Kota Penuh Bekas Luka
“Bergegas
meninggalkan kota yang penuh bahagia sekaligus bekas luka. Seperti dahulu,
kembali memungut rasa yang mengabu dan harapan berdebu. Aku akan kembali, Mama,
dengan wajah dan tubuh yang (nyaris) sama.”
***
Mortir1
dan stemper2 masih utuh di atas meja. Beberapa tablet sudah
disiapkan di atas kertas perkamen beserta Lactosum3 dan dua
belas kapsul kosong. Blender di apotek rusak beberapa hari yang lalu. Menggerus
tablet dalam mortir dengan stemper adalah hal yang biasa Nurma lakukan saat
praktikum di sekolah farmasi dulu. Tetapi, kali ini, ia seperti tak bisa
melakukannya lagi. Tangannya membatu. Cara memasukkan serbuk ke dalam kapsul
dengan manual pun seolah lenyap dari otaknya. Ia termangu, membiarkan
obat-obatan yang harus diracik tergeletak begitu saja.
Setiap
hari Nurma harus bangun pagi dan berangkat ke apotek. Bergiat dengan rutinitas
yang tak menghasilkan apa-apa kecuali kelelahan yang amat sangat. Tubuhnya
dipaksa bergerak demi menghasilkan uang yang tak seberapa. Terus menerus
meracik obat hingga tangannya tak pernah lagi menyentuh alat-alat dapur. Ia
teringat sop ayam buatannya yang diberikan kepada para tetangga. Tetapi
semuanya hanya menjadi kenangan. Waktunya tersisa hanya untuk mengurusi obat
saja.
Ia
masih duduk termenung memandangi botol-botol obat yang berlesakan di etalase.
Bau obat kerap membuatnya mual, kemarahan dokter, kesalahan dosis, omelan para
pasien, segalanya kian memperkeruh hidupnya. Gelar Asisten Apoteker yang
disandangnya memang membatasinya dari para buruh lain. Tapi nyatanya, resiko
pekerjaannya terlalu berat untuk dijalankan. Kepalanya pening menghitung dosis
obat yang berbeda untuk setiap pasien. Setiap hari ia harus bertaruh dengan
nyawa manusia.
Di
saat seperti ini, ingatannya selalu tertuju pada Ardilla, sang adik yang
menetap di kota kelahirannya bersama sang ibu, Bu Mawar. Dengan segala
keterbatasan yang ia punya, ia tak bisa memberikan perhatian yang lebih pada
Ardilla.
“Belajarlah
yang rajin, Dik. Supaya tidak jadi buruh.” Isi pesan terakhirnya pada Ardilla
saat pulang ke kotanya setengah tahun yang lalu.
Ardilla
hanya mengangguk tanpa mengerti apa yang diucapkan kakaknya.
“Kenapa
kakak harus bekerja di Jakarta?” Dengan wajah polos Ardilla menatap penuh
harap.
“Untuk
biaya sekolahmu, Dik. Untuk siapa lagi kakak bekerja jika bukan untukmu?” Ia
membelai rambut adiknya. Tanda rasa sayang yang amat mendalam.
Ardilla
hanya mengangguk dan membatin, untuk apa ia belajar dengan giat kalau hanya
membebani kakaknya saja?
Tetapi,
Nurma memang selalu melakukan yang terbaik untuk Ardilla. Apapun, apapun akan
ia lakukan jika mampu membuat Ardilla dan Bu Mawar bahagia
“Jakarta
hanya kota tua yang akan segera binasa, Ma.” Ucapnya lembut pada sang mama,
sebelum kembali ke Jakarta.
“Tidak,
Nurma. Kota itu menopang hidupmu. Sayangilah Jakarta, sebab dari sanalah kau
mampu membangun mimpimu dari nol.” Bu Mawar memegang kedua bahu anak sulungnya
dengan gemetar.
“Mimpi
untuk tetap diperbudak para penguasa, Ma?” Nurma menghempaskan tangan Bu Mawar
dan menjauh.
Malam
itu, segala harapan benar-benar luruh. Percakapan berakhir dengan tangis
panjang Bu Mawar di dalam kamarnya. Betapa tidak, wanita paruh baya itu kembali
teringat suaminya yang memang berasal dari keluarga kaya-raya, kasta para
penguasa. Lelaki nomor satu dalam hidupnya yang meninggalkan keluarga hanya
karena seorang gadis muda dengan senyum mempesona. Bu Mawar malu pada seluruh
warga di kotanya. Suami yang meninggalkannya begitu saja—tanpa menyisakan
sedikitpun harta dan tanggung jawab
menjadi
aib yang begitu besar untuknya.
Dalam
hatinya, Bu Mawar amat sangat menginginkan Nurma berada di rumah saja. Tapi apa
daya, omongan tetangga dan kondisi hatinya tak bisa diterima. Sungguh, Bu Mawar
tak pernah sedikit pun berpikir untuk menyerah di tengah gunjingan yang
menggema dimana-mana. Ia hanya ingin bertahan hidup, sama dengan para janda
lain di kotanya. Hanya saja cara yang diambilnya berbeda dari para janda lain.
Jauh di lubuk hatinya, ia menginginkan kemandirian Nurma tumbuh. Meski ia tahu,
betapa sulitnya Nurma membangun kedewasaannya dalam kondisi yang amat
memprihatinkan. Bagi Bu Mawar, melepas Nurma adalah satu-satunya cara.
“Papa
telah pergi menggapai kebahagiaan baru tanpa kita.” Ujar Nurma suatu ketika,
pada Ardilla yang amat merindukan papanya.
Ardilla
tak pernah mengerti kenapa Pak Surya meninggalkan mereka. Bu Mawar hanya
menjelaskan bahwa papanya sudah bahagia. Giliran mereka-lah yang harus mencapai
kebahagiaan masing-masing: entah bagaimana caranya. Di usianya yang baru
menginjak lima tahun, Ardilla tentu tak mengerti kondisi yang dialami
keluarganya. Ia tak tahu—jauh di depan jalan yang akan ia lalui—sebuah batu
besar kasat mata menghadang dengan gagahnya. Dan Nurma telah mengerti benar
bagaimana batu itu berhasil menjauhkannya dengan kebahagiaan.
“Nurma
bisa bekerja di kota ini, Ma. Masih banyak apotek yang mau menerima. Meski
gajinya memang kecil.” Pinta Nurma pada Bu Mawar dengan lemah lembut.
“Lalu
bagaimana dengan adikmu? Belum lagi pamanmu yang ingin mempekerjakanmu sebagai
pembantu. Kau mau?” Bu Mawar kembali putus asa.
Sejak
ditinggal pergi suaminya, semua kebutuhan keluarga memang ditanggung Pak
Dirgan, pamannya, adik sang papa. Namun, apakah kebaikan memang harus selalu
dibalas dengan pengorbanan? Berarti selama ini Pak Dirgan berpamrih menolong
Nurma dan keluarganya? Entahlah, tak seorang pun dapat menjawabnya. Nurma,
ataupun Bu Mawar dan Ardilla, masih belum sembuh benar dari segenap luka di
kehidupan mereka.
Nurma
masih menatap mortir dan stemper di atas meja. Pikirannya jauh mengenang kota
kelahirannya. Dalam kantong bajunya hanya tersisa selembar uang seratus ribu
rupiah. Tidak cukup untuk ongkos pulang, apalagi untuk diberikan pada
keluarganya. Ia tak punya tabungan lagi. Satu-satunya cara agar ia bisa pulang
adalah dengan mengambil lembur minimal tiga hari dalam seminggu. Uangnya bisa
ia sisihkan untuk membayar sekolah Ardilla. Tetapi, ia juga harus berpuasa
selama sebulan penuh, agar ia hanya makan sekali sehari. Sisa uang makannya
bisa ia gunakan untuk kebutuhan selama pulang nanti. Tetapi Nurma masih harus
bersabar. Ia mesti menunggu giliran libur dengan karyawan lain. Sementara itu,
kerinduan akan kotanya kian membuncah di dalam dada.
Kotanya
adalah kota paling ramah yang pernah ada. Nurma tak pernah menemukan kota yang
lebih tentram ketimbang kota kelahirannya. Tak ada pelacur yang mabuk di tepi
jalan saat dini hari. Di sepanjang trotoar, tertata rapih tanaman hias di dalam
pot berbentuk kotak. Suara adzan yang berselingan dari surau satu ke surau
lainnya, ayam yang selalu berkokok tiap pagi tiba, dan capung-capung yang
beterbangan di kebun belakang rumahnya. Untuk apa ia terus-terusan bergulat
dengan obat jika seluruh kehidupannya terenggut tanpa jeda? Bahkan sampai tak
bisa menemui keluarganya. Jakarta memang menyumbat lukanya, namun berhasil
membuka luka yang lainnya. Mata Nurma memerah, tak kuat menahan lara. Sungguh,
Nurma masih merindukan aroma tanah kelahirannya.
Jika
bukan permintaan mamanya, jika bukan untuk biaya sekolah adiknya, jika bukan
untuk menghindar dari orang-orang yang menghina keluarganya, Nurma sama sekali
tak ingin berada di Jakarta.
Di
kota kelahirannya ia dikucilkan. Di Jakarta ia kini terasingkan. Keraguan
menyergap batinnya. Nurma dilanda kebingungan penuh. Menetap di Jakarta hanya
menghabiskan waktunya. Di kotanya, ia akan membuka bekas luka: pilihan yang
sama-sama buta untuk dirinya. Ia asing pada keinginannya. Ia menjadi asing pada
ibunya. Ia merasa begitu asing berada di Jakarta. Betapa gelisah Nurma
dibuatnya.
Nurma
ingat saat sekolah dulu. Ketika ia ditanya perihal cita-cita oleh gurunya, ia
menjawab ingin menjadi presiden wanita. Tetapi, keinginan itu menjadi sangat
tak mungkin sekarang. Jangankan untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi,
untuk mengisi perutnya saja, Nurma harus berpikir ekstra hemat. Belum untuk
membayar uang kost dan kebutuhan sehari-hari. Ia tak bisa menyalahkan siapapun
kecuali dirinya sendiri. Papanya memang bersalah. Tapi tak mungkin baginya
menagih kembali tanggung jawab sebagai orang tua.
Pak
Surya amat susah dihubungi. Dulu saat Nurma dan Ardilla masih kecil, mereka hanya
bertemu papanya sebelum berangkat sekolah dan sesaat sebelum mereka tidur di
malam hari. Dulu, Pak Surya adalah pejabat penting di kota kelahirannya. Saat
dipindahkan ke Jakarta, saat itu pula ia mengkhianati keluarga. Meski sama-sama
berada di Jakarta, Nurma tak pernah berpikir untuk bertemu dengan papanya. Tak
ada lagi yang perlu dituntut dari sosok penguasa yang menghancurkan hidupnya.
Nurma hanya bisa menghela napas. Menelan masa lalu yang kelam dan bersiap
menyongsong kehidupan di kemudian hari.
Mortir
dan stemper masih utuh di atas meja. Nurma melongok ke ruang tunggu dan
menemukan begitu banyak pasien yang antri. Sudah dipastikan takkan ada waktu
untuk istirahat hari ini. Nurma berbalik arah dan sekali lagi menatap kosong ke
arah mortir dan stemper di atas meja. Isi kepalanya mengabur ke mana-mana.
Tangannya bergerak sendiri meracik obat yang telah disiapkan di atas kertas
perkamen. Dengan Lactosum dan beberapa tablet, ia menggerus dengan khusyuk.
Seperti menggerus keinginannya untuk kembali ke kota yang penuh bekas luka…
***
1 Mortir : Semacam wadah berbentuk mangkuk kecil untuk menggerus
obat.
2 Stemper : Sejenis alu untuk
menggerus obat dalam mortir.
3 Lactosum : Zat pemanis alami
untuk mengurangi rasa pahit dalam obat.
Post a Comment