Header Ads

Tantangan Komplit Indonesia ke Depan




Tahun 2016 telah memasuki bulan kedua (Februari). Tahun ini merupakan tantangan bagi Indonesia untuk mewujudkan cita-cita sebagai bangsa yang bermartabat dihadapan bangsa internasional. Tantangan terbesar bagi pemerintah Indonesia lahir dari bidang politk, sosial, dan ekonomi.

Di bidang politik, peristiwa  kegaduhan demi kegaduhan terus mewarnai perpolitikan dalam negeri. Pertama, Kekonyolan politik terjadi antara presiden Jokowi dan partai pendukung utamanya, yakni  Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Partai berlambang kepala banteng ini merupakan kendaraan utama Jokowi dalam mencapai ambisi politik, baik ketika maju sebagai Walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta, maupun menjadi Presiden Republik Indonesia.

Namun, hubungan antara PDIP dan Jokowi semakin hari terlihat semakin renggang. Setidaknya terlihat jelas pada saat Kongres PDI-P di Bali Beach hotel, Sanur, Bali 9 April 2015. Jokowi tak disambut laiknya seorang presiden justru berjalan di belakang Ketua umum, Megawati.  Tindakan yang dilakukan dalam kongres tersebut menyalahi protokoler penghormatan kepada kepala negara, yang seharusnya diberikan PDI-P kepada Jokowi.

Bukan hanya itu, ketika sang ibu ketua umum  ketika menyampaikan pidatonya yang disaksikan oleh public,  Jokowi menjadi lahan kritikan pedas. Tuduhan telah lari dari nilai perjuangan partai yang tertera dalam Nawacita disemarakkan kepada Jokowi. Jauh sebelum itu, beberapa kader PDI-P juga memberikan kritikan pedas kepada Jokowi. Rieke Diah Pitaloka, sebagai tim kampanye lalu, menyebut dihadapan buruh ketika aksi massa bahwa telah menyesal mengkampanyekan kepada para buruh untuk memilih Jokowi pada Pilpres lalu. Begitu juga dengan Benni Pasaribu anggota DPR, menyesalkan beberapa kebijakan-kebijakan yang  diambil Jokowi, ia pun mempertanyakan eksistensi Jokowi.

Kasus pun berlanjut, politisi PDI-P dalam beberapa kesempatan mendesak Jokowi untuk mencopot kadernya di Istana negara. Bahkan, setelah reshuffle beberapa bulan lalu  rona ketidakpuasan kepada Jokowi semakin terlihat. upaya untuk mencopot Rini Soemarno misalnya diupayakan melalui rekomendasi Pansus Pelindo II. Dalam draf isi tersebut tertuang desakan agar presiden mencopot R.J. Lino dari Jabatannya sebagai Direktur Utama PT. Pelindo dan Rini dari posisinya sebagai Menteri BUMN.

Tak tanggung-tanggung anggota DPR asal PDIP Masinnton pun  mendesak seolah memberikan sinyal akan mengultimatum presiden agar tuntutan dilaksanakan. Jika tidak, DPR akan mengeluarkan Hak Menyatakan Pendapat (HMP). Dalam Undang-Undang,  HMP hanya akan berakhir dengan keluarnya pemakzulan atau impeachment terhadap Presiden Jokowi.

Sikap yang ditunjukkan PDI-P terhadap Jokowi bisa dikatakan  aneh dan konyol. Jika merujuk kepada pendapat pengamat politik Ikrar Nusa Bakti, bahwa dalam sistem presidensial, partai pendukung pemerintah adalah aktor utama utama untuk mendukung penuh tanpa reserve kepada presiden yang berasal dari partainya. Di dalam parlementer pun seorang perdana menteri akan terus di dukung oleh partainya.

Kedua, penghujung tahun lalu, negeri ini dihebohkan dengan kasus  “papa minta saham” oleh Ketua DPR, Setya Novanto dan seorang pengusaha minyak, Riza Khalid. Kasus pencatutan nama presiden dan wakil presiden  untuk meminta saham kepada PT. Freeport Indonesia. Kasus ini sempat membuat aura politik dalam negeri menjadi panas. Aksi serang antara  Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KMP) terjadi begitu massif. Bahkan, dalam sidang Mahkamah Kehormatan DPR (MKD) terdapat perdebatan sengit antara anggota MKD terkait mekanisme sidang. Walau pun berakhir dengan pengunduran diri Novanto dari kursi kepemimpinan, tanpa ada proses lebih lanjut.

Terkait kasus persengkongkolan jahat yang konon melibatkan Menko Polhukam, Luhut Binsar Mahkamah Agung pun turut  ambil bagian. Riza Khalid yang mangkal dari pemanggilan sebagai saksi dinyatakan buron. Strategi jitu sebagai persengkolan jahat untuk merugikan negara dialamatkan kepada novanto untuk bisa dibawa ke meja hijau. Alat bukti dan saksi didatangkan untuk membawanya ke balik jeruji besi. Walau pun sejak awal presiden tak mau memperpanjang kasus dengan melaporkan kepada kepolisian. Namun pandangan lain ternyata dimiliki jaksa agung.

Ketiga, konflik internal partai Golkar dan PPP masih tanpa ujung. Perseteruan politik tanpa akhir antar elit menjadi racun tanpa penawar. Para elit seolah menumpuk saham untuk keruntuhan partai. Demikian itu, memperburuk kondisi partai. Sayang, indikasi kearah tersebut semakin tampak.

Di Golkar sendiri partai kini telah hancur berkeping-keping. Jika terdahulu hanya dua poros yakni, hasil Munas Jakarta dan Bali. Justru kini, beberapa kader yang mengikat diri dalam Poros Muda Golkar mengambil langkah bersafari politik mengunjungi para senior untuk meredam konflik. Langkah yang diambil pun mengajukan agar diadakan sidang luar biasa dan mengambil keputusan.

Sikap fesimistis justru lebih dominan dalam penyelesaian konflik internal Golkar. Setelah SK kepengurusan Jakarta dicabut oleh Menteri Hukum dan Ham, desakan dari Munas Bali mengemuka agar SK Munas Bali  yang diterbitkan karena menganggap paling berhak  dan sesuai keputusan Penagadilan Negeri Jakarta Selatan. Tapi pandangan lain diambil para Mahkamah Partai, setelah berdiskusi antar anggota MP hasil keputusan menyatakan MP-lah yang mempunyai legal standing hukum untuk mengurus partai.

Otomatis, kebijakan ini ditentang  habis kubu Munas Bali. Aksi serang pun tak dapat dihilangkan. Maka, tak salah ketika Akbar Tandjung ketika mengatakan bahwa konflik dualisme kepemimpinan dalam tubuh Golkar tak mudah hilang karena seolah sudah mendarah daging. Imbasnya, pada Pilkada  serentak 9 Desember lalu pencapaian Golkar meleset jauh dari target. Dari 116 pertarungan pertarungan Pilkada hanya 18 persen kemenangan.

Tak jauh beda dengan PPP, pertarungan  dualisme kubu masih belum ada titik temu. Kata Islah antaramasih jauh, bak panggang jauh dari api. Sikap curiga mencurigai antar anggota partai, adanya perpecahan fraksi dan beda kebijakan politik semakin membuat partai kehilangan visinya.

Tantangan juga lahir dari kondisi sosial. Belakangan isu kekerasan atasnama agama marak terjadi. Aksi terorisme diperkasai oleh ISIS semakin gencar membuat teror yang merusak kenyamanan. Keresahan dan konflik sosial yang justru berakar dari paham keagamaan yang keliru. Belum lupa dalam ingatan kita, ketika ledakan bom terjadi di Sarinah, Thamrin, Jakarta yang telah menewaskan tujuh orang.

Padahal di Indonesia sejak awal masyarakatnya  sangat plural dari segi budaya, suku, dan agama.  Meskinya ini tak dijadikan lahan untuk bertikai dan menanamkan ideologi yang berbahaya. Kalau pun ada isu kekerasan atasnama agama, jika ditelisik jauh lebih dalam kondisi itu tak akan lepas dari pengaruh politik dan ekonomi.

Dunia sudah plural, jika hanya karena perbedaan keyakinan, agama, dan kepercyaan lalu menimbulkan konflik  sosial, saya kita telah tergolong manusia primitif yang tak punya adab. Ekspresi keagamaan yang akan menonjol adalah konflik dan ritual bukan membangun keberadaban yang mencerdaskan dan mensejahterakan pemeluk keyakinan keagamaan.

Agama merupakan sumber perdamaian dan kesejahteraan, bukan mesin perang. Penulis akui, kita tak bisa  mengekang pemikiran dan keyakinan seseorang. Tetapi paham keberagaman yang menghalalkan darah orang yang tak berdosa tak bisa dibenarkan dalam hal apa pun.

Tantangan dalam bidang perekonomian nasional juga tak kalah berat. Demokrasi dan ekonomi di Indonesia belum berjalan seimbang. Kebebasan politik, mengeluarkan pendapat, dan pers, telah mengalami peningkatan. Tapi dari segi ekonomi masih tergolong rendah. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi justru membawa kesenjangan dan ketidakadilan.
  
Asas bangunan ekonomi Indonesia tak jauh beda dengan Amerika Serikat yakni liberal. Ekonomi yang bergerak hanya ekonomi modern seperti sektor tranfortasi, komunikasi, dan properti. Sedangkan perekonomian  dari sektor pedesaan seperti pertanian dan perikanan tak mendapat perhatian. Maka, tak ayal  peluang terjadinya kesenjangan sosial begitu terbuka lebar.

Data menunjukkan kesenjangan ekonomi yang terjadi saat ni cukup tinggi, yakni hampir  0,42. Artinya, tingkat kesenjangan bertambah. Kondisi seperti ini mengakibatkan penguasaan ekonomi di kelompok terkecil yang mempunyai modal dan investasi tinggi. Di tambah lagi perkembangan ekonomi hanya berpusat di Pusat. Tingginya ketimpangan ekonomi itu, karena tak diikuti oleh desentralisasi ekonomi.

Presiden Jokowi harus tepat mengambil  langkah politik dan arah kebijakan pemerintahan ke depan di tengah makin ruwetnya persoalan bangsa. Maneuver politik bisa saja terjadi setiap saat. Walau pun harus diakui Jokowi merasa seperti berada di atas angina, karena beberapa partai opisisi telah mengubah haluan partai ke arah koalisi seperti PAN, PPP, dan setidaknya golkar di bawah komando ARB semakin lunak kepada Jokowi.

Tetapi satu hal yang paling perlu, dibutuhkan langkah prepentif  dalam bidang ekonomi dan sosial guna mensejahterakan rakyat. Kembali kepada Nawacita dan UU Dasar adalah salah upaya yang harus ditempuh Jokowi.

**Penulis adalah            

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.