Kinerja Buruk DPR, Imbas Politik Kepentingan
Kinerja Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2014-2019 menjadi sorotan publik. Selama
setahun lebih menjabat belum tampak tanda-tanda perubahan berarti. Tahun 2015, merupakan puncak klimaksnya.
Pasalnya tahun ini DPR hanya mampu menuntaskan tiga Undang-Undang (UU) dari 40
Rancangan Undan g-Undang yang menjadi perioritas pada 2015. Konon, sejak
reformasi bergulir, kejadian ini baru pertama kali terjadi.
Padahal merujuk perkataan seorang ilmuwan Prancis, Montesqiu
(1689-1755) bahwa Lembaga Legislatif merupakan kumpulan anggota dewan yang
dipilih langsung oleh rakyat untuk membuat undang-undang sebagaai refleksi
dari kedaulatan rakyat. Selain itu,
lembaga legislatif juga berfungsi sebagai
kontrol atas kebijakan pemerintah
dan mediataor antara rakyat dan eksekutif (penguasa).
Ungkapan Montesqiu, juga
tercermin dalam UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3).
Tepat pada pasal 69 menyatakan DPR mempunyai fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.
Ketiga fungsi dalam yang diatur dalam pasal tersebut merupakan refresentasi
dari kedaulatan rakyat. Selain itu, fungsi itu dijalankan dalam rangka untuk
mendukung upaya eksekutif dalam menjalankan politik luar negeri yang sesuai
dengan UU yang dibentuk oleh anggota dewan.
Tapi timbul pertanyaan
yang menggelitik, sejauh mana DPR telah menjalankan fungsi tersebut? Pun undang-undang tertulis itu berkat
kerjasama antara DPR dan pemerintah.
Mengutip perkataan
Lucius karus, peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia
(Formappi) bahwa tahun 2015 lalu DPR hanya mampu merampungkan tiga UU. Terkait
tiga UU yang telah ketok palu pun tak lepas dari kritikan pedas. Hanya satu UU
yang membuat DPR mengeluarkan keringatnya yaitu UU tentang penjaminan. Sedangkan,
dua lainnya, UU NO. 2/2015 tentang pemerintahan daerah, dan UU No.8/2015
tentang mekanisme pemilihan kepala daerah, sebebelumnya pada era pemerintah SBY
lalu telah ada Peraturan pengganti Undang-Undang (Perppu).
Politik
sarat kepentingan
Akhir 2014 lalu,
fraksi-fraksi di DPR terbagi dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH) sebagai
pendukung Joko Widodo yang berada dalam
pemerintahan dan Koalisi Merah Putih (KMP) sebagai gerakan oposisi yang berada
di luar pemerintah. Kebisingan terjadi dalam perebutan pimpinan DPR atau pun
alat kelengkapan dewan. Kericuhan berlanjut untuk memperebutkan kursi pimpinan
MPR. Potret DPR sebagai alat perebutan kekuasaan dan kepentingan terlihat
begitu jelas saat itu.
Angin segar sempat
bergulir tahun 2015 lalu, hubugan panas antara KIH dan KMP sedikit mencair.
Aksi saling gontok-gontokan mulai berkurang. Apalagi beberapa partai dari KMP
yang sebelumnya kontra pemerintah beralih memberikan dukungan kepada kabinet
kerja Jokowi/Jk. KIH pun sempat berubaha
nama menjadi Kerja Sama Partai Poltik Pendukung Indonesia (KP3) karena parpol
KMP banyak yang membelot. Hubungan mesra itu terus berlanjut, idealisme awal
pun berubah menjadi kepentingan pragmatis yang sarat akan kepentingan.
Hal itu terlihat jelas
dalam pengajuan revisi Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Pada Oktober
2015 lalu, sejumlah DPR yang diperkasai oleh Fraksi PDI-P, Partai golkar,
Partai Nasdem, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan
Partai Hanura mengusulkan revisi UU KPK yang awalnya masuk Program Legislasi
Nasional (Prolegnas) atas inisiatif pemerintah, kini mengusulkan revisi itu
diambil alih oleh DPR. Pengambilanalihan itu ada yang berada dari KMP dan KP3.
Ironis bukan?
Tak hanya itu, uji
kelayakan dan kompetensi calon Pimpinan KPK periode 2015-2019 juga sempat
terkatung-katung. Rencana awal yang ditetapkan DPR sempat dibatalkan. Alasannya
karena baanyak hal yang menjadi
pertimbangan Komisi III sebagai pelaksana. Mulai dari format pelaporan, pemenuhan
berkas calon pimpinan, hingga permasalahan tak ada calon dari kejaksaan.
Sebanyak empat kali panitia seleksi calon pimpinan KPK di panggil untuk
menghadap DPR.
Setelah ditelusuri
lebih dalam, langkah ini sebagai strategi untuk mengambil alih inisiatif RUU KPK oleh DPR. Terbukti, penetapan pimpinan KPK, baru
dilakukan 30 November setelah Menteri Hukum dan HAM, Yosanna H. Laoly menyerahkan
inisiatif RUU KPK ke DPR dalam rapat Badan Legislasi DPR 27 November lalu.
Kemesraan anggota
DPR berlanjut dalam pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara 2016. Semua fraksi di DPR kompak untuk menolak usulan anggaran sebesar 39 triliun
untuk penyertaan modal disejumlah Badan Usaha Miliki Negara (BUMN). Alasannya,
karena kinerja BUMN di bawah Menteri Rini Soemarno belum maksimal.
Tahun 2015 lalu juga,
sejumlah anggota dewan sibuk dengan kepentingan pribadi. Hal itu terlihat
dengan sidang kode etik yang akan
dilakukan oleh Majelis Kehormatan DPR (MKD) terhadap Pimpinan DPR, Setya Novanto. DPR dalam hal
ini terpecah belah. Koalisi KP3 awalnya kompak mendukung pelanggaran ketua DPR
yang dilaporkan oleh Menteri ESDM, Sudirman Said.
Namun belakangan,
KP3 yang walnya gotot mulai terpecah.
Dari lima fraksi partai politk anggota
KP3, hanya partai Nasdem dan Hanura yang menyetujui agar sidang dilakukan
secara terbuka. Fraksi PKB, dan PAN mendukung sidang dilaksanakan secara
tertutup. Sedangkan, PDI-P terpecah belah. Anggota MKD Junimart Girsang
menyerukan sidang secara terbuka luas bisa di akses masyarakat. Prakosa dan
Marsiaman saragih mendukung sidang tertutup.
Perbedaan sikap antara
anggota dewan dalam menyikapi berbagai persolan kuat dugaan karena kepentingan
yang berbeda. Kepetingan yang diperjuangankan
demi kelompok dan pribadi mengalahkan kepentingan rakyat dan negara. Politik
yang dibangun dengan asas kepentingan berujung kepada kinerja yang abal-abal.
Kegaduhan di Parlemen
berimbas kepada kinerja buruk anggota dewan. Banyak kalangan yang memprediksi,
tahun 2016 juga takkan jauh beda dengan tahun lalu. Menarik untuk dinanti
kiprah DPR tahun ini. Apakah politik sarat akan kepentingan terus berlanjut atau malah sedikit bergeser
mementingkan rakyat. Kita tunggu saja.
**Penulis adalah
Mahsiswa UIN Jakarta, wartawan kampus LPM Institut UIN Jakarta, dan aktivis
HMI.
Post a Comment