Kota Penuh Tragis
Malam ini begitu gelap. Tak ada cahaya
bintang. Rembulan pun seolah enggan muncul dari balik awan hitam. Momok cuaca
yang tak bersahabat turut mengambil peran. Gemuruh petir bersahutan. Ancaman hujan dan banjir membayangi. Malang nian
nasib. Hukum alam kini berlaku. Sepi dan senyap. Seolah dunia tak ada arti.
Syahdan, seorang muda, seorang pelajar yang
hidup ditimpa asa. Ia datang dari persimpangan jalan. Tetesan air mata biru
menyertai kedatangannya. Sebuah motor online abad melenium pada 21 Februari
2017 malam datang mengantarnya. Para pelajar lain yang punya nurani mengantarnya
ke sekretariat. Bingung, mondar-mandir tanpa arah, tak tahu alamat tujuan
mengetuk hati mereka untu membantu. Sempat menunggu, tapi tak lama setelah itu
kami berdua bertemu.
Ia tak berkeluarga. Orang tuanya jauh di
pelosok pulau Sumatera. Ia tak punya
rumah tempat tinggal. Tunawisma begitu negara menyebutnya. Gelandangan juga
istilah yang begitu cocok. Sejak kecil telah ditimpa penderitaan. Makan pagi sampai
malam sudah biasa. Nasi berlauk garam itu makanan sehari-hari. Jangankan
pakaian mewah, baju koko buat salat jumat pun hasil pemberian tetangga.
Ia datang ke Jakarta maksud hati mengubah
nasib. Sejuta mimpi dan harapan digenggam. Dalam ekspektasi, setiap ibu pasti
menyayangi anaknya. Tak ada ibu yang tak menyayangi buah hatinya. Begitu pun ibukota negara, pasti menyayangi anaknya yang
terpisah. Datang jauh dari arah Barat. Daerah antah-berantah. Begitu pikirnya.
Sayang, Kontras dengan angan. Di Jakarta ia
terpaksa jadi gelandangan. “Saya tidur di bawah flyover. Tikar kardus jadi alas
kalo tidur. Makan kadang dari tempat sampah. Sisa makan orang yang dibuang,”
ceritanya malam ini membuka obrolan. Dekat Stasiun Palmerah biasa ia bercokol.
Bukan itu saja, penderitaan berbiak tatkala
Satpol PP datang Razia. Suatu pagi menjelang siang, tiga bulan silam darah
memuncret dari kepalanya. Terpaksa
dijahit hingga lima jahitan terkena tonfa. Padahal ia hanya memulung sampah
plastik dekat taman Seropati nan indah itu. Pernah jua suatu waktu juga,
giliran Satpam perumahan mewah yang menghardiknya. Sumpah serapah pun keluar. Padahal
ia hanya memungut sisa makanan di tong sampah dikomplek itu. Rasa lapar dan
dahaga yang membuatnya melakukan itu. Alasan
keamanan dan ketertiban kota menjadi alasan kesewenang-wenangan dan disisihkan.
Dalam sanubari ia menangis. Alangkah kejamnya Ibukota. Terkadang juga
terbesit dalam kalbu, haruskah kami mati?.
Salahkah kami jadi orang tak berpunya. Ini takdir. Sekiranya bisa mengubah
takdir. Hati pun ingin rasanya lahir dari golongan berpunya. Rumah bertinggat.
Mobil mengkilat. Uang berlipat-lipat. Istri pun mengkilat. Tapi inilah nasib.
Tak adil rasanya mengupat dalam hati.
Kalo sudah begini keadaan, —Yangtot biasa
ia disapa—hanya bisa menengadah kelangit. Sembari mengangkat tangan, bibir pun burucap: Tuhan sadarkan mereka. Tanpa kehadiran kaum papa, dunia akan hampar.
Pahala dermawan tak dijumpai. Ayat suci agama pun tak akan sempurna. Tak aka
nada istilah kaya dan miskin. “Hanya itu yang bisa dilakukan,” rintihnya dengan
deraian air mata yang terus menetes membasahi bumi.
Merinding bulu roma saya mendengar kisah
tragis itu. Mental dan emosi saya coba kendalikan, agar perjalanan hidup sahabat baru ini bisa direkam begitu nyata. Terkadang,
di tengah stori saya mempersilahkan Yanglek untuk mencicipi nasi goreng
Fathullah yang begitu nikmat. Sayang, ia belum mau melirik. Semangat untuk
berkisah mengalahkan perut keroncongan. “Paling penting kamu harus dengar
cerita lanjutan ini. Bila saya mati. Beban hidup untuk berbagi kisah telah
usai,” tegasnya.
Strori pun berlanjut. Semilir angin yang
membawa rasa kantuk kami abaikan. Mata merah diiringi “nguapan” sebagai isyarat
tidur jua kami tahan. Karpet merah yang empuk buat berbaring pun kami lalaikan.
Kisah ini harus tuntas. Itu tekad malam ini.
Kisah hidup kian dramatis pun berlalu
lalang dalam khayalan. Penderitaan itu kian akrab dan terasa. Cerita ini
disuguhkan penuh emosi. Di hari Rabu tahun silam, ia sedang menjalankan profesi
sebagai pemulung. Plastik minuman bekas ia pungut. Terik mentari ia taklukkan. Sudah
satu karung goni ia kumpulkan. Tiba-tiba seorang pria sesama profesi datang
tergesa-gesa.”Ayo ke sana Yanglek, banyak barang bekas. Ada penggusuran,”
begitu pemulung itu mengajak.
Tak lama berselang, ia menyaksikan bangunan
rumah warga dipaksa roboh. Alat berat ratusan ton dikerahkan. Jari-jari keras
dari baja membuat atap rumah terpaksa
jatuh. Dinding bangunan pun sama apesnya. Roboh. Tak ada satu pun yang bertahan.
Semua rata dengan tanah. Suara tangis dari empunya rumah begitu kentara. Ibu,
ayah, tetangga, kerabat turut hadir. Lebih parah anak-anak mereka pun melihat
pemandangan keji ini. Ah, kemana Komnas anak? Khayal Yanglek.
Namun, khayalan itu ia tepis. Para pemangku
kebijakan hadir di tempat tanpa rasa berdosa. Pakaian ala Pegawai negeri begitu
khas. Polisi penjaga masyarakat pun turut andil. Satpol PP jua ambil peran. Di
sudut pojok kanan, baju loreng ala tantara begitu jelas. Mereka jua tak mampu
berkutik. Sudahlah. Ini nasib.
“Mendirikan rumah saat ini begitu susah. Butuh biaya besar. Saya saja
hanya bisa tinggal dikolong jembatan. Tapi kok ini dirubuhkan” begitu pikir
Yanglek.
Tak tahan menyaksikan pemandangan haru itu.
Ia pun meninggalkan penggusuran. Tak berapa lama, ia melihat warung kopi dari
kejauhan. Rasa dahaga di panas terik mentari melanda. Sembari mengerok kantong
celana sobek yang telah seminggu tak dicuci ia bermaksud mencari uang recehan
hasil penjualan kemaren. “Waktu itu sukur uang dua ribu ada di celana saya.
Bisa beli akua gelas dan roti. Lapar juga“ kenangnya.
Alangkah terkejut Yantot ketika sampai di
warung. Di salah satu televisi swasta penggusuran ditayangkan secara live.
Ratusan mata penduduk Indonesia menyaksikan. Ironis. Kejam. Begitu pikirnya.
Keadaan betambah bengis. Dari reporter televise
itu ia mendapat alasan,
penggusuran dilakukan untuk normalisasi sungai dan penanggulangan banjir.
Bhulsit ungkapnya. Banjir sejatinya anak
haram para birokrasi yang busuk. Dan bisnis pengusaha tamak. Tapi mereka seolah
diam dan marah sendiri. Mereka memaki-maki rakyat. Kebijakan yang diambil
memihak kepada yang berduit. Betul, uang mengalahkan nurani. Rakyat menderita lagi atas nama ketertiban dan
keindahan. Penggusuran, kekerasan, dan pelecehan kerap dialami kaum bawah.
Waktu menjelang pagi. Kokok ayam mulai
terdengar bersahutan. Suara jangkrik mulai hilang diperedaran. Binatang
malam—kelelawar— seolah mulai memasuki gua gelap tak bertuan. Mata pun kian
mengantuk. Yangtot dalam menyelesaikan kisah berkomitmen akan pulang kampong.
Jakarta tak cocok baginya. Kejam. Bengis. Tak manusiawi. “Semoga pemimpin
Jakarta di April nanti memihak kepada
yang kecil. Dan memerhatikan kaum tertindas. Jangan hanya janji,” pintanya
sembari menutup mata. Kisah ditutup. Ternyata banyak kisah tragis yang perlu
kita ungkap, atas nama kemanusiaan.
Post a Comment