Membedah Teror Revisi UU KPK
Sudah dua kali anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) menunda melaksanakan rapat paripurna untuk mengesahkan
draf revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi jadi RUU inisiatif DPR. Penundaan rapat terkahir dijadwalkan pada
Selasa (23/02), setelah sebelumnya Kamis (18/2) juga ditunda. Ironis, kuat dugaan langkah ini untuk
melemahkan lembaga anti rasuah itu.
Tak heran gelombang
deras arus penolakan revisi UU KPK itu semakin gencar terdengar. Para
akademisi, cendikiawan, akativiss anti-korupsi, mahasiswa, bahkan masyarakat
awam pun turut serta menyerukan penolakannya atas ide DPR tersebut. Namun, naas
para wakil rakyat dari partai politik yang tergabung dalam Badan Legislasi DPR
telah menyetujui naskah rancangan UU itu.
Tak berlebihan kiranya sebelum Paripurna
berlangsung, kita kembali menelaah substansi
revisi UU NO 30/2002 secara fundamental. Terdapat empat poin yang akan
di revisi UU KPK, yaitu 1) Pembentukan Dewan Pengawas, 2), Penyadapan dan
penyitaan yang memerukan dewan pengawas, 3), Pemberhentian wewenang bagi KPK
mengeluarkan surat perintah penghentian dan penyelidikan (SP3), 4),
Pengangkatan penyidik independen.
Walaupun sebelumnya
pada bulan Juni dan Oktober lalu pernah ada usaha untuk merevisi UU KPK. Tetapi
atas respon publik yang memiliki alasan kuat untuk mempertanyakan dan menolak
rencana UU tersebut. Alasan ketika itu karena rancangan itu sebelumnya tak masuk
dalam Program Legilasi Nasional (Prolegnas). Tetapi saat ini keadaan telah
berbalik, revisi UU sebelumnya telah masuk daftar rencana legislasi dari
Prolegnas 2016.
Salah
Kaprah
Tentu timbul pertanyaan
mendasar tentang substansi dan esensi revisi UU No 30/2002. Apakah gerangan,
tepat argumen bahwa revisi UU KPK tersebut untuk memperkuat KPK lewat
pengjewantahan empat poin revisi KPK itu? Jika nantinya revisi UU tersebut
benar untuk memperkuat yang tertuang dalam empat poin utama, Maka tak alasan
untuk menolaknya. Tetapi jika sebaliknya, membuat KPK hanya pajangan, lemah,
dan tak punya bobot, maka revisi itu harus diberhentikan tanpa harus membawa ke
sidang paripurna mendatang karena akan memawa akibat fatal.
Pertama, tentang
pengaturan penyadapan yang terlebih dahulu harus mendapat izin dari dewan
pengawas. Langkah ini sangat membuat KPK
lumpuh secara perlahan. Penyadapan yang harus mendapat surat tertulis dari
badan pengawas berpotensi membuat kinerja KPK tak efesien. Secara perlahan
namun pasti KPK tinggal hanya pajangan tanpa daya. Bukankah selama ini
penyadapan merupakan senjata ekstra KPK dalam menjerat para koruptor lewat
Operasi Tangkap Tangan (OTT).
Setidaknya ada dua
alasan fundamental yang dikumandangkan oleh DPR tentang perlunya badan pengawas
penyadapan. Pertama, penyadapan tanpa pengawasan dan perizinan oleh dewan
pengawas adalah menyalahi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Tentu saja alasan
ini tak logis bukankah institusi KPK sebenarnya tak berada di dalam KUHP alias
diluar KUHP.
Maka jika ingin
memasukkan KUHP maka yang masuk hanya kepolisian dan kejaksaan. Kedua institusi
inilah yang berada dalam KUHP. Jadi apabila ingin memakai sistem KUHP cukup
dengan kepolisian dan kejaksaan tanpa KPK. Maka, tak masuk akal
mempermasalahkan penyadapan karena sejak awal ini dibentuk sebagai lembaga
special.
Kedua, terdapat
kekhawtiran tanpa pengawasan akan disalahgunakan oleh penyidik KPK. Tetapi
alasan merupakan fhobia yang berlebihan, walaupun mungkin terjadi. Namun, kita
bisa tantang DPR tunjukkan satu kasus yang dipergunakan oleh KPK untuk
kepentingan pribadi. Lebih lanjut hasl penyadapan KPK juga telah di audit oleh
internal KPK, tak ada ditemukan pelanggaran yang bersifat personal.
Mayoritas kalangan
berpendapat bahwa kerangka berpikir yang dibangun DPR bila diteruskan ke
sidang, KPK akam mengalami kelumpuhan tanpa daya. Senjata andalan untuk OTT
bisa lumpuh total. Bukankah selama ini, beberapa pejabat negara yang koruptif
dan penerima suap berhasil ditangkap melalui senajata ini. Maka telah jelas kalangan
yang ingin merivisi UU KPK ini mempunyai target khusus untuk mengkebiri
kewenangan KPK. Karena tanpa pengawasan KPK akan leluasa menyadap dan
menelusuri para penikmat rente haram akibat perilaku koruptif.
bagi sebagian kalangan
yang merasa terganggu dan rishi tentang kelakuan KPK berusaha sedemikian rupa
untuk mengontrol KPK lewat pembatasan penyadapan. Bisa dipastikan jika wewenang
penyadapan diawasi oleh tim pengawas, secara otomatis KPK akan mengalami
kelumpuhan. Mahkota sebagai institusi yang memiliki lebel extra-ordinary dalam pinandakan para koruptor akan kehilangan
marwahnya.
Kedua, membentuk dewan pengawas KPK. Apabila gagasan
ini teralisasi maka akan timbul dua matahari kembar dalam KPK. Yang pada ujungnya akan terdapat
tumpang tindih keputusan dan berakhir pada konflik. Pada ujungnya kinerja KPK
akan terganggu dan taji KPK akan tumpul.
Argumen mendasar
sebenarnya imbul kecurigaan KPK tanpa pengawasan, KPK akan melakukan tindakan
di luar tugas dalam UU NO 30/2002. Tak ayal kecurigaan itu karena KPK punya
kelebihan khusus boleh melakukan penyadapan. Maka, penyadapan inilah yang ingin
dikontrol oleh institusi yang bernama “dewan pengawas” agar tak
kebeblasan.
Konsep ini mengandung
dua unsur. Satu sisi alasan ini secara sederhana bisa dibenarkan, tapi di sisi
lain kecurigaan ini merupakan fhobia keterlaluan dari DPR. Argumennya adalah
dari empiris selama KPK diberikan kewenangan tersebut, belum pernah ditemukan
kasus yang menyalahi ketentuan UU. Tak pernah terdengar kasus para komisioner
dan penyidik KPK mengunakan wewenang penyadapan demi keuntungan personal.
Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa keinginan untuk membentuk dewan pengawas adalah upaya untuk
memata-matai operasi dan strategi KPK dalam menangkap mangsa berupa para
koruptor. Tak ada alasan logis untuk membentuk dewan Pengawas KPK.
Ketiga, menerbitkan
surat perintah penghentian penyelidikan (SP3). Upaya ini tak jauh beda dengan
sebelumnya sebagai upaya pelemahan KPK. Sebagai lembaga yang dibentuk dalam
format kewenangan yang cukup luas. Dengan terbitnya UU revisi pada poin ketiga
ini , menimbulkan dugaan agar KPK lebih hati-hati dalam menetapkan tersangka.
Apalagi jika ada insstrumen, para tersangka bisa mengajukan pra-peraddilan
seperti yang dilakukan oleh Budi Gunawan dan pelaku koruptif lainnya.
Keempat, memberikan
kewenangan terhadap KPK untuk mengangkat penyidik independen. Angin positif ini
memang sudah lama diinginkan oleh KPK untuk membentuk penyidik tersendiri.
Setelah sekian lama terjadi perdebatan alot terkait keinginan KPK untuk
mempunyai penyidik tersendiri di luar institusi kepolisian dan kejaksaan. Harus
diakui bahwa bahwa dari keempat poin hanya poin ini yang memberikan angin segar
untuk kemajuan KPK.
Walaupun demikian, jika
ditelisik secara mendalam sebenarnya terdapat
pasal-pasal yang memungkinkan KPK untuk membentuk penyidik independen
tersendiri. Terutama pada pasal 45 UU No 30/2002 yang berbunyi bahwa penyidik
adalah penyidikyang diangkat dan diberhentikan oleh KPK. Dengan penafsiran
sistematis pada kalimat “diangkat dan diberhentikan oleh KPK” tersirat bahwa
KPK bisa mengangkat penyidik sendiri. Hal itu karena tak ada pernyataan
eksplisit bahwa penyidik KPK harus berasal dari kepolisian dan kejaksaan
sebagaimana layaknya tentang jaksa penuntut umum.
Dari uraian di atas
terlihat aneh karena upaya mengevaluasi kinerja KPK, padahal selama ini KPK
bekerja cukup baik. Dari keempat butir utama materi revisi UU No 30/2002 yang
ingin memperkuat KPK justru membunuh KPK secara perlahan. Keempat butir poin
ini akan merupakan malapetaka yang hebat bagi KPK. Jika bisa diungkapkan bahwa
KPK sekarang berada di ujung nadir.
Menyusun
Langkah
Sejak awal telah terjadi kecendrungan yang
dilakukan oleh sebagian kekuatan politik untuk melemahkan posisi KPK.
Kecendrungan itu terjadi sejak lembaga anti rasuah itu menunjukkan taji
tajamnya dalam menjamah semua lapisan kalangan penikmat uang haram korupsi.
Hemat penulis dari pada
berlarut-larut dalam persoalan revisi UU. Ada beberapa langkah yang harus
dilakukan. Pertama, memperbaiki UU politik, reformasi kepolisian, dan kejaksaan,dari pada revisi UU
KPK. Urgensi pembahruan UU politik untuk
membuat parpol lebih modern. Jika memungkinkan partai politik dibiayai oleh
negara, tetapi dengan persyaratan ada
tim pengawas independen. Badan pengawas itu bertugas menjadi monitoring agar
partai politik tidak mencari uang lewat praktik korupsi.
Kemudian mereformasi
kepolisian dan kejaksaan. Sejak awal kehadiran KPK karena ketidakmampuan dua
institusi tersebut dalam menangulangi arus deras korupsi. Apabila kajaksaan dan
kepolisian telah maksimal dalam bertugas dan bisa menjamin korupsi tak
merajalela baru kemudian bukan hanya sekedar revisi, KPK ditiadakan pum tak
masalah. Tapi pertayaannya mampukah kita?
Kedua, harapan publik
tergantung kepada Jokowi, karena tak ada harapan kepada DPR. Harapan itu juga
sesuai dengan janji Jokowi dalam Nawacita bahwa berkomitmen penuh akan
memperkuat KPK. Walau pun ada keinginan untuk merevisi UU KPK, presiden harus
memastikan revisi itu untuk memperkuat KPK.
Tetapi fakta yang
disuguhkan sebaiknya. Dari empat butir draf yang diajukan Baleg pada sidang
Paripurna mendatang tak ada satu pun yang memperkuat KPK. Oleh karena
itu,rakyat berharap penuh kepada Presiden untuk memastikan menolak memberikan
persetujuan beersama dengan DPR. Sebagaimana dalam pasal 20 ayat 3 UUD 1945
jika presiden dan para pembantunya memberikan persetujuan bersama, secara
otomatis UU No 20/2002 tak bisa dilanjutkan.
Harapan besar rakyat
Indonesia bergantung kepada Presiden. Ketika DPR tak mampu diketuk hatinya,
harapan terakhir hanya pressiden. Presiden harus sadar korupsi merupakan
penyakit yang membinasakan kesejahteraan, peradaban, dan kemakmuran negara ini.
Oleh karenanya ia harus dibumi hanguskan.
Satu kata terakhir tolak revisi UU No 20/2002 KPK.
**Penulis adalah Peneliti di Democraci For Freedom, peneliti
Litbang LPM Insitut, Aktivis Social Trush Found Jakarta.
Post a Comment