Header Ads

Teori al-Ghazali dalam bidang tasawuf



  
Tarekat

Dalam tasawuf salah satu ajaran yang terpenting adalah tentang Tarekat/ jalan. Tarekat ini merupakan jalan yang harus ditempuh seorang sufi untuk mendekatkan hati kepada Tuhannya. Oleh karena pentingnya tentang tarekat ini, maka Al-ghazali dalam beberapa karyanya membicarakan tentang tarekat itu sendiri. Salah satu yang ia karang yang menekan pentingnya tarekat adalah Ihya ulumuddin.

Dalam buku terseut al-Ghazali membuat gambaran akan jalan yang akan ditempuh seorang yang sedang menuju jalan Allah. Al-ghazali membagi dalam buku tersebut menjadi empat bagian utama, yaitu ibadah, adat, kerusakan-kerusakan, dan keselamatan-keselamatan. dalam empat bab tersebut al-ghazali membaginya kepada dua bagian, yaitu tentang ilmu dzohir dan bathin. Ilmu dzohir adalah ilmu tentang kondisi-kondisi anggota tubuh. Sedangkan ilmu bathin membicarakan tentang perbuatan hati.

Lebih lanjut al-Ghazali ingin orang yang menempuh jalan tarekat itu bisa memahami fase demi fase ajaran tersebut. Dari tingkat awal yang ia seut sebagai ilmu muamalah (dzohir) sampai kepada bagaimana seorang bisa membersihkan hatinya dari dosa, maksiat, iri, dengki (bathin). Dengan mengetahui pembagian tersebut diharapkan seorang samapai kepada derajat Arifin.

Ghazali menjelaskan dalam kitab Ihya ulumudddin seorang yang akan  mencari jalan allah akan menempuh tahap awal yaitu ibadah. Seorang yang sedang menuju jalan allah (salik) akan mengetahui syarat-syarat ibadah sehinnga akan menjaganya dan menjauhkannya dari rintangan-rintangannya. Dalam bagian adat dalam kehidupan seorang akan mengetahui sesuatau yang dibutuhkannya sehingga ia akan mengambil dengan adab-adab, syariat, dan yang tak dibutuhkannya ia akan menolaknya. Dalam bagian tentang tentang kerusakan-kerusakan aia menjelaskan, salik akan mengetahui jalan keseluruhan rintangan-rintangan yang akan mencegahnya dari jalan menuju allah.

Dan bahwa salah satu penyebab seorang jauh dari Allah adalah sifat tercela, dan melalui ini seorang akan tahu cara mencegahnya. Dan dalam buku tentang buku tentang keselamatan (munziyat) salik  akan mengetahui sifat-sifat terpuji. Melalui itu ia akan jadikan sebagai pengganti sifat-sifat tercela. Asal dari semua itu adalah kecintaan kepada Allah dalam hati, dan menggugurkan kecintaan kepada dunia , sehingga kuatlah kehendak ingin menuju Allah dan menjadikan niat seorang salik akan lurus. Hal ini semua tidak akan dapat dicapai kecuali kecuali denagan pa yang telah aku katakana tadi. [1]     
Al-ghazali menggambarkan jiwa yang berakhlak menggambarkan sebagai obat hat, yang harus di dahulukan sebelum mengobati badan.  Sebab penaykit yang dialami oleh badan , hanya akan mendatangkan kerusakan hidup. Sedangkan penyakit-penyakit hati akan mendatangkan kerusaan selama-lamanya pada diri manusia. [2]

Al-Ghazali juga menunjukkan mekanisme-mekanisme amaliah agar mampu olah diri (riyadiyah) para sufi. Salah satu adalah keharusan seorang  salik untuk mengambil seorang guru (syekh).  Demikianlah seorang murid membutuhkan seorang syekh dan guru bisa dijadikan sebagai suri tauladan untuk menunjukakn kepadanya jalan yang benar. Sebab jalan agama adalah samar, sedangkan jalan setan adalah sangat banyak .seorang yang tidak mempunyai syekh yang bisa diteladani, akan diarahkan setan menuju jalannya.[3]

Selain itu al-Ghazali menyatakan seorang seorang salik dan guru untuk melakukan pengasingan diri, lapar, dan tak tidur malam. Demikian itu agar memperbaiki hatinya untuk bisa bertemu dengan tuhannya.manfaat dari mengasingkan diri adalah untuk mengosogkan hati dari kesibukan-kesibukan dunia yang merupakan penghalang utama dalam jalan kesufian. Maka tidak ada ada jalan bagi orang yang ingin mendekatkan diri kepada  Allah selain mengosongkan diri dari kesibukan-kesibukan dunia.


Lebih lanjut al-Ghazali mengatakan jalan mengosongkan diri adalah referensikan dari apa yang pernah yang pernah dilakukan oleh Rasullah pada saat di gua Hira. Sedangkan, untuk membisu mempunyai manfaat bagi salik.  Sebab berbicara senantiasa menyibukkan hati. Oleh krena itu al-Ghazali mengatakan ;”Menyerbukkan akal, mendatangkan wara’, mengajarkan ketakwaan,”. Namun yang dimaksud oleh al-Ghazali membisu bukan lah tak berbicara sama sekali. Akan tetapi lebih berkata sesuai dengan tuntutan yang tak bisa dihindari oleh muridnya.[4]

Pemikiran  tasawuf dari al-Ghazali banyak mempengaruhi oleh para ahli suluk sesudahnya banyak terpengaruh dengan aliran-aliran suluk yang telah diletakkan oleh al-Ghazali pada permasalahan ini. Termasuk dengan aliran tasawuf yang berkembang di nusantara banyak dipengaruhi oleh  teori ajaran tasawuf al-Ghazali.
2.      Makrifah

Salah satu ajaran yang terpenting dalam tasawuf adalah makrifah. Akan tetapi konsep makrifah al-Ghazali berbeda dengan kebanyakan sufi-sufi sebelumnya. Demikian itu karena ia menjadikan tasawuf sebagai jalan pengetahuan kepada Tuhan. Al-ghazali beranggapan bahwa mekanisme pengetahuan para sufi adalah hati bukan panca indra dan akal. Yng dimaksud hati disini bukanlah segumpal daging yang diketahui oleh orang-orang , dan berada di sisi kiri dada manusia.namun hati adalah kelembutan rohani tuhan yang tak lain merupakan hakikat manusia. Terkadang terdapat hubungan antara hati rohani tersebut dengan hati jasmani. Namun, akal manusia  merasa bingung menemukan hubungan antara keduanya.[5]

Al-ghazali beranggapan bahwa pengetahuan terhadap allah adalah sebuah fitrah manusia. Pengetahuan tersebut telah memusat dalam hati. Hati merupakan tempat amanah yang telah Allah berikan kepadanya, yaitu berupa pengetahuan dan tauhid. Tampak jelas sekali dalam hal ini metode yang digunakan olehh al-Ghazali berbeda dengan ahli filsafat dan kalam. Al-Ghazali mengatakan bahwa metode yang digunakan oleh para sufi adalah kasf.

Metode yang digunakan oleh para sufi yang disebut dengan kasf tadi adalah sebuah metode intuisi, yaitu pencapaian perasaan secara langsung, bereda dengan pencapaian indera secara langsung , dan pencapaian akal secara langsug pula. Thusi memberikan keterangan tentang kasf dengan mengatakan: “Kafs adalah kejelasan tentang apa yang telah tersembunyi dan pemahaman, kemudian pemahaman tersebut terkuak bagi seorang hamba, seolah-olah ai melihatnya dengan mata kepala.[6]
3.      Fana dalam Tauhid

Istilah fana merupakan salah satu maqam tertinggi dalam ilmu tasawuf. Ketika seorang sudah fana maka tak ada yang bisa menghalangi untuk mahabbah kepada Tuhan. Terkait dengan fana al-Ghazali memberikan keterangan bahwa ia tak melihat selain Allah, dan tak mengetahui selain dia pula, taka da yang wujud selain dia pula.  Dalam kondisi seperti ini seseorang tak akan melihay sesuatu yang dikreasikan, kecuali melihat didalamnya zat  yang mengkreasikannya. Sehingga ia linglung karena kreasi-kreasi tersebut.

Kondisinya adalah bahwa” Ia adalah orang yang mengesakan Allah. Tak melihat selain kepada-Nya. Bahkan tidak melihat dirinya sendiri, dan tinjaun dirinya sendiri. Namun dari tinjaun  sebagai hamba Allah. Inilah yang dikatakan bahwa ia telah sirna  (fana)dalam keesaan (tauhid) dan ia telah sirna dari dirinya sendiri. Dan inilah yang dikatakan adalam perkataan seseorang .”Kami dengan diri kami, telah sirna dari diri kami, sehingga kami ada tanpa diri kami.”[7]

Imam al-ghazali beranggapan bahwa orang yang sampai kepada tingkat Mukhasyafah telah masuk ke dalam hakikat , menagrungi pantai usul amal, menyatu kesucian dan keesaan mencapai kemurnian dan keikhlasan , taka da yang tersisa didalamnya, bahkan kemanusiaannya pun telah terbakara. Perhatiannya terhadap sifat-sifat manusia telah sirna secara keseluruhan. Yag dimaksud fana bukanlah sirna jasadnya, namun fana hatinya. Yang dimaksud dengan hati bukanlah segumpal daging dan darah . namun sebuah inti sari yang lembut.

4.      Kebahagiaan

Konsep tentang kebahagian seorang sufi merupakan  tujuan terakhir jalan kesufian. Ini merupakan buah dari pengetahuan terhadap Allah. Dalam kitab Ihya ulumiddin ia banyak sekali berbicara tentang kebahagiaan itu sendiri.

Al-Ghazaliberanggapan bahwa jalan menuju kebahagiaan adalah ilmu dan mengamalkannya. Oleh karena itu ia menyatakan, saat melihat ilmu aku melihat sebuah kenikmatan pada dirinya, dicari karenanya , merupakan perantara menuju akhirat dan kebahagiannya, alat untuk mendekatkan diri kepadanya. Tak takkan bisa sampai kepadanya kecuali deengannya.




[1] Terdapat dalam Kitab Ihya ulumiddin sebagaimana yang dikutip oleh Abu wafa’ al-ghanami yang kemudian diterjemahkan olehSubkhan anshori dalam buku Tasawuf Islam Telaah History dan perkembangannya. Hal. 206
[2] Abu Wafa, al-ghanimi al-Taftazani, Tasawuf Islam Telaah History dan perkembangannya. Terj. Subkhan Anshori, (Gaya Media Pratama: Jakarta) hal. 207
[3] Ihya ulumiddin, sebagaiman yang dikutip oleh Abu Wafa daklam buku Tasawuf History dan perkembangannnya,. Hal 207.
[4] Ibid, 208
[5]  Ibid, 210
[6] Abu Wafa, al-ghanimi al-Taftazani, Tasawuf Islam Telaah History dan perkembangannya. Terj. Subkhan Anshori, (Gaya Media Pratama: Jakarta) hal. 211
[7]  Ibid. 215

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.