Header Ads

Mengharap Pemimpin Idola



Setahun sudah Presiden  Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dilantik menjadi presiden dan Wakil Presiden Indonesia. Belum tampak lompatan visi dan misinya seperti saat kampanye Pilpres lalu. Tapi justru kekisruhan dan kedaruratan situasi hukum, politik, dan ekonomi yang lebih dominan.
Kebijakan-kebijakan Jokowi membuat berbagai pihak terkejut. Sayangnya, kian hari terlihat keterkejutan itu berujung kepada kekecewaan dan memupus tingkat ekspektasi publik terhadap kepemimpinannya. Dalam beberapa kesempatan Jokowi mengeluarkan kebijakan yang tak sesuai dengan keinginan masyarakat Indonesia.

Runtuhnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan cara  yang sistematis. Salah satunya konflik berkepanjangan anatara KPKvs Polri yang membuat kegaduhan republik ini. Kemudian,  baru-baru ini RUU KPK yang cenderung membunuh eksistensi lembaga add hoc itu.
Selain itu, harga bahan bakar minyak yang turun-naik, nilai tukar rupiah yang anjlok karena tak mampu bersaing dengan dollar, maraknya kejahatan terhadap anak, pengenduran kebijakan remisi terhadap  terpidana korupsi, adalah sejumlah contoh kasus yang cenderung membuat kekecewaan berbagai kalangan.

Berangkat dari kebijakan kontroversial yang diambil presiden, sehingga  mengundang keraguan tentang determinasi kepemimpinannya. Penulis mencoba membaca karakteristik dan gaya kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Karena hal itu akan membuat kita mengenal lebih dekat sosok yang doyan blusukan ini.

Pertama, Jokowi adalah pemimpin yang kariernya melonjak cepat bak roket. Pada saat kampanye lalu dukungan terhadap Jokowi lebih dominan dari luar partai politik. Berbagai kalangan mulai dari buruh, petani, tukang becak, anak-anak band jalanan,  dan sopir-sopir angkot. Dukungan terhadap Jokowi lebih banyak dari kalangan menengah ke bawah. Oleh karena itu, Jokowi tak punya cukup persiapan untuk meregut dukungan dari kalanagan akademisi, ekonom, militer dan berbagai aliansi strategis lainnya.

Kedua, Jokowi maju jadi calon presiden bukan sebagai pimpinan partai sehingga timbul dalam prespektif  banyak pihak Jokowi hanya sebatas “kacung” partai. Istilah itu muncul karena dalam berbagai masalah Jokowi selalu meminta solusi kepada Mega Wati Soekarno sebagai the founding mather. Peran Nona besar itu dinilai lebih dominan menghiasi kebijakan yang diambil Jokowi. Lebih lanjut, pada penyusunan kabinet lalu hanya sekitar 40 persen menteri yang dipilih murni oleh Jokowi.
Ketiga, Jokowi merupakan pemimpin yang terkesan kurang berani. Keberanian yang dimaksud  penulis bukan dalam artian harfiah dan sempit, misalnya keberanian melakukan perang, melawan, konfrontasi, dan invansi. Tetapi keberanian untuk mendengarkan suara hati nuraninya dan mengambil kebijakan tanpa kompromi. Salah satu kunci kebesaran seorang pemimpin adalah karena keberanian untuk mendengar nuraninya (inner voice).   
     
Pemimpin Idola

Membaca  situasi Indonesia saat ini penuh dengan polemik kegaduhan baik dalam bidang politik, hukum, sosial, dan ekonomi. Oleh karena itu, Indonesia membutuhkan seorang pemimpin idola. Pemimpin idola adalah pemimpin yang berani melakukan hal yang benar, bukan melakukan sesuatu dengan benar. Kita menyadari pemimpin seperti ini sangat langka di negeri tercinta ini.

Bangsa Indonesia telah memilih Jokowi sebagai seorang pemimpin yang diharapkan mampu memberikan kontributif. Namun, outfut kepemimpinannya selama satu tahun masa jabatannya masih belum mampu memberikan peningkatan yang cukup signifikan.

Presiden sebenarnya sadar selama masa kepemimpinannya lebih banyak dikendalikan oleh partai pendukung, pemodal saat kampanye, dan senioritas partai yang berakibat outfut kepemimpinannya tak memberikan dampak yang efisien dan efektif bagi kepentingan bangsa dan negara. Jokowi juga menyadari kalau dirinya sebagai kepala negara banyak mendapat kritik dari masyarakat karena kekuasaannya dianggap simbol semata tanpa punya hak prerogatif.

Presiden Jokowi adalah orang baik, tapi ia perlu mempunyai keberanian untuk keluar dari kungkungan oligarki politik. Ia harus mendengarkan nurani kepemimpinannya. Jokowi harus berani tidak populer asal ia melakukan sesuatu yang benar tanpa kompromi. Di masa lalu kita punya pemimpin yang berani seperti Bung Hatta dan Tan Malaka, yang berani walau pun tak populer dan diasingkan.

Presiden diharpakan lebih berani menggerakkan keberanian yang ada padanya. Sebagai kepala Pemerintahan dan kepala negara, Presiden Jokowi harus menuntaskan pekerjaan yang belum rampung. Karena terlalu pelik persoalan bangsa yang harus di atasi, baik dalam bidang pendidikan, ekonomi, dan politik. Maka, Jokowi harus menjadi pemimpin idola yang mempunyai keberanian.   


**Penulis adalah mahassiswa UIN Jakarta, aktivis HMI, dan wartawan kampus LPM Institut.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.