Solusi Terhadap Kasus Child Abuse
Anak-anak merupakan
golongan yang rentan terkena perangkap kejahatan. Kejahatan terhadap anak (child abuse) terjadi dalam berbagai bentuk, seperti:
pembunuhan,pemerkosaan, kekerasan seksual, penculikan untuk jadi indrustri
seks. Beberapa kasus ini menyiratkan rawannya posisi anak sebagai korban
kejahatan.
Dalam literatur para
ahli kriminologi telah dikemukan, anak-anak paling beresiko tinggi terjebak
sebagai korban kejahatan. Hati nurani kita pastinya terenyuh menyaksikan di
media massa tentag ditemukannya Jasad bocah perempuan 9 tahun dalam kardus
beberapa waktu lalu. Tak selang beberapa saat kemudian, seorang bocah yang masih duduk di bangku Sekalah Dasar (SD)
di Kalimantan telah menjadi korban pelecehan seksual.
Menyikapi kenyataan di
atas, perlu upaya maksimal untuk melindungi mereka agar tak terperangkap dalam
kejahatan. Salah satu pilar terpenting
untuk melindungi mereka adalah negara. Secara umum negara telah memiliki
seperangkat undang-undang untuk melindungi mereka. Tapi, dalam implementassinya
anak-anak kerap menjadi korban kejahatan.
Oleh karena itu,
melihat fakta yang terjadi sudah selayaknya negara menjamin rasa nyaman dan
aman masyarakat. Bukankah Jokowi-Jk dalam kampanye politik tahun lalu
menawarkan konsep perlidungan terhadap warga masyarakat. Konsep itu tertuang
dalam Nawacita, yang terdiri dari Sembilan butir janji politik Jokowi. Tepat
pada poin pertama dijelaskan negara hadir untuk melindungi segenap bangsa dan
memberikan rasa aman pada seluruh warga negara.
Penulis berharap
program pemerintah itu tak hanya sebatas janji kampanye semata. Janji politik
itu harus direalisasikan agar anak-anak bangsa Indonesia bisa terbebas dari
teror sang fredator anak. Saat ini teror
terhadap anak itu begitu massif terjadi. Setiap orang orang berpeluang menjadi
pelaku kejahatan. Jumlah kasus kejahatan terhadap anak terus meningkat dengan
derajat tingkat kejahatan yang sangat memprihatinkan.
Tahun 2011, tercatat
ada 2.637 kasus kekerasan terhadap anak yang masuk ke Komnas Perlindungan Anak
(Komnas PA). Sebanyak 62 persen adalah kasus pelecehan seksual. Tahun 2013,
Komnas PA mencatat ada 3.339 kasus kekerasan terhadap anak, dari jumlah itu
sebanyak 52 persen adalah kejahatan seksual. Tahun 2014, ada sekitar 2.626
kasus kekerasan terhadap anak yang dilaporkan. Sedangkan tahun 2015, periode
Januari-Juni ada 1.725 kasus pelanggaran
hak anak. Dari jumlah itu, sebaanyak 52 persen adalah kejahatan seksual.
Berdasarkan data yang
ada di atas, kekerasakan seksual paling mendominasi terhadap anak-anak. Hal itu
disebabkan karena anak belum memahami konsep seks, pemerkosaan dan pelecehan
seksual. Ia tak mampu merumuskan itu sebagai
bentuk kejahatan seksual. Faktor inilah yang dimanfaatkan pelaku dengan
iming-iming diberi coklat,uang jajan, dan permen bahkan terkadang sang anak
diancam untuk memuaskan nafsu birahinya.
Kekerasan terhadap anak
(child abuse) adalah kejahatan
pelukaan fisik, mental, atau seksual. Peristiwa ini menjadi ancaman terhadap
kesehatan dan kesejahteraan anak. Korban
menjadi pendiam, semangatnya berkurang, dan malas berangkat ke sekolah. Kondisi
seperti ini diperlukan peran dari negara, agar orang tua dan anak merasakan
rasa aman dan nyaman.
Proses penegakan hukum
secara tegas diperlukan untuk memberikan efek jera kepada pelaku. Demikian itu
dikarenakan kejahatan yang ia perbuat termasuk kejahatan luar biasa yang
memerlukan respon cepat dari pemerintah.
Hal itu, sebagai upaya perlindungan terhadap hak hidup orang banyak.
Mencegah tindak
kejahatan terhadap anak adalah mustahil dapat dilakukan jika tak didukung oleh
pemerintah. Meski sejak tahun 2002 Indonesia telah memiliki undang-undang
perlindungan anak. Tetapi upaya penerjemahannya dalam bentuk aksi untuk
melindungi anak dari child abuse masih
jauh dari memadai.
Merujuk dari beberapa
kasus chil abuse yang terjadi dalam
beberapa decade terakhir. Penulis berkesimpulan ada dua hal yang perlu
dilakukan untuk melindungi anak-anak dari kejahatan pedofil. Pertama, adanya
hukuman tegas dari pemerintah. Hukaman itu bisa
berupa memberikan suntikan bahan kimia kepada pelaku agar tak ingin lagi
melakukan kejahatan terhadap anak.
Suntikan dengan cara
menyuntikkan cairan kimiawi yang memusnahkan libido seksual pelaku. Hukuman
kebiri model ini sudah diterapkan di beberapa negara, seperti: Korea Selatan,
Denmark, Inggris, Republik Ceko dan Jerman. Di samping pelaku menjalani hukuman
penjara, terpidana juga diberikan hukuman kebiri secara kimiawi.
Pemerintah diharapakan
segera memberikan legalitas hukum dengan menerbitkan peraturan pemerintah
pengganti undang-undang (Perppu) tentang kebiri. Hal ini dikarenakan sudah
sangat mendesak dan perlu tanggapan tegas dari pemerintah. Penulis memang
mengakui ide ini sudah bergulir dan telah sampai kepada pemerintah, tetapi
hingga saat ini Perpu tersebut belum disahkan.
Kedua, adanya upaya
sadar dari masyarakat untuk berperan aktif guna mencegah kejahatan terhadap
anak. Di sejumlah negara didunia seperti Amerika, Filipina, Malaysia dan
Australia, berbagai kasus kejahatan anak dapat terdeteksi oleh pihak yang
berwenang. Demikian itu karena hukum di negara tersebut mewajibkan dokter,
guru, dan warga masyarakat berperan aktif untuk melaporkan jika ada dugaan child abuse.
Sepanjang tak ada partisipasi
dari pihak lain untuk memberantas kejahatan kemanusiaan ini. Sepanjang itu pula
kisah-kisah tragis akan terus terjadi. Dalam study kasus beberapa kejadian belakangan ini, kejahatan yang
menimpa anak-anak dilakukan di dalam rumah dan tempat tersembunyi. Maka, peran
dari masyarakat sangat diperlukan untuk melapor pada pihak kepolisian jika ada
yang mencurigakan, jangan hanya diam seperti kasus anak dalam kardus yang
terjadi di Kalideres.
Upaya pencegahan
terhadap anak agar tak menjadi korban kejahatan mustahil terwujud jika tak ada kerjasama
berbagai elemen. Kepekaan dan keterlibatan masyarakat sangat dibutuh oleh
pemerintah. Masyarakat diharapkan dapat menjalankan fungsi sebagai pengawas dan
pelapor kepada pihak yang berwenamg.
Dengan begitu child abuse dapat terdeteksi dan terminimalisir agar tak
berlanjutdengan korban lebih banyak lagi.
**Penulis adalah
Mahasiswa UIN Jakarta, dan
wartawan kampus Lembaga Pers Mahasiswa Institut, UIN Jakarta.
Post a Comment