuk Tan Malaka sempat di tarik dari peredaran dan menjadi karya
yang “diharamkan” untuk dibaca pada masa itu.
Relevansi
Gagasan Tan Malaka
Pemikiran Tan Malaka
dulu menjadi topik hangat untuk dibicarakan saat ini. Relevansi gagasannya sangat diperlukan di tengah
kondisi politik yang kacau balau ini. Dekadensi moral para politisi dan
hilangnya ideologi yang murni demi Indonesia adalah sekelumit perilaku bejat
para politisi kita saat ini. Alangkah banyaknya politisi menjadi pemimpin
retrorika tanpa makna dan penuh kebohongan.
Partai politik paskah
reformasi lahir bak jamur di musim hujan, namun sayang seribu kali sayang
kelahirannya justru membuat kegaduhan politik baru. Ideologinya sama dengan
partai lain yaitu berujung pragmatis dan haus kekuasaan. Maka, menjadi suatu
keniscayaan ketika publik menyaksikan seorang politisi bisa dengan mudah
melompat bak katak dari satu partai ke partai lain.
Naas, lembaga politik
tidak memberikan pendidikan kepada rakyat dan membangun masyrakat yang aktif,
tetapi justru masyarakat disuguhkan politik pragtis dengan paksaan menerima money politik ketika ada pemilihan
umum. Maka, tak heran setiap kali pemilu pasti ada istilah serangan pajar, dana
sembako, dan uang pelicin. Lembaga politik seolah berubah menjadi lembaga
transaksional yang diperjal belikan demi kepentiangan kekuasaan.
Lebih lanjut, tingkah
laku para anggota DPR yang jauh dari nilai kebangsaan. Tak sedikit para
politisi dan anggota dewan kita yang terjeblos ke dalam kurungan. Tak sedikit
jua para politisi dan aparatur negara yang berurusan dengan KPK dan akhir
cerita terjerumus di balik jeruji besi penjara. Di tambah lagi, banyak politisi
kita yang menghabiskan uang rakyat atas
nama kunjungan kerja. Tetapi pada aplikasinya alih-alih kunker malah
asyik-asyik liburan.
Hemat penulis, jika kondisi seperti ini terus
berlanjut, maka tak akan mungkin lahir negarawan dan pahlawan revolusi seperti
Tan Malaka. Kita tak bisa berharap lahir para pemimpin yang membela rakyat
kecil. Mustahil lahir para pemimpin sebagai penyambung lidah rakyat jelata.
Oleh karena itu,
kondidi kalut-malut ini tak boleh berkepanjangan. Sudah saatnya kita
merefleksikan warisan sikap budi luhur Tan Malaka. Ada beberapa hal yang bisa
kita ambil pelajaran dari Tan Malaka. Pertama, Tak haus kekuasaan. Pada awal
kemerdekaan, seorang Muhammad Hatta pernah menawarkan kepada beliau untuk masuk
kelingkaran kekuasaan. Tetapi dengan tegas Tan Malaka menolak tawaran tersebut.
Tak hanya itu, dalam suatu
kesempatan Seokarno pernah berwasiat, jika aku mati suatu saat maka serahkan
jabatan sebagai seorang presiden kepada Tan Malaka. Namun, diluar dugaan sampai
ajal menjemputnya Tan Malak tak pernah menduduki manisnya tampuk kekuasaan.
Padahal beliau seorang politisi, pemimpin, intelektual handal.
Kedua, jujur, berani,
ikhlas, dan cerdas. Inilah sosok Tan Malaka dengan keindahan budinya. Ia
berbuat tanpa memikirkan ia akan mendapatkan keuntungan apa. Ia seorang tokoh
pergerakan yang tak pernah lelah untuk merawat cita-cita Indonesi untuk menjadi
bangsa yang berdaulat di mata Internasional.
Selain itu, Tan Malaka
juga seorang yang intelektual cerdas. Bahkan Soekarno terkagum-kagum dengan
karyanya. Sebut saja Menuju Republik Merdeka (1925) yang menjadi cikal-bakal
lahirnya Negara republic Indonesia. Karya ini lahir ketika orang-orang belum
sampai berpikir ke sana. Salah satu lagika karya pamungkas beliau adalah Ma(1943).
Buku ini banya berbicara
**Penulis adalah mahasiswa UIN Jakarta,
aktivis HMI dan penggiat diskusi Forum Pemikir Modren.
Post a Comment